Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Rencana Skema Baru FLPP Bikin Realisasi di Awal 2025 Terhambat

 Gana Buana
05/2/2025 18:35
Rencana Skema Baru FLPP Bikin Realisasi di Awal 2025 Terhambat
Realisasi FLPP awal 2025(Dok. Tapera)

RENCANA penerapan skema baru Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang dicanangkan pemerintah kini dirasa membuat pelaksanaan di lapangan berjalan lambat di awal 2025.

Akibatnya, ribuan calon pembeli rumah mengalami penundaan akad KPR FLPP, padahal jumlah rumah siap huni (ready stock) yang telah dibangun pengembang cukup banyak.

Seperti yang diketahui, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, menegaskan bahwa Kementerian PKP tengah menyusun skema baru terkait pembagian dana antara APBN dan perbankan dalam program FLPP.

Langkah ini bertujuan untuk mengoptimalkan efisiensi penggunaan anggaran negara serta memperluas cakupan penyaluran KPR FLPP.

Dengan alokasi anggaran sebesar Rp28,2 triliun untuk 220.000 unit rumah pada tahun 2025, diharapkan proses distribusinya dapat berjalan lebih efektif.

“Perubahan kebijakan ini bukan hanya untuk menghemat anggaran, tetapi juga untuk memastikan bahwa masyarakat yang benar-benar membutuhkan hunian bersubsidi dapat memperoleh akses pembiayaan yang lebih mudah,” ujar Maruarar belum lama ini.

Selain itu, skema terbaru ini dirancang untuk meningkatkan mutu rumah subsidi yang dibangun, sekaligus memastikan harga jualnya tetap mencerminkan biaya konstruksi yang aktual. Faktor-faktor seperti inflasi dan dinamika ekonomi juga turut diperhitungkan agar kebijakan ini tetap relevan dan berkelanjutan.

Pemerintah berencana mengubah skema porsi pembiayaan FLPP dari 75% APBN dan 40% perbankan menjadi masing-masing 50%.

Dengan skema baru ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan jumlah penyaluran KPR FLPP.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto, menegaskan bahwa saat ini FLPP merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang paling terukur dan berkesinambungan dalam pembiayaan perumahan. Hal ini beralasan karena status unitnya jelas, waktu pembangunan dan penyelesaiannya pasti, pihak yang bertanggung jawab teridentifikasi, serta prosedur administrasi dan verifikasi dilakukan secara berlapis. Selain itu, kriteria masyarakat penerima manfaat juga sudah ditetapkan secara jelas.

Bagi pelaku usaha, ketidakpastian merupakan tantangan terbesar. Pada 2024, kuota FLPP terbatas, menyebabkan banyak calon pembeli rumah harus mengantre untuk bisa akad KPR FLPP, sementara pengembang mengalami kesulitan arus kas.

"Pada 2025, penyaluran FLPP seharusnya berjalan lebih cepat seiring dengan program pembangunan tiga juta rumah. Oleh karena itu, kami berharap pemerintah melalui BP Tapera dapat mempercepat realisasi penyaluran KPR FLPP tahun ini, karena rumah siap huni sudah banyak dan masyarakat sudah menunggu," ujarnya.

Menurut Joko Suranto, skema baru tersebut tetap dapat dilanjutkan. Namun, untuk memberikan kepastian bagi calon pembeli dan pengembang, REI menekankan pentingnya percepatan realisasi FLPP 2025 yang telah disetujui pemerintah. Terlebih, Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara BP Tapera dan 39 bank penyalur FLPP telah ditandatangani sejak akhir Desember 2024 agar dapat segera disalurkan mulai Januari 2025.

Sesuai target pemerintah, BP Tapera berencana menyalurkan dana FLPP untuk 220 ribu unit rumah pada 2025 dengan nilai Rp28,2 triliun.

"Jika ada rencana menambah kuota FLPP atau mengubah skema porsi sumber pembiayaan, silakan saja. Namun, yang sudah ada dan disetujui harus segera direalisasikan," tegas Joko.

Pembangunan perumahan adalah siklus bisnis yang berhubungan dengan 180 industri lainnya. Joko menilai, jika siklus ini terhambat, sektor riil akan terganggu, jutaan pekerja di industri perumahan bisa terdampak, dan kepercayaan masyarakat terhadap program tiga juta rumah Presiden Prabowo Subianto bisa menurun. Padahal, FLPP selama ini telah berjalan baik, terukur, dan konsisten.

Dalam program FLPP, manfaat utama diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sementara fasilitas likuiditas disalurkan melalui perbankan. Pengembang, sebagai mitra pemerintah, hanya bertugas menyuplai rumah. Oleh karena itu, Joko menilai kurang tepat jika pemerintah menuntut lebih dari pengembang atau asosiasi terkait penggunaan fasilitas likuiditas ini.

Mengenai permintaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) agar asosiasi pengembang menyusun estimasi biaya pembangunan rumah subsidi, REI berpendapat bahwa metode yang sebelumnya digunakan Kementerian PUPR—dengan mengacu pada harga setempat—sudah cukup akurat. REI juga menilai bahwa asosiasi bukan lembaga akademis yang kredibel dalam kajian ilmiah, sehingga lebih tepat jika pemerintah menggunakan instansi resmi yang memiliki keahlian dalam perhitungan tersebut.

"Jika perhitungan dilakukan oleh banyak pihak, hasilnya bisa bias dan membingungkan karena pasti akan ada perbedaan," ujarnya.

Perhitungan biaya pembangunan rumah bisa berbeda tergantung berbagai faktor, seperti zonasi wilayah, luas kawasan pengembangan, serta skema proyek, apakah hanya rumah subsidi atau kombinasi dengan rumah komersial.

Minta Klarifikasi

Selain menyoroti ketidakpastian realisasi KPR FLPP, REI juga menanggapi pemberitaan terkait 4.000 pengembang yang disebut tidak bertanggung jawab sejak 2019.

Joko Suranto meminta Bank Tabungan Negara (BTN) memberikan klarifikasi terkait klaim tersebut. Menurutnya, perbankan memiliki peran besar dalam menentukan pengembang yang terlibat dalam bisnis perumahan. Verifikasi kredit dilakukan oleh bank, instruksi akad dikeluarkan oleh bank, dan retensi kredit juga berada di tangan bank.

"Mengapa pada akhirnya pengembang yang disalahkan? Sebaiknya sebelum ada pernyataan seperti itu di media, bank dan asosiasi pengembang duduk bersama untuk mencari solusi. Jika ada yang perlu dibenahi, mari kita selesaikan bersama. Kami berharap informasi ini diklarifikasi agar lebih jelas," tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa ketidakakuratan informasi ini bisa berdampak luas terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pengembang secara umum. Padahal, banyak pengembang yang memiliki reputasi baik.

"Jika kita saling mencurigai—konsumen curiga ke pengembang, pengembang curiga ke perbankan, atau sebaliknya—apakah ini yang kita inginkan? Bayangkan jika satu pengembang memiliki 100 pekerja, maka 4.000 pengembang berarti 400 ribu pekerja yang terdampak. Jangan sampai siklus bisnis perumahan terganggu," ujar Joko Suranto.

Sebelumnya, BTN menyatakan bahwa sejak 2019 terdapat 4.000 pengembang perumahan yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, 120 ribu rumah yang telah disalurkan KPR-nya belum memiliki sertifikat tanah.

Perlakuan Sama

REI juga menyoroti penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Menteri PKP Maruarar Sirait dan investor perumahan Qatar, Sheikh Abdulaziz bin Abdulrahman Al Thani, di Istana Merdeka pada Rabu (8/1). Dalam MoU tersebut, Qatar berkomitmen membangun satu juta rumah di Indonesia.

Joko Suranto menyambut baik komitmen tersebut dalam mendukung program tiga juta rumah. Namun, ia menegaskan bahwa investor dalam negeri juga seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama dalam kemudahan perizinan dan pemanfaatan lahan negara.

"Investor properti dalam negeri merasa tidak dihargai. Mengapa kami tidak dipanggil ke Istana Negara? Komitmen Qatar masih sebatas MoU, sementara pengembang lokal telah membangun hunian setiap tahun dan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.

Menurutnya, meskipun likuiditas dalam negeri lebih terbatas dibanding Qatar, ada banyak solusi yang bisa diambil pemerintah. Salah satunya adalah pendampingan dana, sebagaimana diusulkan dalam konsep propertinomic yang digagas REI.

Dengan skema ini, likuiditas perbankan bisa diperbesar, memungkinkan pemberian KPR berbunga rendah kepada masyarakat.

Berdasarkan riset REI dan Lembaga Manajemen Universitas Indonesia (LM UI), investasi properti sebesar Rp112 triliun (US$7 miliar) berkontribusi 0,56% terhadap perekonomian nasional.

Setiap tahun, rata-rata investasi properti di Indonesia mencapai Rp120 triliun-Rp145 triliun. (Z-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Gana Buana
Berita Lainnya