Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Manisnya Bisnis Gula Aren

Fathurrozak
29/9/2022 07:40
Manisnya Bisnis Gula Aren
Produk buatan Arentim.(Dok. Arentim)

BERAWAL dari keprihatinannya melihat gula aren yang terbuang sia-sia di salah satu sudut pasar, Hasrul akhirnya menggeluti bisnis ini. Cerita ini bermula, kata Hasrul, ketika ia mengunjungi pasar tradisional Tawainalu, di Tirawuta, Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Saat berkeliling di pasar, ia melihat banyak sekali gula aren batangan yang sudah rusak dan basah.

Ia pun mencari tahu dari mana asal gula aren tersebut. Rupanya, gula aren batang itu datang dari desa tetangganya. Hasrul tinggal di Matabondu, Tirawuta.

Dari penelusuran tersebut, ia menemukan fakta petani gula aren hanya menjual ke pedagang pasar. Jika laku, mereka dapat uang. Kalau tidak laku, ya dibiarkan saja. Produknya pun akhirnya banyak yang rusak dan dikembalikan.

“Itu yang menjadi kegelisahan saya. Bagaimana ya, untuk meningkatkan nilai jual gula aren di daerah saya ini. Saya pun kemudian melakukan

riset secara mandiri untuk membuat gula aren batang menjadi serbuk dan cair agar secara kualitas lebih baik dan bisa bertahan lebih lama,” cerita Hasrul, komisaris utama Arentim, merek produk gula aren serbuk dan cair asal Sulawesi Tenggara, saat berbincang kepada Media Indonesia melalui konferensi video, Senin, (26/9).

Riset yang dilakukan Hasrul bermodalkan internet. Ia mencoba menemukan formula yang tepat. Dalam pengembangannya, banyak uji coba dan kegagalan. Karena menurut Hasrul di internet tidak semuanya dipaparkan.

Dalam masa uji coba itu, sekurangnya ia telah menghabiskan Rp50 juta.

Karena produk gula aren yang dikembangkan belum juga laku dan masih banyak cacatnya sebagai bahan pangan.

Pada 2020, Arentim, merek produknya meluncur secara resmi di pasaran.

Pada tahap awal, pemasarannya secara konvensional dengan mendatangi satu per satu hotel, restoran, dan kafe. Proses ini diakui Hasrul tidak berjalan efektif karena jangkauannya hanya di sekitar tempatnya

berproduksi. Selain itu juga membutuhkan waktu lama.

Barulah pada 2021, ia mengenal instrumen digital. Ia bergabung dengan pelatihan yang diadakan ukmindonesia.id bersama Whatsapp. Dari pelatihan itu, Arentim menjadi salah satu produk yang terkurasi dan masuk ke daftar ukmjagowan.id. Di situs tersebut, produk dan profil Arentim menjadi salah satu yang disorot.

“Di pelatihan dengan ukmindonesia.id dan Whatsapp itu kami betul-betul mendapatkan banyak sekali ilmu. Bagaimana memanfaatkan kanal digital.

Utamanya yang berinduk dengan Facebook ya, ada Whatsapp dan Instagram.

Dari situ kami juga sangat memanfaatkan sekali Whatsapp Business,” kata Hasrul.

 

Perluas pasar

Setelah memanfaatkan platform digital, Hasrul mampu menjangkau pasar yang lebih luas, termasuk menjadi pemasok di seluruh Sulawesi dan kota-kota di luar Sulawesi, seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Malang, NTB, dan NTT. Skala produksinya pun, meningkat. Dari yang semula per bulan hanya paling mentok di 200 kilogram, kini mencapai lima ton per bulannya. Otomatis, skala omzetnya pun melonjak. Setidaknya, dalam setahun Arentim mampu membukukan Rp1 miliar lebih.

“Awalnya saya pikir Whatsapp Business itu samalah dengan Whatsapp biasa, cuma dipisah. Ternyata banyak sekali fiturnya. Mulai kami

bisa membuat katalog, hingga iklan di Facebook yang langsung terhubung ke Whatsapp Business kami.”

Hasrul mengatakan, masuk ke pasar b2b (bussines to bussines) memang cukup sulit karena banyak lapisan yang harus dilalui. Sementara, dengan digitalisasi bisnis, prosesnya menjadi lebih egaliter dan demokratis.

“Memang dampak yang paling terasa ialah kami bisa menjangkau pelanggan yang lebih luas. Tidak perlu menggunakan biaya tinggi untuk mencapai wilayah-wilayah lain,” jelas Hasrul.

Setidaknya, Arentim mengalokasikan bujet untuk pengelolaan dan kampanye digitalnya per bulan mencapai Rp10 jutaan. Namun, menurut Hasrul, itu sebanding dengan skala produksi dan omzet yang dicapai saat ini.

Arentim pun merekrut beberapa pekerja yang memiliki latar belakang di dunia kreatif dan digital untuk memperkuat lini bisnis. Bahkan, salah satunya dijadikan sebagai pemegang saham Arentim. Ini dilakukan agar investasi digital dan produksi konten kreatifnya juga tidak membengkak tiap bulannya.

 

Pa’bulli jadi kunci

Dalam pengembangan yang dilakukan Hasrul untuk produk gula aren bubuk dan cairnya, ia menggunakan dua cara. Pertama ialah metode pemrosesannya, dan kedua penggunaan bahan alami.

Metode proses diperhatikan sejak nira aren masih berada di pohon. Sisi higienitas, kata Hasrul, menjadi hal penting. Sebab itu bisa memengaruhi hasil jadi gula arennya. Selain itu, mengecek kandungan pH air nira menjadi bagian tahapan awal dalam upaya menjaga kualitas.

“Kami juga menggunakan campuran dari bahan-bahan alami. Kalau di sini disebutnya pa’bulli. Jadi pa’bulli ini adalah campuran bahan-bahan alam, seperti daun manggis, nangka bagian dalam yang warna kuning, dan kulit langsat. Itu diproses, dicampurkan dalam wadah penampungan air nira.”

Dengan cara ini, kata Hasrul, bisa menjaga kualitasnya. Tidak semua air nira yang diambil dari pohon bisa jadi gula serbuk. Sebab, jika tidak benar, malah hasilnya tidak mengkristal, jadi seperti dodol, lengket.

“Itu juga yang bikin kami rugi di awal-awal.”

Dengan klaim kandungan airnya 1%, gula aren serbuk Arentim bisa bertahan hingga setahun. Ditambah dengan pengemasannya yang menggunakan alumunium foil.

Arentim juga sudah mendapatkan SPP-IRT (sertifikat produksi pangan industri rumah tangga), yang menjadi jaminan keamanan pangan. Dari pengalaman Hasrul, proses tersebut melalui audit sebelum produk

dinyatakan aman dan boleh beredar. Mereka juga sudah mendapatkan label halal.

Arentim juga mengklaim produknya mengandung Indeks Glikemik (IG) di angka 43.6. IG menjadi indikaor cepat atau lambatnya unsur karbohidrat dalam bahan pangan dalam meningkatkan kadar gula darah dalam tubuh.

Dengan mengutip dari situs Kemenkes RI, IG rendah berada di bawah angka 55.

 

Sejumlah kendala

Sebagai entitas bisnis yang berdomisili di luar Pulau Jawa, ada beberapa hal yang menjadi tantangan Arentim. Salah satunya, masih tingginya biaya logistik juga mengharuskan Hasrul memutar otak. Ia melihat, persaingan

juga begitu kompetitif. Melihat ada beberapa pelaku usaha di bisnis serupa di Pulau Jawa.

“Ketika kami deal harga dengan customer, akhirnya harus menekan (harga) untuk bisa masuk ke Jawa. Apa lagi di sana sudah banyak kompetitor, yang tentunya harganya juga kompetitif. Jadi dari sini juga sudah harus

ditekan harganya agar saat pengiriman tidak terlalu memengaruhi biaya.”

Hal lain, yang jadi permasalahan besar ketika pemerintah saat ini menggembar-gemborkan digitalisasi UMKM, nyatanya infrastruktur utamanya belum lah terbangun dengan baik. Dari pengalaman Hasrul, misalnya, di daerahnya di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, sinyal internet yang tersedia hanya dari satu provider.

“Di Jawa mungkin internet bagus infrastrukturnya. Kami yang di Sulawesi, memang ini yang selalu jadi masalah. Soal jaringan internet. Di tempat saya saja, akses untuk layanan provider internet rumah itu belum masuk.

Ya, kami andalkan data internet dari HP saja.”

Di samping itu, Hasrul juga menyampaikan, sumber daya juga masih menjadi tantangan. Bukan karena ketiadaan modal untuk mempekerjakan mereka. Namun, SDM yang berkualitas sudah kepincut ke perusahaan besar.

“Akhirnya para pelaku UMKM itu juga harus berjuang bagaimana setidaknya kami dulu yang memulai, misal dengan ikut-ikut pelatihan. Namun, sejak pandemi, pelatihan online itu juga kurang efektif sebenarnya. Karena butuh praktik, dan tidak semua orang mungkin bisa memahami secara langsung langsung kalau cuma lewat online.” (M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya