Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Masyarakat Tolak Rencana Pemerintah Revisi PP 109/2012

Mediaindonesia.com
30/8/2022 07:55
Masyarakat Tolak Rencana Pemerintah Revisi PP 109/2012
Acep Jamaludin.(DOK Pribadi.)

RENCANA pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan kembali mendapat penolakan dari berbagai kelompok masyarakat. Alasannya, jika ingin merevisi, pemerintah seharusnya melakukan serangkaian kajian termasuk kajian akademis dan melibatkan sektor publik, termasuk kalangan pelaku industri rokok. Nyatanya, hingga saat ini belum pernah ada kajian akademis dan belum melibatkan berbagi kelompok yang ada di masyarakat, termasuk kelompok masyarakat pelaku industri hasil tembakau.

"Proses revisi itu cukup panjang. Tentu ketika pemerintah akan melakukan proses revisi, pemerintah akan mengonsultasikan dengan berbagai pihak untuk kemudian di-drafting. Drafting harus ada naskah akademisnya terkait drafting revisi PP 109/12. Setelah itu dikonsultasikan untuk kemudian diambil keputusan. Karena ini PP, posisinya harus ada di Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Nah, apakah Presiden setuju atau belum?" ujar pengamat industri rokok dan rokok elektrik yang juga pengurus Dewan Pimpinan WIlatah (DPW) Partai Keadilan Bangsa ( PKB) Jawa Barat, Acep Jamaludin, dalam keterangan tertulis, Selasa (30/8).

Hal yang sama disampaikan ketua umum Koalisi Masyrakat Tembakau Indonesia, Bambang Elf. Menurut Bambang, Revisi PP 109/2012 tidak tepat dilakukan saat ini. Selain karena belum melakukan kajian akademis dan belum melibatkan sektor publik, PP tersebut dikhawatirkan ikut menaikkan cukai rokok kembali. Akibatnya, ini akan menaikkan jumlah produk rokok ilegal. "Merevisi PP 109/2012 hanya akan mematikan industri rokok yang legal sekaligus memakmurkan produk rokok ilegal. Mematikan industri rokok akan berdampak pada pengurangan penyerapan tenaga kerja kita dan penerimaan pemerintah," tegas Bambang Elf.

Jamaludin menambahkan alasan lain tentang ketidaksetujuannya jika hasil PP 109/2012 direvisi. PP hasil revisi tersebut akan memasukkan dan menyamakan produk rokok elektronik atau sejenis vape maupun rokok likuid dengan rokok konvensional yang selama ini dikenal masyarakat dunia. Padahal industri rokok vape merupakan salah satu bentuk industri kreatif. Usianya juga belum lama, sebab baru dikreasikan sekitar 2014. Namun karena kreatif, produk ini mulai digemari berbagai kelompok masyarakat. "Padahal sebenarnya itu dua hal yang berbeda. Industri vape bisa dikategorikan industri kreatif yang justru seharusnya dilindungi oleh pemerintah karena pelaku kegiatan ekonomi vape didominasi oleh anak muda skala UMKM," tegasnya.

Lebih lanjut Jamaludin menjelaskan, vape atau rokok elektronik tidak bisa disatukelaskan atau dikelompokkan dengan rokok. Industri rokok elekrik seperti vape masuk dalam kelompok industri ekonomi kreatif bukan holding atau industri besar. Karena itu pemerintah punya kewajiban untuk melakukan proses inkubasi dan akselerasi terhadap para pelaku usaha industri kreatif vape. Selain itu, rokok konvensional lebih banyak diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar. Rokok elektronik lebih banyak dihasilkan oleh perusahaan sekala UMKM atau usaha mikro kecil dan menengah yang banyak dipimpin oleh anak-anak muda yang kreatif. "Kalau vape dikelompokkan dengan rokok karena mengandung zat berbahaya, ini harus melalui mekanisme kajian secara akademis atau penelitian secara khusus dan itu harus dibuka ke publik," tegas Jamaludin.

Pendapat yang sama disampaikan Ketua Asosiasi Produsen E-Liquid Indonesia (APEI), Bebey Daniel. Pihaknya sepakat dengan berbagai pendapat dari kelompok masyarakat lain yang menolak revisi PP 109/2012. Hal ini karena dalam rencana revisi peraturan pemerintah (RPP) tersebut, pemerintah berencana memasukkan dan menyamakan rokok elektrik dengan rokok konvensional yang sudah ada sejak zaman dahulu hingga saat ini. Jika RPP tersebut memasukkan rokok elektrik, ini akan mematikan industri kreatif yang menghasilkan produk rokok elektrik atau likuid. 

"RPP tersebut tidak relevan diterapkan di rokok elektrik dan berpotensi mematikan industri kreatif rokok elektrik  lokal secara tidak langsung. Sebagai contoh pencantuman kandungan kimia berbahaya dan tar. Secara penelitian, rokok elektrik tidak mengandung hal tersebut," tegas Bebey Daniel.

Menurut Bebey Daniel, dalam RPP 109/2012 pemerintah tidak akan menghilangkan rokok elektrik  tetapi justru akan  mempersulit penjualan produk rokok elektrik lokal karya anak bangsa. Pihaknya sebagai produsen rokok elektronik atau elektrik justru diminta untuk menaikkan pendapatan dari sektor cukai. Padahal pihaknya memberikan solusi kepada pemerintah menjawab permasalahan bea cukai tentang cara menghasilkan produk yang rendah risiko tetapi dapat meningkatkan pendapatan negara. 

"Rokok elektrik karya anak bangsa inilah solusi yang kami berikan atas permasalahan yang ada saat ini. Memberikan alternatif merokok yang lebih aman bagi masyarakat juga memberikan pemasukan bagi negara dan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja Indonesia," papar Bebey Daniel. (OL-14)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya