Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DARI balik kabut dan gerimis itu muncul sosok-sosok kecil yang berjalan sambil membekap tubuh. Terlihat jelas mereka kedinginan. Jangankan jaket dan alas kaki, pakaian pun seadanya dan sudah lusuh.
Namun, itulah semangat anak-anak suku Wano, yang tinggal Kampung Mokondoma, Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah, saban pagi menuju sekolah. ‘Hampir setiap pagi hujan dan kabut tebal menutupi tempat tinggal kami, tapi hujan dan kabut tidak bisa menghalangi semangat anak-anak pergi ke sekolah tepat waktu’, demikian keterangan video di Instagram @andirumbrar23 itu.
Sang pemilik akun berpengikut 104 ribu itu ialah Andi Imanuel Rumbrar, seorang guru muda yang mengabdikan diri mengajar anak-anak suku Wano. Akrab disapa Pang Nguru Wano, pria asal Biak, Papua, yang merupakan sarjana dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, Banten, ini mengabdi di sana sejak Juli 2019 dengan mendirikan sekolah pertama di kampung itu, yang diberi nama Lentera Harapan Papua.
Baca juga : Pemerintah Diminta Akui Masyarakat Adat Pegunungan Meratus
Andi mengaku memang sudah lama bercita-cita menjadi guru di pedalaman. “Saya ingin ikut andil memberikan pendidikan yang setara bagi masyarakat pedalaman,” kata pria berusia 30 tahun itu kepada Media Indonesia melalui telepon, Selasa (24/9) malam.
Menuju Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober, pengabdian Andi adalah potret jiwa Pancasila sejati. Ia membumikan makna sebenarnya nilai keadilan sosial.
“Berharap dalam doa saya, suatu saat saya bisa melihat salah satu dari anak-anak ini tumbuh menjadi pemimpin di Tanah Papua, atau bahkan di Indonesia. Menjadi pemimpin yang takut, pemimpin yang membawa pengaruh dan memberikan dampak yang baik, pemimpin yang bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memajukan bangsa dan negara,” tambah pria yang tergabung dalam Yayasan Pendidikan Harapan Papua ini.
Baca juga : Kearifan Lokal Kehidupan Masyarakat Dayak Harus Diperjuangkan
Dengan segala keterbatasan, termasuk pensil yang tidak jarang harus dipakai bergantian, Andi tetap berusaha menerapkan pelajaran sesuai dengan kurikulum nasional. Di wilayah yang hanya didatangi pesawat kecil tiap 3-4 bulan sekali itu, para muridnya yang berkisar 50 orang tetap menggunakan Kurikulum 2013 dan dalam masa-masa untuk penyesuaian ke Kurikulum Merdeka.
Kegigihan anak-anak Wano bersekolah, yang dibagikan di media sosial pun membuat banyak pengikut Andi tersentuh. Dengan berbagi kisah itu pula Andi berharap pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat lebih mengupayakan pemerataan pendidikan bagi suku-suku pedalaman.
Ia ingin menunjukkan bahwa masyarakat pedalaman memiliki kemauan besar untuk maju. Tinggal pemerintah memberikan dukungan, termasuk lewat penempatan guru dan peningkatan kesejahteraan guru, sehingga lebih banyak orang mau mengabdi di pedalaman.
Baca juga : Ini Tahapan Penetapan dan Pengakuan Hutan Adat
“Hal-hal sederhana mungkin bisa dengan cara pelatihan-pelatihan untuk pengembangan skill para guru atau mungkin pelatihan-pelatihan untuk tingkatkan pemahaman guru dalam mengajar, juga program-program menyoal kesejahteraan guru-guru,” terangnya.
Anak Dayak di panggung dunia
Baca juga : Masyarakat Adat di Kalimantan Selatan Tolak Geopark Meratus
Seperti yang Andi cita-citakan, kesetaraan akses pendidikan hingga suku pedalaman memang penting untuk kemajuan, baik masyarakat adat sendiri maupun negara. Anak muda dari suku adat punya kemampuan sama dengan anak lainnya dalam berprestasi, bahkan hingga tingkat dunia. Mereka dapat menjadi suara untuk perjuangan masyarakatnya.
Gambaran itulah yang ada di diri Laetania Belai Djandam, keturunan asli Dayak Ngaju dan Ma’anyan. Perempuan berusia 22 tahun yang juga aktivis muda bidang lingkungan ini telah mewakili Indonesia sebagai anggota komunitas masyarakat Dayak ke beberapa pertemuan dunia, termasuk Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC-COP) ke-25 di Madrid, Spanyol, pada 2019.
Belum lama ini, ia melakukan misi kebudayaan ke Belanda. “Kami disambut dengan hangat di Belanda, terutama mengingat bahwa audiens kami adalah masyarakat umum, bukan orang-orang yang sudah mengenal isu masyarakat adat atau Dayak secara khusus. Kami juga mengundang Yeq Lawing, tokoh perempuan adat Dayak, sehingga mereka (masyarakat Belanda) bisa mendengar langsung dari generasi terakhir perempuan kuping panjang Dayak,” jelasnya, Kamis (26/9).
Di ajang-ajang lingkungan internasional, Belai mengaku kini sedang gencar mendorong skema Payment for Ecosystem Services (PES) yang merupakan sistem bagi masyarakat lokal agar bisa menerima kompensasi atas jasa ekosistem yang mereka lindungi. Tidak hanya itu, Belai juga terus mengadvokasikan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang akan berperan penting dalam melindungi ruang hidup dan hak-hak masyarakat adat.
“Aku berusaha mengajarkan kerangka kerja dan pola pikir yang diperlukan untuk menciptakan kemitraan yang lebih adil dan setara dengan masyarakat adat. Ini adalah undangan bagi semua pihak untuk merenungkan kembali sistem nilai kita dan belajar dari kebijaksanaan serta pengalaman yang dimiliki oleh masyarakat adat,” sebutnya.
Untuk memperkenalkan budaya Dayak, Belai menggunakan akun Instagram-nya, @belai_is_a_belian. Salah satunya, ia membagikan konten saat menerima tato tumpa lengan atau tato pala tumpa, yang merupakan tanda kehormatan.
“Konten berbasis budaya yang ingin aku angkat dengan tujuan memperkenalkan budaya Dayak dan tradisi kami agar orang-orang juga lebih paham dan paham makna di balik tradisi kami,” pungkasnya. (M-1)
Dayak Lebo ini juga dikenal sebagai penjaga hutan.Suku ini hidup dengan nomaden atau berpindah-pindah dan utamanya mendiami sebuah hutan.
Kelestarian desa adat ini bisa menjadi sumber pengetahuan bagi wisatawan baik lokal maupun intenasional untuk mengenal budaya dan tradisi Suku Dayak di Kalimantan
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan, dari Sabang hingga Merauk
Calon Presiden (capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo, mengenakan pakaian adat Dayak saat mengikuti kirab budaya Nitilaku di Universitas Gadjah Mada (UGM),
DOSEN IPB University dari Sekolah Vokasi, Dr Andi Early Febrinda mengatakan telah ada penelitian yang membongkar potensi bawang dayak sebagai pangan fungsional antidiabetes.
Bagi Suku Akit, sumpit menjadi simbol identitas dan kebanggaan mereka. Setiap detail sumpit, mulai dari bahan baku hingga ornamennya, memiliki arti simbolis.
Upacara mangkeng juga dimaksudkan untuk nyumpel atau menyumbat, maksudnya ialah menyumbat nafsu makan tamu undangan yang datang.
Penyebutan jekdong didasarkan pada bunyi kecrek 'jek' disusul dengan suara tepukan kendang dan bunyi gong.
Anak putu Bonokeling di pesisir selatan Jawa Tengah merupakan komunitas Islam abangan yang mengamini proses dialogis antara Islam dan tradisi Jawa.
Meski selama ini fokus ke balamut hiburan (karasmin), Ferdi Irawan, 22, memberanikan diri memenuhi permintaan untuk menjadi penutur balamut tatamba (pengobatan).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved