Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Upacara Mangkeng Ritus Penyerta Hajatan di Betawi

Fadjriah Nurdiarsih
20/10/2024 05:00
Upacara Mangkeng Ritus Penyerta Hajatan di Betawi
Suriyah (kebaya biru) yang merupakan dukun mangkeng, menutup tempat beras dengan kain putih. Proses ini menjadi bagian dari upacara mangkeng yang bertujuan memohon berkah.(Dok. FADJRIAH NURDIARSIH)

MASYARAKAT umum, bahkan juga banyak orang Betawi saat ini, mungkin tidak mengenal upacara mangkeng. Padahal, sekitar 40-50 tahun yang lalu, upacara mangkeng selalu menyertai setiap hajatan ataupun acara yang dibuat orang Betawi.

Acara yang digelar ataupun diniatkan bisa apa saja, baik pernikahan, sunatan, ataupun keriaan lainnya. Apabila upacara mangkeng tidak dilaksanakan, sang empunya hajat khawatir acara tidak akan berjalan dengan lancar.

Tradisi itu masih diingat betul oleh Marwiyah, 55, asal Jagakarsa, Jakarta Selatan. “Dulu mertua saya tiap acara apa aja pasti bikin mangkeng. Di dalem pendaringan atau gentong ditaruh beras, kemudian di atasnya ditutup dengan kaen putih yang diikat dan di atasnya lagi dikasih kembang tujuh rupa. Disebutnya ancak dan itu untuk nenek moyang,” ucap Marwiyah, Minggu (29/9).

Ancak merupakan media ritual adat yang digunakan untuk menaruh sajen atau persembahan bagi roh leluhur dan alam semesta. Isi ancak dapat berbeda-beda bergantung pada jenis dan skala ritual yang dilaksanakan. Biasanya ancak ditaruh di tempat-tempat tertentu yang disukai makhluk halus. Ancak dipercaya menjadi perantara untuk menyenangkan leluhur dan makhluk halus yang hidup berdampingan dengan manusia.

Mangkeng sendiri berasal dari kata pangkeng, dalam bahasa Betawi berarti kamar. Disebut upacara mangkeng karena memang upacara itu dilakukan di dalam kamar, terutama kamar yang dekat dengan dapur dan menjadi tempat persediaan bahan-bahan makanan. Pelakunya disebut dukun mangkeng.

Secara umum, menurut Yahya Andi Saputra, budayawan Betawi, upacara mangkeng ialah upacara upacara adat Betawi yang bertujuan menangkal hujan pada acara-acara seperti pernikahan, perayaan massal, dan penanaman padi. Upacara itu dilakukan untuk memastikan hujan tidak mengganggu jalannya acara keriaan atau pesta pernikahan.

 

Laku spiritual

Marwiyah menambahkan, seorang dukun mangkeng tidak hanya berfungsi sebagai orang yang mengatur jalannya pesta, misalnya seperti menentukan tanggal acara pesta atau mengatur persediaan makanan.

Dukun mangkeng juga menjalankan laku spriritual. Oleh sebab itu, seorang dukun juga melakukan persyaratan tertentu sebelum menjalankan upacara tersebut, di antaranya berpuasa serta menjaga diri dari hal-hal yang kurang pantas dilakukan. Seorang dukun tidak boleh berbuat tercela ataupun keluar dari tempatnya berdiam selama berlangsungnya upacara tersebut.

Salah seorang dukun mangkeng yang masih tersisa saat ini ialah Suriyah, 62. Ia mengenal ritual mangkeng dari orangtuanya, Mak Enab.

Menurut penuturan Suriyah, ia mulai belajar menjadi dukun pangkeng pada usia 20-an meski kemudian lebih terkenal sebagai dukun piare atau orang yang memelihara kesehatan dan kebugaran calon pengantin perempuan pada saat sebelum menikah. Setelah itu, Suriah mengembangkan keahliannya menjadi tukang masak pada acara-acara hajatan, barulah ia mendapatkan ilmu dan berkiprah sebagai dukun mangkeng.

Ada beberapa tugas yang dilakukan dukun mangkeng, di antaranya mengatur hidangan untuk tamu, melakukan ritual agar tamu datang ke acara, menahan turunnya hujan, merapal jampe agar makanan yang disediakan cukup, mencatat sumbangan dari masyarakat, dan mencatat pemasukan dan pengeluaran tuan rumah.

Hal itu disebabkan di Betawi dikenal tradisi mulangin. Maksudnya ialah orang yang datang membawa buah tangan tertentu harus mendapatkan kue-kue atau masakan lain yang setimpal saat ia pulang nanti dari tempat pesta. Di masa sekarang, terutama pada pesta-pesta orang Betawi yang dilakukan secara tradisional di rumah, jasa dukun pangkeng masih tetap diperlukan.

Suriyah menuturkan, pemakai jasanya tidak hanya di wilayah tempat tinggalnya saja di Kebagusan, Jakarta Selatan, tetapi juga hingga ke Meruya, Jakarta Barat, dan Bogor. Salah satu faktor masyarakat melestarikan upacara itu ialah meneruskan adat leluhur yang sudah dijalankan sejak turun-temurun sehingga tidak disalahkan atau digunjingkan orang apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam waktu menyelenggarakan hajatan.

Upacara mangkeng biasanya dilaksanakan selama tiga hari. Selama masa hari pertama itu, seorang dukun pangkeng tidak boleh makan di tempat orang hajatan, tapi ia boleh makan di rumahnya sendiri. Sehari sebelumnya, dukun pangkeng melakukan upacara permulaan. Dia diharuskan dalam keadaan berpuasa dan menyediakan beberapa keperluan pelengkap upacara, seperti kembang tujuh rupa, telur ayam kampung, rokok/lisong, sirih gambir, kemenyan, tembakau, dupa, dan arang.

Dukun mangkeng kemudian menuju pendaringan atau tempat beras yang sudah ditutupi kain putih tadi. Ia memulai upacara dengan membaca mantra pada beras yang ada dalam pendaringan. Tujuannya memohon keberkahan pada arwah leluhur, dalam beberapa versi disebut Dewi Sri, yakni dewi kemakmuran, agar makanan yang disediakan pada acara itu cukup untuk tamu yang datang.

Dalam buku Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Khusus Ibu Kota terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta pada 1985 disebutkan, upacara mangkeng juga dimaksudkan untuk nyumpel atau menyumbat, maksudnya ialah menyumbat nafsu makan tamu undangan yang datang.

Dengan upaya dukun pangkeng, tamu undangan tidak akan bernafsu atau lahap dalam makan dan minum hidangan yang disajikan. Dengan demikian, persediaan hidangan pun dapat dihemat.

Mantra yang diucapkan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Seorang tukang mangkeng merahasiakan mantranya dan akan diturunkan kepada anak atau penerusnya ketika waktunya dianggap tiba. Dalam beberapa versi, ada yang menyebut nama arwah leluhur, seperti memanggil ”Uyut yang dari milir, uyut yang dari mudik, uyut yang dari ngetan, dan uyut dan dari kulon.” Namun, pada masa ini, ada yang juga yang menambahkan kata-kata memanggil Tuhan YME (Allah SWT) dan memanjatkan doa secara Islam. (M-1)

 

Fadjriah Nurdiarsih tergabung dalam Asosiasi Tradisi Lisan Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta.

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya