Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
UPAYA meniadakan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi pekerjaan besar bagi masyarakat modern dewasa ini. Kasus-kasus kekerasan tersebut masih terus terjadi, dengan laju yang lebih besar daripada penyelesaiannya. Fenomena itu sendiri bukan hanya berlaku di Indonesia, melainkan juga di banyak negara lain.
November dan Desember menjadi momentum penting bagi upaya perlindungan terhadap perempuan. Sejak 2001, selama kurun 25 November hingga 10 Desember, diperingati sebagai 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan. Sebuah kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Di Indonesia, kampanye serupa diselenggarakan dengan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai motor penggerak.
Untuk memperoleh gambaran perihal fenomena kekerasan terhadap perempuan di Tanah Air, berikut strategi pencegahan dan penanggulangannya, Media Indonesia berbincang dengan
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, via telepon pekan lalu. Berikut petikannya.
Bagaimana tren terkini kasus kekerasan pada perempuan di Indonesia?
Setidaknya dalam dua atau tiga tahun terakhir ini kita bisa melihat angka pelaporan itu terus bertambah. Bisa dilihat dari data catatan tahunan Komnas Perempuan yang merupakan kompilasi dari berbagai lembaga layanan yang juga menerima laporan. Yang melapor pada Komnas Perempuan sendiri juga terus bertambah.
Sejauh ini, yang masih paling banyak dilaporkan ialah kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT). Kalau pada istri itu mayoritas kasus penganiayaan, sedangkan kekerasan terhadap anak perempuan itu justru yang paling banyak ialah kasus kekerasan seksual.
Ada juga kekerasan lain yang sifatnya komunal atau terjadi di masyarakat itu, misalnya dalam konfl ik sumber daya alam dan lain-lain. Jadi memang sangat beragam, tetapi KDRT masih yang paling banyak dilaporkan.
Daerah dan lingkungan seperti apa yang paling banyak terjadi kekerasan terhadap perempuan?
Tingginya pelaporan sangat tergantung pada jumlah fasilitas atau lembaga yang melakukan pelayanan. Jadi kalau misalnya di daerah itu ada banyak fasilitas pemberi layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan, jumlah aduan juga umumnya akan lebih banyak.
Memang kalau dilihat persebaran lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan itu mayoritasnya masih di perkotaan. Kalau di masa pandemi ini kan pelaporan pindah ke online semuanya. Daerah-daerah yang punya infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi baik itu memungkinkan melakukan pelaporan. Sementara itu, di daerah yang teknologinya belum berkembang, jumlah laporannya jadi relatif sedikit.
Lalu, di data Komnas Perempuan, perempuan yang penghasilan total keluarganya kurang dari Rp5 juta per bulan dan punya tanggungan lebih dari 3 orang itu paling potensial mengalami kekerasan.
Bagaimana dengan tren pelakunya?
Dari jenis kelamin pelaku, memang masih lebih banyak laki-laki. Kalau kita lihat, karena kebanyakan kasusnya KDRT, yang paling banyak menjadi pelaku ialah suami atau laki-laki kepala keluarga. Ada juga paman atau anggota keluarga lakilaki lainnya.
Untuk kasus yang lebih luas, seperti terkait dengan masalah lingkungan hidup, seperti di Kendeng, tentu yang dilaporkan ialah pejabat publiknya atau petugas keamanan. Kalau di lembaga pendidikan, laporan paling banyak itu dosen laki-laki atau tokoh agama di pesantren.
Sampai sekarang, berdasarkan laporan, pelakunya ialah orang yang dikenali korban. Termasuk untuk kekerasan seksual, sebagian besar pelaku ialah orang yang dikenali. Pada kasus perkosaan berkelompok juga biasanya ada salah satu pelaku yang kenal atau minimal mengetahui korban.
Di tengah masa pandemi seperti ini, benarkah kekerasan pada perempuan rawan meningkat?
Kami sudah membuat beberapa kajian dan survei. Dari survei itu diketahui potensi KDRT bisa bertambah karena beban yang dialami perempuan pada rumah tangga selama masa pandemi. Faktor ekonomi juga cukup menjadi pemicu, terutama bila ada pengurangan hingga terputusnya penghasilan.
Dari Januari hingga Agustus 2020 saja, jumlah aduan kekerasan ke Komnas Perempuan sudah melebihi jumlah yang masuk ke kami sepanjang 2019. Jadi, memang ada peningkatan aduan secara signifi kan selama pandemi.
Apa jenis keke ra s a n yang paling banyak diadukan selama pandemi?
Kekerasan berbasis online. Mungkin karena aktivitas orang lebih banyak secara daring, kekerasan berbasis online ini juga meningkat. Bentuknya pelecehan seksual dengan berbagai formatnya secara daring.
Di era digital, perempuan kerap menjadi sasaran kejahatan digital dalam berbagai bentuk. Pada kasus video seksual misalnya, perempuan selalu jadi pihak yang disudutkan. Pendapat Anda?
Ini karena memang perempuan di masyarakat kita masih ditempatkan sebagai objek seksual. Selama perempuan tidak dibantu secara sungguh-sungguh untuk menjadi warga negara yang setara dan ada perubahan di tingkat budaya dan paradigma masyarakat, kondisi itu akan terus berulang.
Pada beberapa kasus, bahkan perempuan mengalami kriminalisasi karena adanya isi UU yang multitafsir, seperti UU soal Pornografi dan UU ITE. Misalnya, yang paling terkenal itu kasus Baiq Nuril. Itu harus dikoreksi. Diharapkan juga melalui RUU PKS, bunyi-bunyi hukum yang multitafsir bisa dikoreksi.
Literasi seperti apa yang bisa dilakukan untuk mengubah paradigma tersebut di masyarakat?
Selama beberapa tahun terakhir, kami terus mendorong dan melakukan literasi pada anak muda dan perempuan soal potensi risiko yang ada kekerasan seksualnya baik di wilayah daring atau luring. Namun, ini juga sesuatu yang butuh kontestasi karena di saat bersamaan, kelompok yang menolak RUU PKS juga melakukan kampanye kampanye yang sampai ke tingkat penyebaran hoaks.
Bagaimana membangun kesadaran perlindungan perempuan dari segi pendidikan?
Menurut saya, kemajuannya ada, tapi tetap masih dalam kontestasi. Jadi kita sebenarnya tidak mendapat dukungan penuh untuk menyertakan ini di dunia pendidikan. Namun, tetap ada progres dan pengembangan. Misalnya, Kementerian Agama sudah mengeluarkan peraturan Dirjen untuk perguru an tinggi kesilaman membuat sistem pencegahan dan penanganan pelecehan seksual. Namun, untuk menurunkannya menjadi sesuatu yang aplikatif itu tidak gampang. Dibutuhkan juga kesadaran dari lembaga-lembaga pendidikannya.
Infrastrukturnya juga kerap tidak mendukung. Jadi menurut kami, ini masih jadi suatu pekerjaan besar yang harus diselesaikan.
Bagaimana Komnas Perempuan menekan dan membantu menyelesaikan kasus-kasus, khususnya di tengah pandemi saat ini?
Komnas Perempuan baru-baru ini memeriksa sekitar 414 kebijakan daerah tentang pemulihan dan dukungan untuk perempuan korban kekerasan. Bentuknya layanan bisa layanan
hukum, layanan psikologis, dan lain-lain. Ternyata cara atau bunyi pada kebijakankebijakan daerah ini sebagian besar tidak menyertakan dan tidak memahami kebutuhan perempuan yang multidimensional. Untuk pengaduan, di situasi pandemi ini Komnas Perempuan melakukan pemindahan peng aduan ke sistem online. Memang sistem rujukannya menjadi lebih rumit, tapi kami terus koordinasi dan komunikasi dengan penyedia layanan di tiap-tiap daerah.
Bagaimana penanganan aparat hukum atas kasus-kasus ke kerasan pada perempuan selama ini?
Kita belum mengkaji lengkap tentang bagaimana bentuk putusan soal kekerasan seksual di pengadilannya. Namun, secara umum, kita tahu ada disparasi. Misalnya, ada hakim yang bisa putuskan hingga 15 tahun, tapi ada juga yang hanya memberi 2 tahun untuk kasus serupa. Itu akan kita pelajari apa sebenarnya yang menghalangi hakim untuk mengambil keputusan yang kira-kira tidak mengurangi rasa adil bagi korban.
Selama ini juga banyak kasus yang tidak berlanjut karena dianggap kurang bukti. Kurang bukti ini hendak kita koreksi dalam RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) agar kita bisa memperkuat hukum acaranya dan tidak membebani korban. Kalau model seperti ini bisa dilakukan, impunitas pelaku akan berkurang. Selama ini rata-rata penyelesaian kasus dari dilaporkan ke kami lalu ke kepolisian sampai dia diputuskan di pengadilan itu hanya sekitar 30%.
Apa dampak paling signifikan pengesahan UU PKS terhadap pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kejahatan seksual?
Kasus pelecehan seksual kalau di UU sekarang tidak bisa diajukan karena tidak ada klausulnya di KUHP. Ada beberapa tindak kekerasan yang memang tidak dikenal di sistem hukum pidana kita. Karena itu, koreksinya harus segera untuk mengisi kekosongan hukum. Karena yang harus kita lakukan itu juga ada soal perbaikan hukum acara pidananya,
memastikan pemidanaan, memastikan pemulihan korban, yang itu sekarang tidak ada dalam KUHP. Upaya pencegahan dan pendokumentasiannya harus dibuat melalui RUU PKS supaya kami bisa melakukan intervensi lebih baik.
Ada beda pemahaman pihakpihak, khususnya di DPR terkait dengan RUU PKS, apakah memang perumusannya belum matang dan kurang merangkul banyak kalangan?
RUU PKS ini inisiasi nya sudah dilakukan mulai 2010 karena sebagian besar organisasi itu kan tumbuh pascareformasi. Jadi kita mulai membuat kajian yang sangat spesifik
terhadap kekerasan seksual itu di 2010. Perjalanan dan pengumpulan informasi soal apa yang dialami perempuan dan sebagainya itu dilakukan sampai 2014 yang kemudian
diadopsi kedua calon presiden dan semua partai saat itu.
Proses pengumpulan informasi dan pelibatan diskusi dilakukan dengan sangat banyak pihak, terutama dari kelompok perempuan yang melakukan langsung pendampingan kasus. Jadi, rumusan RUU ini bukan hanya berbasis teori. Dia sangat faktual. Lalu, dibuat naskah akademiknya, dibahas selama lima tahun, itu melibatkan semua orang sebenarnya, menurut saya. Tanggapan dan kempanye nya cukup besar, termasuk juga kampanye dari pihak yang menolak.
Anda optimistis RUU PKS akan masuk ke Program Legislasi Nasional Prioritas 2021?
Kami ingin bersurat ke Baleg DPR untuk mengingatkan komitmen penyelesaian RUU PKS karena itu janji yang harus terus ditagih bersama- sama. Namun, saya berusaha untuk percaya bahwa anggota perlemen itu memiliki kesungguhan untuk membuat perlindungan yang lebih baik pada perempuan. (M-2)
Anggota Pansel capim dan dewas KPK Ivan Yustiavandana mengatakan di tahap selanjutnya, yaitu wawancara.
KETUA Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna mengaku remuk melihat kondisi MK saat ini yang makin hari makin dilemahkan.
KETUA Umum Partai NasDem Surya Paloh menegaskan dukungan partainya atas inisiatif hak angket di DPR RI untuk mengusut dugaan kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2024.
Presiden Vladimir Putin menyatakan dalam wawancara bahwa Barat harus menyadari bahwa "tidak mungkin" untuk mengalahkan Rusia di Ukraina.
Pengumpulan data penelitian tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Terdapat langkah pengumpulan data dan teknik pengumpulan data yang harus diikuti.
Pagelaran Paritrana Award tahun 2021 ini telah memasuki tahap penjurian (wawancara) bagi para kandidat penerima penghargaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek).
MUSISI dan penyiar Gusti Irwan Wibowo atau dikenal dengan Gustiwiw meninggal dunia di penginapan yang berlokasi di Jalan Maribaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Komnas Perempuan mencatat sepanjang 2024 telah terjadi 330.097 kasus kekerasan berbasis gender (KBG), meningkat sejumlah 14,17% dibandingkan 2023.
AMNESTY International merilis laporan tahunan 2024 yang mengungkapkan bahwa praktik otoritarian semakin menjangkiti negara-negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Bupati Kebumen Lilis Nuryani mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berani melapor jika terjadi kekerasan.
Berdasarkan data UPTD PPA, sebanyak 13 orang merupakan perempuan. Sisanya 5 orang anak laki-laki dan 7 orang anak perempuan.
WAKIL Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira menyoroti kejahatan yang terus dilakukan oleh kekerasan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved