Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
Saat ini, sejumlah provinsi di Indonesia, seperti Sumatra, Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Bali secara bertahap mulai membuka destinasi wisata mereka. Protokol kesehatan untuk berwisata tentu juga diterapkan, dari pembatasan kapasitas pengunjung, kelayakan sanitasi, hingga kewajiban memakai masker.
Wakil Sekjen Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Bahriyansyah meramalkan pola berwisata di era new normal dan ke depannya tidak akan sama seperti sebelumnya. Hal itu ia sampaikan, juga soal stagnasi kondisi pelaku industri dalam perbincangan bersama Media Indonesia via telepon, Rabu (29/7). Berikut petikannya.
Bagaimana kondisi terkini pelaku industri pariwisata, terutama agen tur dan travel, setelah empat bulan pembatasan sosial skala besar (PSBB)?
Masih tidak ada yang bisa dilakukan secara bisnis. Asita sendiri berusaha memotivasi teman-teman agen tur dan travel karena mereka sudah dalam fase surviving untuk keluar dari kondisi tanpa pemasukan selama empat bulan berturut-turut.
Beberapa tempat wisata sudah mulai beroperasi, apakah ada pengaruh?
Belum ada. Dari sisi Asita, dengan dibukanya beberapa destinasi itu, toh masih terbatas untuk warga lokal. Artinya, mereka akan langsung ke tempat wisatanya, tidak melalui biro perjalanan untuk merancang perjalanan. Jadi, itu belum ada bisnisnya pada kami. Pola yang sekarang berjalan, seperti dibukanya kembali Taman Impian Jaya Ancol atau Kebun Binatang Ragunan, itu hanya untuk warga ber-KTP DKI Jakarta. Jadi, belum ada untuk, misal, paket wisata buat wisatawan daerah ke tempat itu.
Bagaimana kondisi Indonesia secara garis besar?
Bali mulai dibuka akhir Juli untuk wisatawan, Borobudur kabarnya juga sudah mulai buka, dan beberapa taman nasional.
Pada 31 Juli, Provinsi Bali dibuka. Itu pun baru untuk wisatawan lokal. Sebenarnya ada beberapa provinsi yang sudah membuka diri kembali untuk wisatawan, antara lain Sumatra Barat dan Nusa Tenggara Timur yang secara mayoritas di sana sudah dalam zona hijau.
Permasalahannya, siapa sekarang yang mau berwisata naik pesawat?
Jadi, kesempatan berwisata sudah terbuka, tetapi masih dengan pola staycation, perjalanan darat terlebih dahulu.
Itu pun dilakukan dalam kelompok kecil, keluarga. Grafik dari teman-teman Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) ada kenaikan sedikit tingkat hunian, tetapi bukan pada hotel konvensional, melainkan pada penginapan yang lebih privat seperti cottage dan villa pada tingkat akhir pekan.
Pergerakan road trip di Pulau Jawa belum berdampak pada bisnis pariwisata?
Belum ada. Kami banyak melihat aktivitas masyarakat yang berwisata terkini menyasar outdoor dan masih banyak mencari destinasi yang gratisan. Destinasi yang hanya untuk dipandang, tidak untuk merasakan pengalaman, seperti ke sawah, jalan di pegunungan, berhenti di kebun orang.
Agen pariwisata tidak ada yang membuat paket seperti itu?
Kami sedang berusaha melihat bagaimana pola pasar yang terbentuk sekarang, trennya ke mana, untuk dibuat kemasan-kemasan wisata. Tentu di samping kreativitas, rekan agen travel mengemas pengalaman berwisata yang menyesuaikan dengan polapola outdoor dan kelompok kecil yang mereka saling percaya untuk bepergian bersama.
Dalam waktu dekat, tidak akan ada lagi perjalanan dengan pola open trip yang bersifat mengumpulkan duadelapan orang yang tidak saling kenal berjalan bersama. Secara logika, tidak akan ada yang percaya antarorang dengan riwayat yang satu sama lain tidak mengetahui.
Ada kerja sama dengan hotel atau penginapan?
Paling agen menjualkan bersama PHRI, menawarkan penawaran pay now stay later. Jadi, membeli kupon penginapan sekarang, kapan mereka bisa tinggal berangkat. Itu juga sebagai salah satu upaya minimal ada pemasukan walaupun tamu belum mengambil hak jasa mereka.
Namun, kalau untuk bepergian via penerbangan, saat ini belum akan signifikan menjadi opsi orang kalau mereka tidak betul-betul mendesak karena pekerjaan, tugas, atau kepentingan keluarga seperti musibah kematian dan lainnya.
Ke depan, apakah tes kesehatan tersebut akan masuk dalam tiket perjalanan atau menjadi tanggung jawab agen travel dalam paket perjalanan?
Tentunya kami memodifi kasi paket perjalanan. Otomatis akan ada penambahan biaya dengan protokol kesehatan sesuai standar cleanliness, health, safety, and environmental sustainability (CHSE). Akan tetapi, karena sekarang ifatnya yang penting laku, untung tipis tidak masalah.
Jadi, walaupun aktualnya belum ada penjualan, tetapi beberapa rekan di Asita telah memodifi kasi paket perjalanan seperti paket meeting kunjungan kerja. Kami sudah harus mencari tempat di dalam satu pulau, antarkota, mencari transportasi yang sudah sesuai standar moda transportasi dan CHSE. Beberapa rekan transportasi wisata juga sudah memodifikasi ketersediaan bangku di dalam bis, misalnya, sesuai 50% kapasitas. Ini yang akan membuat harga menjadi lebih mahal.
Lalu, kami akan memilih hotel, restoran, dan tempat wisata untuk kunjungan kerja dengan memastikan keamanan dan kenyamanannya.
Namun, dari berbagai persiapan, untuk layanan paket itu belum bisa direalisasikan?
Yang menjadi masalah buat kami sekarang, paket tersebut kami siapkan, tetapi juga kami belum tahu kapan bisa berjalan. Pihak swasta dan lainnya, mereka masih asyik dan firm dengan meeting virtual.
Kita telah membaca, mendengar, dan menonton bagaimana Presiden Jokowi marah dengan penanganan pergerakan ekonomi yang sangat kecil di sisi pemerintah. Sebenarnya kami di industri pariwisata berharap pemerintah duluan yang membelanjakan anggaran tingkat pemerintah pusat dan daerah hingga BUMN-nya, yang sebenarnya mereka punya anggaran yang kita tahu dari beberapa informasi media massa, daya derasnya masih di bawah 10%.
Seandainya mereka sudah membiasakan tidak selalu webinar untuk kegiatannya dan sedikit demi sedikit bergeser ke semiwebinar, sebagian ada temu tatap muka, tentu dengan protokol kesehatan yang ketat, roda ekonomi jadinya bisa berputar.
Seberapa signifikan?
Bila aktivitas kunjungan kerja sudah mulai mereka lakukan, dampaknya ada tempat/ venue yang dipakai, entah itu hotel atau apa, kemudian penginapannya, konsumsinya tetap ada yang dibelanjakan, kemudian layanan jasa transportasi ada yang terpakai.
Agen travel juga bisa lebih tahu destinasi objek-objek wisata yang cukup baik, aman, dan nyaman. Itu akhirnya semua sektor akan mendapat benefi t dari itu. Namun, kita lihat sampai sekarang itu semua belum terjadi. Jadi, bagaimana roda ekonomi berputar kalau pemerintah sendiri belum menyerap? Sementara swasta sendiri sekarang banyak yang terkapar.
Hanya keinginan besar dari pemangku kebijakan ini untuk mendorong hal itu terjadi. Efek dominonya akan banyak bila dimulai lebih dahulu dari kegiatan pemerintah. Itu yang Asita harapkan karena menunggu dari umum dan swasta membelanjakan hal-hal leisure, bahkan untuk pengeluaran bisnis saja, mereka sudah melakukan penghematan.
Lalu, ada inisiatif apa dari Asita?
Kami mendorong teman-teman di provinsi untuk be kerja sama antarprovinsi, misal, Lampung dengan Sumatra Selatan. Sumatra Selatan dengan Bangka Belitung. Jadi, antarprovinsi terlebih dahulu. Kemudian diharapkan provinsi-provinsi yang sudah di zona hijau bisa menjalin kerja sama wisata dengan negara-negara tetangga, mempromosikan dan meyakinkan wisata di provinsi itu berjalan sesuai protokol kesehatan.
Karena kalau kita menunggu 34 provinsi menjadi zona hijau, saya tidak yakin dengan tingkat kedisiplinan kita sendiri yang memang sangat rendah.
Jenis-jenis pariwisata apa yang bisa buka duluan dan yang paling akhir dibuka?
Destinasi yang bisa kita lakukan duluan ialah terkait outdoor activity, seperti pantai, taman nasional, taman margasatwa. Borobudur yang outdoor masih bisa dibuka, tetapi dengan pembatasan kunjungan yang tidak massal lagi, juga dengan protokol kesehatan.
Itu semua sudah dijalankan dan sudah diujicobakan pada destinasi Borobudur. Walaupun belum pada area inti, simulasi sudah mereka lakukan.
Dikatakan Presiden juga pola wisatawan menjadi solo traveling dan staycation?
Untuk staycation, itu akan berlangsung sementara. Itu tidak akan selamanya. Manusia akan beradaptasi. Sementara itu, untuk solo travelling, saya tidak yakin walaupun memang bisa. Namun, buat orang Indonesia, solo travelling belum menjadi budaya. Pelancong Indonesia akan lebih menjadi kelompok kecil.
Kalau polanya begitu, nantinya hanya orang berduit yang bisa berwisata dengan merasa aman dan nyaman?
Sudah pasti. Nanti itu wisatawan terpola. Ke depan, untuk berwisata pasti menjadi beberapa klaster. Artinya, klaster dari segi ekonomi. Anggaplah perjalanan ke luar negeri bukan lagi seperti tahuntahun lalu yang orang bisa segampang itu bepergian.
Dengan batasan-batasan jarak fisik dan pengurangan kapasitas di layanan transportasi, secara ekonomi itu akan membuat harga tinggi.
Mungkin sekarang masih banyak promo karena yang penting beroperasi dahulu. Namun, ke depan, harga itu akan mengalami penyesuaian karena ada pembatasan kapasitas, penambahan fasilitas sesuai syarat protokol kesehatan. Maka itu, timbul kreativitas dan inovasi di tingkat destinasi untuk mengatasi hal-hal itu.
Sekarang ini, Asita beberapa kali webinar menjajaki sejauh mana kesiapan desa wisata dari sisi akomodasi, hingga layanan. Demikian juga pada jenis hari wisata.
Karena destinasi seperti ini yang akan menjadi opsi, selain mengganti destinasi wisata belanja ke mal, ke bioskop, akhirnya kembali ke destinasi kebun wisata dengan kelompok memiliki rasa privat, tetapi tetap mendapat pengalaman berwisata.
Paket-paket wisata ekslusif nanti akan terbentuk?
Memang, sementara ini akan lebih ke perjalanan yang privat yang menjadi opsi wisatawan ke depan. Beberapa pola berwisata juga akan berubah, seperti hotel yang meninggalkan pola makan prasmanan dan menawarkan makan di kamar dengan menu makanan dan minuman sehat seperti jamu dan jus.
Sebenarnya, sebelum pandemi covid-19 ini pun, baik pola wisatawan asing maupun domestik sudah sedikit berubah. Belakangan ini, orang untuk berkunjung ke sebuah destinasi sudah mulai tidak mau tinggal di hotel konvensional. Mereka memilih homestay atau guesthouse supaya bisa berinteraksi dengan penduduk lokal dan mendapatkan pengalaman berwisata dari komunitas, kearifan lokal yang dikunjungi.
Ke depan, ini tinggal menyesuaikan saja.
Asita sudah memulai kurasi untuk perjalanan internasional di era new normal ini?
Kami belum lama melakukan webinar, mencoba melihat bagaimana ada negara yang sudah membuka untuk turis seperti Turki. Turis Indonesia sudah ada rombongan kedua, kemarin, berkunjung ke Turki.
Kami mempelajari bagaimana proses jasa wisata oleh tur operator Turki, dari wisatawan berangkat dari negara asal, sesampainya di Turki, penanganan ke wisatawan yang tadinya dijemput di pintu kedatangan, sekarang bertemu pemandu lokal di bus.
Protokol bus juga dengan pembatasan jumlah penumpang. Tiap pelancong dibekali perlengkapan sanitasi dan masker yang selalu disuplai sehingga tamu tidak perlu khawatir bila kehilangan masker.
Masuk ke destinasi, kami pelajari bagaimana protokolnya. Kami belajar dari negara itu. Kami ingin ketika wisatawan datang ke Indonesia, kami bisa melakukan hal yang sama, memberikan rasa aman tidak lepas dari rasa nyaman.
Bagaimana Asita melihat prospek pariwisata di semester II 2020?
Dengan terbentuknya pola kesiapan kita selama tiga-empat bulan dari yang terkungkung, kemudian orang sudah berani keluar berinteraksi, tentunya sudah mulai bergerak. Lama-lama akan ada keberanian. Namun, pasti juga diantisipasi dengan bagaimana meningkatkan imun masing-masing.
Namun, kecepatan pergerakan ekonomi secara keseluruhan, jika pemerintah sendiri tidak mendorong pembelanjaan di internal mereka untuk mendorong ekonomi swasta bergerak, akan lama pertumbuhannya.
Tentunya tetap dengan konsekuensi protokol CHSE menjadi nomor satu dan tidak bisa diganggu gugat karena kita memerlukan kepercayaan dari asing (internasional). Maka itu, protokol kesehatan harus diterapkan oleh siapa pun di industri mana pun.
Ke depannya, kita biasakan dahulu untuk tingkat lokal wisatawan Nusantara terlebih dahulu. Siapkan protokol kesehatan saat berwisata oleh semua unsur pelaku wisata harus terbiasa dengan CHSE. Ketika datang wisatawan asing, nanti kita sudah tidak gagap lagi. (M-2)
______________________________________________
BIODATA
Nama: Bahriyansyah
Tanggal lahir: 28 Mei 1967
Edukasi
*1986 SMA Negeri Wiradesa Pekalongan
*1990 Universitas Persada Indonesia (UPI), Teknologi Informasi
*1995 UPI YAI
Karier
*Presiden Direktur PT Beeholiday Mitra Wisata Tour & Travel * Pemilik Sriwijaya Air cabang Tanah Abang Branch
*Pemilik Garuda Indonesia cabang Salatiga & Pangkalanbuun
*Pemilik Bee Trans, Bee Cargo, Majalah Wisata
*Pemilik Arut Riverside House Pangkalanbuun Kalimantan Tengah Organisasi
*Kepala Bidang Investasi GIPI
*Penasihat ASPPI
*Wakil Sekjen Asita
Anggota Pansel capim dan dewas KPK Ivan Yustiavandana mengatakan di tahap selanjutnya, yaitu wawancara.
KETUA Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna mengaku remuk melihat kondisi MK saat ini yang makin hari makin dilemahkan.
KETUA Umum Partai NasDem Surya Paloh menegaskan dukungan partainya atas inisiatif hak angket di DPR RI untuk mengusut dugaan kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2024.
Presiden Vladimir Putin menyatakan dalam wawancara bahwa Barat harus menyadari bahwa "tidak mungkin" untuk mengalahkan Rusia di Ukraina.
Pengumpulan data penelitian tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Terdapat langkah pengumpulan data dan teknik pengumpulan data yang harus diikuti.
Pagelaran Paritrana Award tahun 2021 ini telah memasuki tahap penjurian (wawancara) bagi para kandidat penerima penghargaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek).
Masyarakat yang sudah terlanjur mudik diminta tidak kembali ke Jakarta. Tujuannya agar penyebaran covid-19 di Ibu Kota tidak semakin meluas.
"Jika masih ada orang yang otaknya berpikir lockdown tidak lebih baik daripada social distancing, pasti lah orang itu terbawa arus politik."
Dia juga memborong dan memberikan tanggapan atas barang yang ia beli itu. Misalnya membeli sambel, ia akan mempromosikan sambel itu dengan sensasi nikmat yang ia rasakan.
Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Mataliti mengungkapkan para pedagang yang meramaikan pasar Cipulis bukan pedangan yang punya kios di pasr Cipulir. Mereka adalah PKL.
Tulus menambahkan bahwa keberlangsungan dan nasib driver harus mendapatkan perhatian serius baik dari managemen aplikator, atau bahkan dari konsumennya.
Di 33 titik itu, jelas dia, polisi akan memantau penerapan pembatasan penumpang kendaraan bermotor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved