Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
Triana Yulia Sari sesekali berkeliling memungut puntung rokok, wadah makan, dan bungkus rokok. Ia menenteng kantung sampah berwarna putih yang ia bawa dari salah satu ruang dekat pintu masuk festival musik Synchronize Fest 2019.
Setelah kantung sampah penuh, ia kembali ke ruangan milik Jaga Bhumi untuk ditukarkan dengan tas jinjing (tote bag). "Mau ikut bantu ngumpulin sampah enggak? Biar nanti dapet tote bag," saat saya menanyai yang tengah ia lakukan.
Jaga Bhumi, organisasi yang berbasis komunitas dan berfokus pada isu lingkungan merupakan salah satu mitra festival musik tahunan Synchronize Fest, tahun ini. Komunitas ini juga berafiliasi dengan Dyandra Promosindo, yang merupakan pihak kolaborator Demajors dalam penyelenggaraan Synchronize Fest.
Tahun ini, Synchronize membawa tema yang bersinggungan dengan isu kesadaran lingkungan, yakni Memanusiakan Alam, Mengalamikan Manusia. Sekaligus mendengungkan green movement. Tampaknya, ini menjadi langkah awal bagi festival yang telah berjalan rutin empat tahun terakhir ini ikut serta menumbuhkan kesadaran lingkungan kepada para pengunjung festival mereka.
Festival-festival musik di dunia pun bergerak ramah lingkungan. Seperti Glastonbury yang tahun ini melarang penjualan minuman kemasan botol plastik. Sementara penyelenggara Festival Roskilde di Denmark, menyediakan penyewaan gelas atau botol minum dengan uang jaminan. Asosiasi Festival Independen di Inggris saat ini meluncurkan kampanye penentangan tenda sekali pakai.
Investigasi BBC yang dinukil World Economic Forum, terkait dampak festival musik terhadap lingkungan mengungkapkan, pengurangan limbah kini menjadi tantangan utama bagi penyelenggara festival. Data di Inggris menyebutkan sekitar 23.500 ton limbah di festival musik setiap tahun setara dengan bobot 78 pesawat Boeing 747 yang terisi penuh. Penelitian menunjukkan festival besar di AS, seperti Coachella, Stagecoac, dan Desert Trip, menghasilkan sekitar 100 ton limbah padat setiap hari penyelenggaraan itu berlangsung.
Baca Juga : Festival Musik dan Perang Melawan Plastik
Ikhtiar untuk lebih sadar lingkungan ini disadari betul penyelenggara Synchronize tahun ini. Sejumlah terobosan dilakukan, seperti menganjurkan para penonton membawa botol minum mereka sendiri, dan menyediakan stasiun isi ulang air minum di tempat. Selama tiga hari penyelenggaraan, stasiun isi ulang itu pun tidak pernah sepi dari antrean para penonton festival yang menenteng botol minum. Tentu, cara ini bakal berdampak signifikan dalam mencegah timbulan sampah plastik.
"Kami ingin memberikan pengalaman yang maksimal bagi siapa pun. Mulai dari penampil, stage dan dukungan tata cahaya atau visual yang atraktif. Tahun ini merupakan tahun pertama Green Movement di Synchronize Fest. Bukanlah hal yang mudah untuk diterapkan, namun animo penonton membawa tumbler pribadi disambut positif, dapat dilihat dari barisan penonton yang berbaris rapi di water station. Perlahan namun pasti, movement ini merupakan bentuk tanggung jawab penyelenggara dan tanggung jawab kita bersama yang hadir di Synchronize Fest," ungkap Festival Director Synchronize Festival 2019, David Karto melalui rilis yang diterima Media Indonesia, Rabu (9/10).
Pengadaan stasiun isi ulang air ini pun mendapat apresiasi para penonton yang hadir. Salah satunya, Virgilery Levana.
"Aku bilangnya termasuk berani, Synchronize bikin green movement. Acara besar seperti ini pasti sponsor air minum paling banyak, mulai dari teh, air mineral. Kalau terapkan ini bisa kehilangan beberapa sponsor mereka. Orang jadi sadar buat bawa botol minum mereka sendiri. Mungkin dengan membawa selama tiga hari ini menurut aku jadi bisa bikin orang-orang bakal terbiasa, punya impact buat orang yang dateng," aku mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara ini yang datang bersama dua rekannya, saat ditemui seusai ia mengisi ulang botol minumnya, Jumat (4/10).
Menggandeng Jaga Bhumi untuk mengajak para penonton terlibat aktif memungut sampah menjadi salah satu upaya memedulikan lingkungan konser mereka. Manajer Marketing Communication PT Dyandra Promosindo, Judhi Meriam Basoeki mengungkapkan selama tiga hari penyelenggaraan Synchronize, ada sekitar 300 kantung sampah terkumpul dari sukarela penonton.
"Kami bekerja sama dengan Greeners untuk pemilahan sampah yang telah terkumpul selama penyelenggaraan. Tindakannya, setelah dikumpulkan tentu memilah mana yang bisa didaur ulang dan tidak, kemudian yang bisa didaur ulang didistribusikan ke tempat mendaur ulang," paparnya saat ditemui pada Minggu (6/10), di kawasan Gambir JI Expo, Kemayoran, Jakarta.
Dengan menggalang aksi pungut sampah ini, menurut Judhi menjadi salah satu cara pendekatan yang ringan ke anak-anak muda untuk peduli timbulan sampah. Termasuk dengan pemberian reward.
Upaya lain dari Synchronize, ialah mendesain panggung District mereka dengan instalasi kaus-kaus yang telah dikumpulkan sejak beberapa bulan sebelum penyelenggaraan festival. Di ruang media peliput, juga tidak disediakan air mineral botol atau gelas. Melainkan, galon dan jurnalis peliput diwajibkan memakai kembali gelas yang mereka pakai dengan menempelkan stiker nama terlebih dahulu. Peralatan makan yang disajikan pun, materialnya terbuat dari kayu, atau kita makan menggunakan tangan langsung.
Sampah Publikasi
Usai tiga hari festival, Synchronize mengupayakan mendaur ulang material yang berpotensi menjadi timbulan sampah. Salah satunya, memanfaatkan sekitar 600 meter persegi banner dan baliho acara dengan bekerjasama dengan stuffo, lini produksi yang berbasis komunitas dengan fokus pada koleksi tas. Stuffo juga memberikan lokakarya bagi para pengunjung cara membuat tas dari material baliho.
Salah satu pendiri Stuffo, MG Pringgotono meyebutkan dalam target sebulan mereka akan mengolah baliho-baliho itu menjadi produk yang akan didistribusikan Synchronize.
"Konteksnya untuk memulai campaign yang akan kami produksi, selama tiga hari kami buat workshop, dari sore sampai jam enam petang. Mereka yang datang bisa bikin dan kita ajarkan. Bahan untuk workshop berasal dari bekas konferensi pers Synchronize. Selain mereka punya pengalaman, mereka juga tahu ternyata bisa bikin tas sendiri," cerita Pringgotono pada Minggu, (6/10).
Pringgotono mengalkulasikan dari total 600 meter persegi baliho yang nanti terkumpul, bisa terolah menjadi sekitar 1.000 tas dengan berbagai bentuk dan ukuran. Di mana setiap 1 meter persegi menjdai dua tas.
Ia pun mengungkapkan pentingnya para penyelenggara festival dan acara lain lebih memiliki kepekaan lingkungan. "Penting sekali ya, kalau event seperti ini kan soalnya umurnya pendek. Paling cuma tiga hari acara, habis itu pasti jadi sampah. Padahal effort produksinya pasti gede."
Tanggung jawab lingkungan
Green Movement yang diinisiasi Synchronize patut dijadikan sebagai fondasi ke depan menjadi festival musik yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Upaya pengurangan cemaran populasi dengan bersepeda bersama, penyediaan parkir sepeda, dan imbauan penyelenggara ke penonton untuk menggunakan kendaraan umum menuju lokasi telah dilakukan. Bahkan, penggunanaan power bank berdaya besar milik PLN juga sudah diterapkan, untuk mengganti genset yang mengeluarkan jelaga dan polusi.
Ikhtiar yang sudah berjalan ini perlu diimbangi dengan upaya yang lebih optimal dan menyeluruh lagi ke depan. Misalnya, penyediaan shuttle dari titik-titik akhir transportasi umum menuju lokasi. Tentu, ini juga akan memberi dampak signifikan terhadap cemaran polusi di sekitar terselenggaranya festival.
Atau, penyediaan para sukarelawan di tiap titik-titik tempat sampah terpilah. Ini untuk memberikan arahan dan memudahkan para pengunjung dalam membuang sampah mereka. Meski, juga tantangan terbesarnya ialah kesadaran personal para penonton yang hadir di festival. (M-3)
Baca juga : Sang Executive Chef Terbaru JW Marriott Jakarta
Aktivis lingkungan dan pendorong perubahan asal India, Sahil Jha, melanjutkan perjalanan bersepeda ke Jakarta dan Bogor.
Pancaverse Xperience yang mengusung tema Take UPart for Earth, mengajak masyarakat untuk menumbuhkan kepekaan pada lingkungan melalui seni, kreativitas, dan aksi nyata.
ASOSIASI Pengusaha Pengelola Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Aspel B3) Indonesia melantik pengurus baru di Batam, Kepulauan Riau.
Meski sebagian universitas mengadopsi kebijakan sustainability, banyak yang belum memiliki implementasi secara sistematis.
Aksi Kolaboratif ini diisi berbagai rangkaian acara, mulai bersih-bersih pantai, penanaman cemara laut, talkshow lingkungan, serta edukasi untuk masyarakat dan pelajar.
Diskusi bersama diskusi bersama Gubernur dan DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur digelar untuk menyusun perda terkait kelestarian lingkungan.
All For You adalah single keenam Audi Kirana, yang menawarkan pendekatan yang ceria dan bercerita bagi mereka yang berjuang untuk memprioritaskan kebutuhan dan kebahagiaan mereka sendiri.
Kehadiran Monita Tahalea menambahkan kedalaman emosional tersendiri pada lagu Titik Nadir dari Kahitna.
Sejak awal, Main-Main di Cipete telah menjadi ruang penting bagi regenerasi musisi muda di Indonesia, menghadirkan puluhan penampil dari berbagai kota dan genre.
Aye! dari GLAS dan Eka Gustiwana menyuguhkan warna musik yang fresh dengan penggunaan alat musik tradisional Betawi, tehyan, serta lirik yang dibumbui bahasa Betawi.
Terinspirasi dari atmosfer emosional ala Paramore dan Olivia Rodrigo, Twenties dari Tripov adalah lagu yang bisa dinyanyikan lantang di konser.
Musik bisa merangsang area otak seperti lobus temporal untuk pendengaran, lobus frontal untuk emosi, cerebellum untuk koneksi motorik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved