Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
PARA ilmuwan astronomi yang memanfaatkan Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) telah memperoleh perspektif baru mengenai bagian paling ujung dari sistem tata surya kita.
Data terbaru yang diperoleh dari Teleskop Luar Angkasa James Webb menunjukkan bahwa awan di atas Pluto memainkan peran yang krusial dalam keadaan cuaca planet kerdil itu, memberikan informasi mengenai atmosfer awal Bumi.
Ketika pesawat luar angkasa New Horizons yang dimiliki NASA melintas dekat Pluto pada tahun 2015, itu merubah pandangan mengenai planet kerdil yang dianggap hanya sebagai bola es tidak aktif. Sebaliknya, hal itu mengungkap bahwa Pluto dipenuhi oleh dataran es luas dan pegunungan yang memiliki lekukan-lekukan.
Namun, salah satu kejutan terbesar yang mencolok adalah adanya lapisan kabut kebiruan yang menutupi langit di planet tersebut yang membentang lebih dari 185 mil (300 kilometer) di atas permukaan, jauh lebih tinggi dan lebih rumit dari yang diperkirakan oleh para peneliti.
Hampir satu dekade kemudian, data terbaru dari JWST memberikan bukti lebih kuat tentang kabut di Pluto. Kabut ini ternyata bukan sekadar fenomena aneh, tetapi juga memiliki peran penting dalam mengatur cuaca di planet kerdil tersebut.
"Ini hal unik di tata surya. Ini adalah jenis iklim baru,” Tanguy Bertrand, seorang astronom di Observatorium Paris di Prancis.
Penemuan yang dijelaskan dalam riset yang dimuat pada 2 Juni di jurnal Nature Astronomy, mengindikasikan bahwa dinamika serupa mungkin berkontribusi pada dunia lain yang tertutup kabut di tata surya kita, dan bahkan memberikan petunjuk mengenai iklim awal dari planet kita sendiri.
Kabut ketinggian tinggi Pluto terbuat dari molekul organik kompleks dari reaksi metana dan nitrogen yang digerakkan oleh sinar matahari. Gagasan ini menunjukkan bahwa kabut asap ini dapat mengendalikan iklim Pluto pertama kali diusulkan pada tahun 2017.
Model komputer menunjukkan bahwa partikel-partikel ini menyerap sinar matahari di siang hari dan melepaskannya kembali ke luar angkasa sebagai energi inframerah di malam hari, mendinginkan atmosfer jauh lebih efisien daripada gas saja. Ini juga dapat menjelaskan mengapa atmosfer atas Pluto kira-kira -333 derajat Fahrenheit (-203 derajat Celcius) 30 derajat lebih dingin dari yang diperkirakan.
Namun, selama bertahun-tahun menguji teori itu terbukti sulit. Salah satu tantangan utama adalah bulan besar Pluto, Charon yang mengorbit planet dingin itu begitu dekat sehingga sinyal termal mereka sering tumpang tindih dalam data teleskop.
"Pada dasarnya, kami tidak dapat mengetahui bagian mana dari sinyal yang disebabkan oleh Charon dan bagian mana yang disebabkan oleh kabut Pluto,” sambung Tanguy Bertrand.
Para peneliti di balik studi tahun 2017 ini memprediksi bahwa kabut Pluto akan membuat dunia luar biasa terang dalam panjang gelombang inframerah tengah. Sebuah prediksi yang pada saat itu hanya dapat diuji dengan instrumen masa depan. Kesempatan itu tiba ada pada tahun 2022, ketika instrumen inframerah JWST yang kuat akhirnya mampu memisahkan sinyal kedua dunia. Benar saja, cahaya inframerah samar.
"Dalam ilmu planet, tidak umum untuk memiliki hipotesis yang dikonfirmasi begitu cepat, hanya dalam beberapa tahun. Jadi kami merasa sangat beruntung dan sangat bersemangat,” ujar Xi Zhang, seorang ilmuwan planet di Universitas California.
Temuan ini juga membuka kemungkinan bahwa iklim yang didorong oleh kabut asap yang serupa mungkin ada di dunia kabur lainnya, seperti bulan Neptunus Triton atau bulan Saturnus Titan.
Bahkan masa lalu Bumi yang jauh mungkin memiliki kemiripan. Sebelum oksigen mengubah langit planet kita, mungkin saja Bumi terselubung kabut partikel organik, sebuah selimut yang mungkin telah membantu menstabilkan suhu dan menumbuhkan kehidupan awal.
Xi Zhang menambahkan bahwa mempelajari kabut dan komposisi kimia di Pluto bisa memberi kita pemahaman baru tentang kondisi yang memungkinkan Bumi purba menjadi layak huni. (Livescience/Z-2)
Pesawat luar angkasa New Horizons milik NASA terus mencatat sejarah eksplorasi luar angkasa setelah berhasil melakukan flyby Pluto pada 2015 dan Arrokoth pada 2019.
Sejak ditemukan pada 1930, Pluto dianggap sebagai planet kesembilan di tata surya. Namun, orbitnya yang unik dan penemuan Eris pada 2005 memicu kontroversi.
Pada 2006, Persatuan Astronomi Internasional (IAU) mendefinisikan planet dan memutuskan untuk menurunkan status Pluto menjadi planet kerdil.
Para ilmuwan menduga bahwa hidrogen peroksida yang tertangkap teleskop NASA mungkin berasal dari radiasi yang mengenai molekul air di permukaan Charon di Pluto.
Verified for Climate dan Iklim mempunyai keyakinan yang sama: cerita (storytelling) adalah kunci untuk menyambungkan masyarakat dengan fakta, dan menginspirasi aksi iklim.
Ilmuwan Eropa mengejar reentry satelit Salsa untuk mengungkap proses pembakaran di atmosfer. Temuan ini mengungkap ancaman polusi aluminium dari satelit terhadap ozon dan iklim Bumi.
Pada 2024, Climate Hack mengangkat isu-isu iklim krusial seperti pengelolaan sumber daya alam, limbah, transportasi, hingga pertanian dan kehutanan.
RATUSAN ribu orang terpaksa mengungsi akibat bencana iklim tahun lalu.
MENTERI Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menyiapkan Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) untuk ikut membeli gabah dan beras petani dengan dana komersial
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved