Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
MATAHARI masih menyimpan banyak misteri, termasuk fenomena yang membingungkan ilmuwan: mengapa korona, lapisan atmosfer luar matahari, lebih panas dibandingkan permukaannya. Selain itu, angin matahari, aliran partikel bermuatan yang berasal dari matahari, juga belum sepenuhnya dipahami, terutama mengenai mekanisme akselerasinya.
Untuk menjawab berbagai teka-teki ini, NASA merencanakan misi besar pada 27 Februari 2025, menggunakan roket SpaceX Falcon 9 untuk meluncurkan misi PUNCH (Polarimeter to Unify the Corona and Heliosphere).
Misi PUNCH akan mengorbit Bumi pada ketinggian rendah bersama observatorium SPHEREx milik NASA, yang juga akan diluncurkan dalam rangkaian yang lebih besar. Tujuan dari PUNCH adalah untuk mempelajari matahari dengan fokus pada korona dan angin matahari, dua aspek utama dalam heliofisika.
Craig DeForest, penyelidik utama PUNCH dari Southwest Research Institute, menjelaskan misi ini adalah yang pertama dirancang khusus untuk menyatukan dua bidang penting dalam fisika matahari dan angin matahari.
PUNCH terdiri dari empat satelit kecil yang bekerja sama untuk menciptakan observasi 3D dari heliosfer bagian dalam, wilayah besar yang mengelilingi matahari. Heliopause, batas dari heliosfer, memisahkan pengaruh angin matahari dari ruang angkasa antar bintang.
Joe Westlake, direktur Divisi Heliophysics NASA, menyebut PUNCH sebagai penghubung penting yang akan mengungkap hubungan antara korona dan heliosfer, yang dapat membantu memprediksi cuaca ruang angkasa dan peristiwa aurora yang menakjubkan, namun juga berpotensi berbahaya bagi teknologi dan jaringan listrik di Bumi.
Berbeda dengan misi satelit tunggal, PUNCH terdiri dari konstelasi empat satelit yang akan ditempatkan di berbagai posisi orbit rendah Bumi. Tim ilmuwan memutuskan untuk menggunakan empat satelit untuk mengatasi tantangan dalam mengamati daerah yang berbeda, baik dekat dengan matahari maupun lebih jauh dari matahari.
DeForest menjelaskan, instrumen yang mempelajari area dekat matahari akan terpapar cahaya terang, sedangkan yang lebih jauh akan menghadapi tantangan karena terhalang oleh Bumi. Solusi yang dipilih adalah dengan menyebarkan instrumen di beberapa satelit untuk mendapatkan sudut pandang yang luas.
Satelit ketiga dalam konstelasi PUNCH adalah polarimeter yang memiliki kemampuan mengukur cahaya terpolarisasi, menggunakan teknologi serupa dengan cara Event Horizon Telescope menangkap gambar lubang hitam pertama. Instrumen ini memungkinkan PUNCH untuk memetakan sistem matahari dalam tiga dimensi secara akurat, mempelajari bagaimana angin matahari bergerak dan mempengaruhi heliosfer.
PUNCH bukan hanya sekadar misi untuk memahami matahari, tetapi juga akan merevolusi cara kita memprediksi cuaca ruang angkasa. Seiring dengan data dari Parker Solar Probe, misi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perilaku angin matahari dan dampaknya terhadap sistem tata surya kita. Ini sangat penting untuk memprediksi badai matahari yang dapat memengaruhi satelit, jaringan listrik, serta astronot di luar angkasa.
DeForest menambahkan PUNCH juga akan menghasilkan peta bintang polarimetri yang sangat rinci, memberikan data baru untuk astronomi dan membuka peluang penelitian lebih lanjut di bidang heliosfer dan ruang angkasa.
Dengan misi PUNCH, NASA berambisi mengungkap lebih banyak tentang matahari dan ruang angkasa yang akan memberikan manfaat penting, tidak hanya untuk ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk perlindungan teknologi Bumi dari ancaman cuaca ruang angkasa. (space/Z-3)
NASA akan meluncurkan dua misi luar angkasa besar pada 2 Maret 2025, yaitu PUNCH dan SPHEREx.
Teleskop Surya Daniel K. Inouye berhasil mengambil gambar paling tajam dari permukaan matahari, mengungkap striasi halus akibat medan magnet skala kecil.
Ilmuwan berhasil menangkap citra korona Matahari dengan resolusi tertinggi berkat sistem optik adaptif terbaru pada Teleskop Surya Goode.
Mengapa luar angkasa tampak gelap meskipun Matahari bersinar terang dan miliaran bintang menghuni jagat raya? Pertanyaan ini menjadi topik menarik yang sering dicari di Google.
Filamen matahari sepanjang 1 juta km meletus dramatis picu CME besar 12 Mei. Untungnya, letusan ini tidak mengarah ke Bumi, tapi tetap jadi sorotan ilmiah.
Penelitian terbaru NASA menunjukkan permukaan Bulan dapat menghasilkan dan mengisi ulang molekul air melalui bantuan angin matahari, yang membawa ion hidrogen bermuatan positif.
Meskipun Matahari jelas menjadi pusat dari Tata Surya, pemahaman terbaru tentang gerak planet menunjukkan hal yang menarik: ternyata, Bumi tidak benar-benar mengelilingi Matahari.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved