Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
Ilustrasi: Moch Samba
Menabuh rama pancarkan irama
saat ruang menyatukan mimpi kita
senandungkan garis-garis dedaunan
seperti gerabah menghidupkan tanah
menjelma badai yang semburkan luka
di pesisir cakrawala, gunung pun cemas
Waktu seakan merajut serpihan rindu
serat angin searah di reruntuhan cahaya
anak-anak masih menengadah ke langit biru
mulutnya komat-kamit; entah, mungkin saja
mengucapkan adonan semburan doa-doa
matanya hitam tajam, menikam ufuk senja
sementara kita berbaring di seluk sajak
Tangan begitu kerdil ‘tuk menulis
di musim paceklik, kududuk terlena
bukankah mata kita terlalu sempurna;
melukis keindahan langit dan matahari,
menjadi sumbang, tak pernah ingkar hati
menulis perjalanan siang, agar kita mawas
mengimpikan malam dan merindukan rembulan
Mari bakar mimpi-mimpi saat kebenaran serupa cahaya
merintih perih di pelepah gelap-gulita
membasuh reranting agar tak menguning
sudut-sudut jalan berubah diri menjadi bingkai
Anak-anak bercekit, coba
mengerti arti setitik kebenaran
di antara akronim yang menumpuk
lalu-lalang aksara rasanya kian menjepit
lahir dari rahim-rahim klasik menghimpit pikiran,
terbuai arca digital bikin mereka bertanya-tanya;
“Pada 2060, masih jauhkah kematian menghampiri?”
Puisi bagai pusaran sihir
takwilkan sitir empas teknologi
napas-napas berbingkai emisi gas kaca
seharusnya tanah-tanah kita juga bermimpi
menghampar hutan di bebait kata dan koma
Malang, 2021
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
/
Kemarin gundah,
jauh membekap dirimu
saat kemarau mengering
singkat, jatuh basah di matamu
catatanku bergentayangan sendiri
memeluk genangan alur jejak cahaya
/
Hari ini, jauh
kusimpan gelisah
tumbuh di kening ilalang
rinai hujan berbisik keras
tanah kering merindukannya
Sepasang belalang terkejut
belum sempat memagut embun
saat musim kembali mengendap,
bergegas dihempas seutas sinar,
seorang petani meminjam puisiku:
kapan padi-padi akan menguning?
/
Esok, jauh
dari telatah tidur
perempuan berkebaya
mengais di dapur, sulut api
pandemi mengebat aura liar
terlunta-lunta memaknai musim
parodi sumbang duduk di trotoar
Semua mendekap: ketidak-pastian
titah seorang wali tak lagi terdengar
hanya gesekan rebab, terngiang lembut
menanti datangnya Sang Prabu Brawijaya,
begitu lama ia berkelana di negeri seberang
/
Biarkan zaman menulis
lelara ini, isyarat tak tertulis
buku menjadi kumpulan morfem
terbungkus sebagai sampul lusuh
Malang, 2021
Kebenaran serupa cahaya, merintih perih di pelepah gelap-gulita.
1/
Serumpun abjad mengayak langit
terbaca frasa, mendekam di ingatan
pikiran kita, tak pernah tuntaskan kalimat
2/
Pagar membumbung langit
jalan berarak, bercengkerama
setubuhi halilintar di pucuk sinar
yang kelak sempurnakan cemas
3/
Langit serupa paragraf
merekatkan tangis ilalang
merepang dibuai gersang
menggantung di atap buram
tertatih menjajakan mimpi-mimpi
Berbusana malam,
tersulam benang lusuh
dan abjad menyuguhkan
morfem di piring-piring sajak
serupa telatah diksi para kolonial
4/
Kicau burung terkesima
tinggalkan rindu di cawan zaman
berderet, berbaris di irama neoklasik
membatu di pengkolan surgawi dan
tumpukan bebatuan mengukir arca
menjelma gubuk rindu, tertuang aroma
bulgaridi; musim panas dan kerak tanah
mengucapkan salam, berbaring abadi
aksara cinta pun tertulis di nisan
5/
Mari kita bersulang
penghentian masa samar
saat rintihan hujan melesap;
adalah kalimat-kalimat, memang
tidak pernah tertuntaskan pengelana
Kita biarkan riuh
puisi membeku sunyi
berkelana memenuhi jagat
menyempurnakan doa-doa
di museum galaksi
Malang, 2021
Kebat kain lenan
di tubuh perempuan
serupa ikatan nan sakral
menjamah tradisi zaman
apa bedanya orang bertopeng
memanggul bulan, dijadikan doa
bersujud, meneteskan bulir di mata
Mereka tak salah
hanya mata selalu jalang
seperti lentera terangi gelap
serupa kepak kunang-kunang
setitik cahaya merapal gelisah
di atas terompah berjalan terseok
komat-kamit seperti seorang nabi
hidup kesiangan di era serba digital
Angin menabuh rindang dedaunan
memanjakan sekawanan burung;
cengkerama dalam bahasanya
lama tertulis di sehelai zaman,
walau sebagian tak tercatat
Meringkas makna,
pupus terserat musnah
morfem-morfem terbungkus
sampul lusuh, tersisa berabad silam
catatan babad tanah leluhur tak lagi dibaca
Bumi menyungsangkan panas
arca dan stupa memimpikan hari
tak mampu menempuh perjalanan:
era digital, berkelana atau bercabang
Sebuah prasasti tegap berdiri
kaki-kakinya berjalan susuri waktu
tenggelam dalam peradaban baru
sementara bocah bertelanjang dada
ingin menjemput impian peradaban lama
mendung mengaburkan makna saat
cemas satukan paras dua manusia
tuk mengartikan khusuknya doa
di antara barisan alas kaki;
bakiak, terompa galuak,
bangkiak, kasut kayu,
dan gamparan
Sesunyi ini, jiwa kita letih;
bagai sepenggal morfem, terjaga dari mimpi
Malang, 2021
Ragaku bagai selembar kain
warna-warni melingkari mata
mungkin esok kita beri bingkai
Engkau menebar jaring
di sudut senyum cahaya
seakan menembus putihnya sinar
Di jalan kita lalui
pintu masih terkunci
di sini tersimpan jejak
tertinggal hanyalah bayangan
Kita menyulam waktu,
membangkitkan kenangan
jubah yang pernah kau gunakan
tak lagi menyisakan bayangan dirimu
ingatan pun merapuh tergerus rinai hujan
Aku menelisik kenangan
puisi terbalutkan kain di tubuhmu
selembar mimpi menggurat benakku
warna gelap mengaburkan pandangan
kau menjerit pelan di lubang kunci patah
satu tubuh; memaku pena, mengukir rindu
Hujan membasahi aksara
yang tak lagi tersimpan rapi
bayangan pun pupus dan sirna,
mengaliri jalanan yang pernah dilalui
malam membisikkan aroma kegelisahan
Adalah labirin langit
berjanji melumat tubuh
menyisakan jiwa untukmu
‘kau jadikan sayap pusara
bila sajak kau kirim, bagiku itu doa
Malang, 2021
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Sajak-sajak Dody Kristianto
Vito Prasetyo, penyair, esais, dan cerpenis, lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 24 Februari 1964. Karya-karyanya, baik puisi, cerpen, esai, maupun resensi, tersebar di sejumlah media massa lokal dan nasional. Pernah kuliah di IKIP Makassar dan menekuni dunia kepenulisan sastra sejak 1983. Peraih sejumlah penghargaan sastra, baik tingkat regional maupun nasional. Kini, berkegiatan dan beraktivitas di Malang, Jawa Timur. (SK-1)
Kompetisi membaca puisi berbahasa Mandarin merupakan upaya mendukung program pemerintah dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.
LEBIH dari 1.800 pejalar dari seluruh Indonesia mengikuti lomba membaca puisi berbahasa mandarin tingkat nasional.
Rasakan emosi puisi! Pelajari citraan, kunci penyampaian perasaan mendalam melalui kekuatan kata yang memukau.
Acha Septriasa mengatakan puisi WS Rendra yang berjudul Hidup Itu Seperti Uap membantunya mendapatkan inspirasi dalam menjalani salah satu adegan di film Qodrat 2
Jelajahi puisi abadi Sapardi Djoko Damono! Temukan karya terkenal dan warisan sang penyair legendaris Indonesia.
Selami keindahan alam lewat puisi! Temukan pesan tersembunyi di balik rimbunnya hutan, birunya laut, dan gemerisik angin. Inspirasi dan refleksi menanti!
Temukan kata kata estetik penuh makna! Koleksi ungkapan indah, puitis, dan inspiratif untuk jiwa yang mendalam.
Bangun cerita inspiratif! Pelajari struktur narasi yang menggugah, raih hati pembaca, dan sebarkan pesan bermakna melalui alur cerita yang kuat.
Gadis Kretek: Novel Indonesia memikat! Selami kisah cinta, ambisi, dan warisan kretek yang kaya. Baca ulasan lengkapnya sekarang!
Temukan puisi pendek sekolah penuh cinta pendidikan. Ungkapkan rasa, kenangan, dan semangat belajar melalui kata-kata indah.
Alam bercerita! Temukan kisah inspiratif tentang lingkungan, pelajari harmoni alam, dan temukan kekuatan perubahan di sekitarmu.
Temukan novel terbaru 2024! Rekomendasi bacaan menarik dengan cerita unik, karakter kuat, dan petualangan tak terlupakan. Jangan lewatkan!
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved