Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Beri Amnesti dan Abolisi, Pakar HTN: Presiden Perhitungkan Stabilitas

Rahmatul Fajri
01/8/2025 22:40
Beri Amnesti dan Abolisi, Pakar HTN: Presiden Perhitungkan Stabilitas
Presiden Prabowo Subianto .(Antara)

PAKAR Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid merespons keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan amnesti ke Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Fachri menjelaskan secara filosofis dan teoritis, amnesti dan abolisi secara eksplisit dikonstruksikan oleh norma dalam UUD 1945. Pada Pasal 14 ayat (2) disebut amnesti sebagai sarana pengampunan berupa penghapusan hukuman yang diberikan oleh presiden terhadap seseorang ataupun sekelompok orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. 

Akan tetapi, tidak semua tindak pidana berhak mendapatkan amnesti, terutama jika tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana kejahatan internasional atau melanggar HAM. 

Ia mengatakan, dalam memberikan amnesti, Presiden harus mendasar pada pertimbangan DPR sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945. Dasar hukum amnesti selain tercantum dalam Pasal 14 ayat (2), tercantum pula pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Konsekuensi dari dikabulkannya amnesti bagi terpidana yaitu penghapusan segala akibat hukum pidana bagi terpidana.

Amnesti dapat diberikan oleh Presiden kepada terpidana tanpa adanya suatu permohonan dan tidak ada ketentuan khusus. Namun, dalam praktiknya, sekretaris negara akan mengusulkan daftar nama terpidana yang harus diberikan amnesti. 

"Setelah ditinjau, usulan tersebut akan dikirim ke DPR untuk ditanggapi. Berdasarkan pertimbangan DPR, apabila Presiden patut memberikan amnesti, Presiden kemudian akan mengeluarkan perintah eksekutif mengenai amnesti," kata Fahri melalui keterangannya, Jumat (1/8).

Fahri menjelaskan, hal yang sama juga berlaku terhadap instrumen hukum abolisi, yaitu penghapusan hukuman terhadap suatu proses hukum atau proses peradilan yang sedang berlangsung. Abolisi umumnya diberikan kepada terpidana perseorangan. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, presiden memberikan abolisi berdasarkan pertimbangan DPR. Dasar hukum abolisi serupa dengan amnesti, yakni tercantum dalam Pasal 14 ayat (2), selain itu tercantum pula pada Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954.

Berbeda dengan amnesti yang tidak memerlukan syarat khusus, abolisi memiliki tiga syarat pengajuan. Pertama, terpidana belum menyerahkan diri kepada pihak berwajib atau sudah menyerahkan diri kepada pihak berwajib. 

Kedua, terpidana sedang menjalani atau telah menyelesaikan pembinaan. Ketiga, terpidana sedang di dalam penahanan selama proses pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan.

"Dengan demikian kedua alat konstitusional amnesti dan abolisi harus dipandang sebagai salah satu hak konstitusional setiap terpidana. Secara terminologis hal ini dalam rangka penegakan, pemenuhan keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, amnesti dan abolisi adalah bagian dari upaya negara untuk memberikan pengampunan kepada warganya yang melakukan kesalahan dalam suatu perbuatan pidana," katanya.

Fahri menilai kebijakan Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto telah berpijak serta berbasis pada prinsip kepentingan publik yang objektif dan mendalam. Kebijakan Presiden Prabowo, kata ia, telah mencakup dimensi stabilitas nasional dan pencegahan perpecahan di dalam masyarakat. 

Ia mengatakan Presiden Prabowo telah menghitung berbagai aspek dan elemen signifikan terkait dengan kepentingan negara yang jauh lebih besar dan holistik untuk mengeluarkan deklarasi moral dan konstitusional atas kedua produk kebijakan elementer tersebut, yaitu amnesti dan abolisi.

"SIkap presiden terkait kebijakan hukum dan politik ini telah berangkat dari prosedur dan mekanisme ketatanegaraan yang konstitusional, yang mana abolisi dan amnesti sebagai sebuah 'legal declaration' telah melibatkan lembaga DPR untuk memenuhi kaidah check and balance agar presiden dapat memperhatikan pertimbangan DPR  "council considerations"," kata Fahri.

Fahri menjelaskan dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan, hampir semua rezim pemerintahan mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, maupun era Reformasi sampai dengan saat ini, penggunaan hak konstitusional presiden dalam berbagai perkara telah dilakukan dengan baik dan efektif. Penggunaan instrumen alat konstitusional amnesti dan abolisi telah menjadi bagian dari sejarah panjang republik ini. 

"Dari masa Presiden Soekarno hingga era Reformasi dan pemerintahan sekarang, mekanisme ini digunakan sebagai instrumen politik dan hukum untuk mengelola konflik politik serta mengoreksi praktik hukum yang menimbulkan ketidakadilan," tandasnya. (Faj/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eksa
Berita Lainnya