Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Soal Amnesti dan Abolisi, Pakar Hukum UGM: Harus Ada Parameter Hukum yang Jelas

Ardi Teristi Hardi
09/8/2025 18:56
Soal Amnesti dan Abolisi, Pakar Hukum UGM: Harus Ada Parameter Hukum yang Jelas
Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dibebaskan dari LP Cipinang (kiri) dan kader PDIP Hasto Kristiyanto keluar dari Rutan KPK, Jakarta, Jumat (1/8) malam .(MI/Usman Iskandar - Antara/Idriarto Eko Suwarso)

MASIH hangat pemberitaan terkait pemberian amnesti dan abolisi yang diberikan kepada kader PDIP Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong

Keputusan pengampunan yang diberikan Kepala Negara kemudian menuai sorotan publik. Pasalnya, keduanya terjerat kasus korupsi dan suap yang telah menjalani proses hukum.

Secara terminologi, pemberian amnesti dan abolisi pada dasarnya merupakan kewenangan presiden. Presiden memiliki kewenangan untuk mencabut atau menghapus pemidanaan terhadap suatu tindak pidana tertentu dengan syaarat-syarat tertentu.

Amnesti dilakukan pada seseorang yang telah dinyatakan bersalah secara hukum kemudian dihapuskan pidananya. Sedangkan abolisi menghapuskan pidana sekaligus kesalahan dari terdakwa.

Dosen Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar, mengatakan amnesti dan abolisi umumnya diberikan untuk melakukan rekonsiliasi kondisi politik, sedangkan abolisi pada alasan kemanusiaan. 

“Amnesti dan abolisi itu bahasa politik, bukan hukum. Penggunaannya di Indonesia dalam perkembangannya digunakan pada kasus politik. Ada motif rekonsiliasi dalam kepentingan nasional,” ujarnya dalam siaran pers dari Humas UGM, Jumat (8/8).

Namun, pada kasus Tom Lembong, Zainal tidak melihat ada kondisi yang mengharuskan proses rekonsiliasi itu dilakukan. 

Abolisi seharusnya tidak perlu diberikan jika proses hukum sudah berjalan sesuai dengan kaidah hukum nasional. Alasan pemberian abolisi pada kasus Tom Lembong masih menimbulkan pertanyaan besar. 

“Ini jelas masalah politik, tapi masalahnya apa yang mau direkonsiliasi? Mungkin Presiden punya keretakan hubungan dengan pihak tertentu, tapi salah kalau itu diukur dengan skala nasional,” papar dia.

Jika ini terus terjadi, ia khawatir akan ada banyak kebijakan yang dilandaskan pada motif politik dibandingkan kepentingan publik. 

Zainal mengatakan, harus ada parameter hukum yang jelas dalam pemberian amnesti dan abolisi. Apakah ada kepentingan nasional atau motif politik di balik kasus tersebut. 

Selain itu, ia menyebut, perlu ada limitasi kasus tertentu yang bisa diberikan amnesti dan abolisi. Terlebih dalam kasus tindak pidana korupsi tidak seharusnya unsur politik bermain di dalamnya.

Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman turut menyoroti posisi hak amnesti dan abolisi Presiden yang seharusnya menjadi hak istimewa. Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bukanlah satu-satunya yang menjadi korban atas buruknya prosedur penegakan hukum Indonesia. 

Menurut dia, ada kecacatan hukum yang harus diakui dan diperbaiki oleh pemerintah daripada hanya memberikan kebijakan penghapusan pidana pada suatu kasus korupsi. 

“Amnesti dan abolisi harus spesial, dia memiliki derajat tertinggi dalam pelaksanaan hukum. Kalau tidak, untuk apa ada proses hukum dan peradilan? Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah hukum,” ucap Zaenur.

Bagi Zaenur, amnesti dan abolisi perlu memiliki dasar yang jelas demi kepentingan negara dan kemanusiaan, bukan sebuah alat politik. “Penyalahgunaan kewenangan presiden tersebut dapat berpotensi merusak jalannya penegakan hukum di Indonesia,” jelasnya.

Zaenur melanjutkan, kedua kasus tersebut tidaklah spesial. Ada banyak kasus sebelumnya yang menjadikan terdakwa korban dari permainan politik dan kecacatan hukum. 

Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu memberikan transparansi pada publik terhadap mekanisme hukum yang telah berjalan. “Jika memang terdapat suatu kesalahan prosedur hukum, maka sudah seharusnya hal tersebut diakui dan dibenahi,” tutup dia. (AT/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eksa
Berita Lainnya