Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
KETUA Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menahan diri dengan menolak putusan terkait ketentuan persyaratan pendidikan capres-cawapres, sebab perkara tersebut merupakan Open legal policy yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang (UU).
“Ketentuan tersebut telah dengan jelas memberikan kewenangan bagi pembentuk UU yaitu Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menentukan persyaratan pendidikan minimal sesuai dengan situasi sosial masyarakat yang berkembang,” katanya dalam keterangan yang diterima Media Indonesia pada Rabu (23/7).
Zainudin menilai keberadaan keputusan ini dapat menjadi pertimbangan bagi pembentuk UU untuk meninjau syarat pendidikan minimal yang lebih tinggi. Hal ini didukung dengan fakta Indonesia telah memiliki sarjana dengan jumlah sekitar 10,2% dari keseluruhan penduduk.
“Artinya adalah 1 dari 10 orang Indonesia telah menempuh jenjang pendidikan sarjana/strata 1, sehingga barrier to entry seseorang untuk menjadi Capres dan Cawapres relatif rendah,” ujarnya.
Menurutnya, kualifikasi pendidikan yang tinggi merupakan kebutuhan dalam perspektif negara dan agama maupun keilmuan umum mengenai sosok pemimpin ideal.
“Dengan perspektif keilmuan umum, tingkat pendidikan seorang pemimpin akan menentukan seberapa luas perspektif yang digunakannya dalam memandang suatu fenomena sosial,”
Selain itu, Zainudin menjelaskan jika seorang pemimpin memiliki tingkat pendidikan mumpuni, ia akan cenderung memiliki cara berpikir sistematis dan menghasilkan program yang terukur dan berbasis ilmu pengetahuan.
“Ajaran Islam sendiri mendorong umat untuk memilih pemimpin yang cerdas. Ada urgensi kecerdasan sebagai salah satu landasan memilih pemimpin dalam Islam. Ini juga menekankan pentingnya kepakaran sebagai landasan pembuatan kebijakan publik oleh seorang pemimpin,” jelasnya.
Berdasarkan berbagai argumentasi tersebut, Zainudin menilai bahwa peninjauan kembali kualifikasi pendidikan sangat relevan untuk dipertimbangkan oleh pembentuk UU.
Ia menekankan bahwa peningkatan kualifikasi tidak berarti membatasi kesempatan bagi setiap individu untuk dapat mencalonkan diri sebagai Capres dan Cawapres, melainkan memastikan individu yang terpilih memiliki kapasitas intelektual yang memadai untuk dapat menyelesaikan permasalahan sampai ke akar melalui kapasitas berpikir yang sistematis.
“Dengan adanya kemampuan berpikir yang optimal, pemimpin dapat mencegah masyarakat terjerumus dalam populisme karena pemimpin mendorong masyarakat untuk berpikir logis melalui program yang disusun dengan pendekatan sistematis. Dengan demikian, pemimpin dengan tingkat pendidikan yang tinggi merupakan gambaran pemimpin ideal,” pungkasnya.
Sebelumnya pada Kamis lalu, (17/7), MK memutuskan menolak seluruh permohonan pengujian materiil terhadap Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur syarat pendidikan capres-cawapres oleh dua perseorangan Hanter Oriko Siregar dan Horison Sibarani.
Para Pemohon meminta agar syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden dinaikkan dari minimal tamat pendidikan menengah (SMA atau sederajat) menjadi minimal sarjana strata satu (S-1).
Kedua pemohon menganggap syarat pendidikan minimal SMA/sederajat untuk capres-cawapres dianggap terlalu rendah bagi jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Pertimbangan Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan, ketentuan dalam Pasal 169 huruf r merupakan bagian dari persyaratan kumulatif yang diatur dalam UU Pemilu dan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dalam konstitusi, lanjut Ridwan, tidak diatur secara eksplisit batas minimum pendidikan bagi calon presiden dan wakil presiden. (P-4)
ANGGOTA dari Fraksi PKS, M Nasir Djamil, menyatakan setuju dengan usulan agar pemerintah segera melakukan moratorium sementara dan menjadikan IKN sebagai ibu kota Provinsi Kaltim.
PKS: RUU KUHAP Diarahkan pada Penguatan Nilai HAM
Sejumlah partai politik yang pernah mengganti logo ternyata tidak memberikan efek positif. Beberapa justru suaranya ambles.
Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menegaskan, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi dan melewati batas kewenangan MK.
PRESIDEN Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Almuzzammil Yusuf menyampaikan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Bhayangkara merupakan momentum bagi Polri untuk meningkatkan kepercayaan publik.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis, kemudian gagasannya tidak masuk dalam RUU atau dalam UU langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
MK menyatakan tidak menerima permohonan pengujian materiil UU Kementerian Negara yang mempersoalkan rangkap jabatan wakil menteri
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved