Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
MENYIKAPI pro dan kontra di kalangan elite nasional terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Pemilu, yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional (Pilpres, DPR RI dan DPD RI) dengan Pemilu Daerah atau Lokal (Pelilihan Gubernur, Pemilihan Bupati, Pemilihan Wali Kota, Pemilihan DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/DPRD Kota), pakar hukum tata negara yang pernah menjadi pimpinan MK, Profesor Jimly Asshiddiqie, mengajak seluruh pihak, terutama kalangan elite nasional (pejabat) agar menghormati keputusan yang telah dikeluarkan oleh MK tersebut.
Jimly meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan. Kalaupun ada rasa kecewa dan tidak setuju sebaiknya disimpan dalam hati atau sekedar menjadi bahan diskusi dan perdebatan semata.
Menurut Jimly, meskipun pro-kontra sudah terjadi, akan lebih baik apabila keputusan MK tersebut dilaksanakan saja. Mengingat MK juga memiliki fungsi sebagai lembaga legislator dan negative gliter, yang dapat mengubah pasal dalam sebuah undang-undang yang telah dibuat oleh parlemen.
“Pro kontra yang sudah terjadi, lebih baik laksanakan saja putusan MK karena fungsi MK sama-sama legislator. Parlemen yang berperan sebagai positif gliter sedangkan MK sebagai negatif gliter, sehingga yang satu sebagai pembuat pasal, sedangkan yang satunya lagi mencoret pasal. MK bukan membuat pasal tapi mencoret pasal yang bersifat normatif. Untuk memudahkan orang memahami putusan MK biasanya mencari amar,yakni penjelasan dari keputusan yang sudah ada. Secara teknis selanjutnya harus dibuat undang-undang” ujar Jimly yang juga pernah menjabat sebagai ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum.
Jika dibandingkan dengan era kepemimpinannya di MK, menurut Jimly penjelasan keputusan berada di dalam pertimbangan hukum , tidak tercermin di amar. Tapi lama-kelamaan untuk memudahkan orang memahami akibat dari putusan,maka dicantumkanlah di dalam amar. Sehingga inilah yang sering dianggap MK membuat pasal baru, padahal bukan.
Untuk selanjutnya diaturlah teknis dari pelaksanaan keputusan MK pada undang-undang. Jimly juga menegaskan bahwa putusan MK terkait pelaksanaan pemilu yang digugat oleh Lembaga Pemantau Pemilu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga tidak melanggar konstitusi sebab dalam setiap perubahan hukum selalu terjadi perubahan yang disebut dengan norma transisi.
Hukum transisional semacam ini sudah ada di seluruh dunia. Sehingga menurut Jimly, pejabat yang tidak setuju dengan keputusan MK tersebut tidak perlu lagi mencari alasan untuk tidak setuju, melainkan cukup diatur saja dalam undang-undang.
“Putusan MK tidak melanggar konstitusi. Ada norma tetap dan norma transisi, di setiap perubahan hukum selalu terjadi perubahan, norma transisi namanya. Dalam peraturan peralihan memungkinkan terjadinya perubahan transisional. Maka seperti pada pemilu lalu, pilkada yang semula dibuat lima tahunan (norma tetap), tapi ada norma transisi, ini terjadi disetiap negara. Aturan transisi memungkinkan terjadinya perubahan aturan (aturan peralihan). Seperti pemilukada yang lima tahunan lalu dilaksanakan serentak. Karena serentak lalu diadakanlah pejabat sementara (plt). Itu adalah aturan transisional. Nanti juga begitu, misal DPRD bisa diperpanjang atau diperpendek. Yang wajar dalam rezim perubahan, masa transisi aturan dibuat jangan sampai merugikan pihak terkait/terlibat, biasanya diperpanjang menjadi tujuh tahun”, jelas Jimly di Jakarta, Senin (21/7).
Dari putusan yang telah dikeluarkan MK maka untuk pelaksanaan pemilu serentak selanjutnya dilakukan berdasar system building, bukan lagi berdasar pertimbangan faktor ekonomi atau efisiensi. System building dikaitkan dengan pemilihan serentak antar pejabat eksekutif dan legislatif.
Sehingga memilih presiden atau pemimpin nasional berbarengan dengan DPR. Apalagi nanti dalam pilpres dengan treshold 0% maka ada kemungkinan capres yang terpilih justru yang diajukan oleh parpol kecil, bahkan yang tidak lolos treshold.
Dalam pandangan Jimly, hal ini tidaklah mengapa, supaya koalisi yang ada hanya terjadi sekali tidak seperti sekarang ini yang tiga kali koalisi, yaitu koalisi pre-electoral, koalisi second round election dan koalisi pembentukan kabinet.
Sehingga harga partisipan dalam koalisi juga berbeda-beda. Harga dari transaksi membuat koalisi transaksional dan memilih pemimpin nasional juga berdasar transaksi/perdagangan jabatan. Kondisi itu menurut Jimly tidaklah sehat, maka oleh putusan MK diperbaiki supaya system building, bukan lagi dengan alasan efisiensi.
Jimly menambahkan alasan system building lebih tepat ketimbang faktor ekonomi yang memunculkan transaksi jabatan. Karena ide untuk membangun sistem yang makin kuat, sistem kepresidenan yang lebih sejati akan diakibatkan oleh pertama, dengan keputusan capres treshold 0%. Sehingga memungkinkan kemunculan banyak kandidat capres dari berbagai suku di Indonesia, tidak hanya suku tertentu. Ini yang disebut rekayasa konstitusional untuk membangun negara konstitusional yang sehat.
“Jadi pusat dengan pusat, lalu provinsi dengan provinsi, dan kabupaten/kota dengan kabupaten kota, baik eksekutif, legislatif semua berbarengan. Secara system building itu lebih benar. Bukan seperti sekarang ini yang semuanya dijadikan satu, bahkan pilkadapun dijadikan sekalian. Karena terlalu mendadak dan pertimbangan waktu akhirnya dijadikan pada tahun yang sama. Pilpres, lalu beberapa bulan kemudian pilkada. Semula idenya dijadikan satu semua biar sekalian capek dan efisien. Padahal bukan persoalan ekonominya yang menjadi masalah tapi system building”, tegas Jimly.
Dengan threshold 0% menurut Jimly, dapat membuka peluang kemunculan kandidat capres dari berbagai suku yang ada di tanah air, seperti Batak atau Papua. Sehingga capres tidak hanya didominasi oleh suku tertentu seperti yang selama ini terjadi.
Sebagai contoh, proses pemilihan presiden di Amerika Serikat yang pernah dimenangkan oleh kandidat capres berkulit hitam, Barack Obama. Perubahan ini, meski tidak terpilih pada abad pertama tapi pada abad selanjutnya terjadi di Amerika Serikat, ketika orang seperti Obama yang berkulit hitam pun bisa menjadi presiden meski butuh waktu lama. Inilah yang disebut rekayasa konstitusional untuk membangun negara kontitusional yang sehat dan berkualitas demokrasinya.
“Jadi putusan MK laksanakan saja apa adanya, diatur oleh undang-undang, jangan kecewa. Tapi sekarang semua partai tidak suka, anggota DPR dan pemerintah juga tidak suka, bahkan kecewa. Tidak semua suka dengan putusan ini. kejadian seperti ini sudah biasa di seluruh dunia. Ini justru menunjukan ada kinerja yang makin baik dalam sistem demokrasi dan negara hukum kita. Jadi cara berpikir mayoritas di eksekutif dan mayoritas legislatif tidak selalu benar, harus diimbangi oleh suara minoritas yang tidak dipilih oleh rakyat, sebanyak sembilan orang. Disini memperlihatkan independensi dari MK," tegas Jimly.
Sebagai pendiri MK, Jimly justru merasa senang dengan adanya keputusan MK, check and balance antar fungsi kekuasaan menurutnya harus dijaga, sebab suara mayoritas diparlemen dan eksekutif tidak selamanya benar.
Perbedaan akan putusan MK di antara masyarakat wajar saja terjadi dan hal itu justru bagus menurutnya. Sebab kalau ada perbedaan diantara kelompok masyarakat atau mahasiswa bersifat pribadi sehingga tidak mengikat.
Sedangkan yang berlaku final dan mengikat sudah diputus oleh MK. Tapi perbedaan dan perdebatan dikalangan pejabatlah yang harus dihindari, selanjutannya dibentuk saja undang-undang yang mengatur secara teknis.
Perbedaan atau perdebatan dikalangan masyarakat selama ini justru tidak pernah berujung pada perpecahan meski ada perbedaan pendapat dalam putusan MK. Sekaligus untuk membiasakan menjaga suasana Bhinneka Tunggal Ika, kita tetap akan bersatu karena negara ini milik kita bersama.
Yang perlu dingatkan justru pejabatnya agar jangan sampai saling bertikai dan menyerang lembaga negara lain, apalagi cabang kekuatan lembaga negara ketiga, yaitu lembaga peradilan.
“Sebagai pendiri MK, saya merasa senang, bagus ini. Tidak selalu suara mayoritas di parlemen ditambah mayoritas di eksekutif itu benar harus ada pengimbang. Ada tidaknya pengimbang menentukan kualitas demokrasi. Dan saya menghimbau kalau ada pejabat, walaupun dongkol jangan tunjukan sikap marah, sikap merendahkan dan tidak menghormati putusan pengadilan,itu ciri negara hukum yang belum beradab. Saran saya biarkan yang kritik, yang marah mahasiswa, pakar, dan LSM boleh, tapi kalau kita sebagai pejabat, jangan, apalagi atas nama DPR. Itu tidak seharusnya. Jadi check and balance antar fungsi kekuasaan itu harus dijaga. Itulah indahnya demokrasi”, imbau Jimly.
MK, pada 26 Juni 2025, telah memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah. Sementara pemilihan legislasi DPRD dan Pilkada bakal digabung. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah. (Z-1)
Ada kelompok yang dipekerjakan secara khusus untuk mempengaruhi keputusan legislatif dan kebijakan pemerintah dengan cara berinteraksi langsung dengan anggota kongres.
Kekhawatiran hipotesis spekulatif atas sistem presidensial maupun check and balances tidak menunjukkan adanya hubungan sebab akibat nyata dengan norma yang diuji.
Keberadaan frasa langsung atau tidak langsung masih relevan dalam upaya penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi hingga saat ini.
Ketentuan tersebut diubah tanpa adanya parameter yang jelas sehingga merupakan bentuk ketidakpastian hukum yang adil dan juga bentuk kemunduran demokrasi.
MK menghendaki bahwa pemilu yang digelar pada 2029 mendatang adalah pemilu tingkat nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPD, dan DPR RI.
Sejumlah partai politik yang pernah mengganti logo ternyata tidak memberikan efek positif. Beberapa justru suaranya ambles.
Jaksa meminta Mahkamah Agung Brasil memvonis mantan presiden Jair Bolsonaro bersalah dalam dugaan rencana kudeta Pemilu 2022.
Kelima isu tersebut juga menjadi akar berbagai pelanggaran etik penyelenggara pemilu.
Rifqi mengeluhkan bahwa isu kepemiluan selalu hadir. Meski pesta demokrasi itu sudah beres
Partisipasi pemilih tidak ditentukan oleh desain pemilu, tetapi oleh kekuatan hubungan antara pemilih dan para kontestan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved