Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Polri, MA, dan Kejagung Beri Respons DIM RUU KUHAP

Devi Harahap
24/6/2025 11:04
Polri, MA, dan Kejagung Beri Respons DIM RUU KUHAP
Ilustrasi.(MI)

WAKIL Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg) Bambang Eko Suhariyanto mengapresiasi hasil dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia berharap berbagai inventarisasi masalah yang telah dikumpulkan dapat menjawab dinamika zaman, penegakan HAM dan keadilan.

“Momentum ini telah melalui proses panjang yang melibatkan berbagai pihak, dan tentu sangat penting untuk mencapai semangat kedaulatan hukum yang berdasar pada nilai pancasila dan perlindungan hukum,” jelasnya di Kantor Kementerian Hukum pada Senin (23/6).  

Perhatian Presiden?

Bambang menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menaruh perhatian khusus pada proses pembaruan hukum acara pidana bukan hanya sebagai kebutuhan tapi juga untuk memastikan bahwa hukum acara pidana mampu menegakkan supremasi hukum dengan penuh martabat.

“Untuk itu, kerja kolaboratif antara lembaga seperti yang ditunjukkan hari ini adalah tentu nyata sebagai bentuk sinergitas yang menjadi kekuatan bangsa. Kami berharap kedepan seluruh rangkaian proses penyelesaian RUU KUHAP ini menjadi pintu masuk untuk kemajuan hukum kita di Indonesia,” tukasnya. 

Hal Teknis?

Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung (MA), Sunarto, menganjurkan agar penyusunan RUU KUHAP yang salah satunya akan dilandasi oleh DIM yang telah disusun pemerintah, sebaiknya tidak terlalu mengatur hal-hal teknis yang detail dan juga tidak kaku. 

“Saya memberikan masukan agar rancangan undang-undang tentang hukum acara pidana ini jangan lah rigid. Kalau terlalu kaku dan rigid, akan mudah usang ini. Kegunaan hal-hal yang bersifat teknis serahkan kepada pejabat penyidik masing-masing,” tukasnya.

Prinsip Hukum?

Menurutnya, aturan dalam KUHAP sebaiknya lebih fokus pada prinsip-prinsip dasar hukum acara pidana, bukan pada detail-detail prosedur yang bisa diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau petunjuk teknis. Hal ini bertujuan agar KUHAP lebih fleksibel dan mudah beradaptasi dengan perkembangan zaman serta tidak menghambat proses peradilan. 

“Kalau penuntutan serahkan pada penuntut umum karena yang lebih tahu adalah penuntutnya. Dan teknis yang akan terjadi di pengadilan serahkan pada regulasi yang dibuat oleh Mahkamah Agung. Jadi kewenangan-kewenanganan ini diberikan kepada penyidik untuk membuat regulasi untuk meimplementasikan,” imbuhnya. 

Perkuat Supremasi?

Sementara itu, Ketua Kapolri, Sigit Sulistyo berharap RUU KUHAP dapat memperkuat supremasi hukum khususnya bagi para pencari keadilan. Pembaruan ini diharapkan dapat menjamin hak-hak tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, dan korban tindak pidana, serta mewujudkan sistem peradilan pidana yang terpadu. 

“Supremasi hukum penting untuk pencari keadilan, DIM bisa memberikan keadilan bagi semua pihak, sinergitas dan kolaborasi penegak hukum. Tentu bisa memberikan rasa keadilan bagi semua pihak dan juga tentunya menjadi bagian dan upaya kita untuk terus melakukan perkembangan dan reformasi hukum,” imbuhnya. 

Pembaharuan Hukum?

Sementara itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin menekankan bahwa pengesahan DIM RUU KUHAP merupakan cermin akan tingginya semangat dan koordinasi dari berbagai lembaga penegak hukum dalam memajukan pembaharuan hukum pidana. 

“Ini sebagai bagian dari proses demokrasi, dan tentunya lewat RUU KUHAP kami yakin dengan semangat dan bersamaan sinergi yang baik antara pemerintah dan DPR, kita dapat menghasilkan undang-undang acara pidana yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” imbuhnya.

Tambah Aturan?

Terpisah, Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar menyoroti perlunya pemerintah dan DPR mengatur soal upaya paksa dalam RUU KUHAP. Menurutnya, selama ini upaya paksa sebagaimana diatur UU 8/1981 tidak diatur secara berimbang. 

“Misalnya, upaya paksa berupa penggeledahan dan penyitaan lebih dulu harus meminta izin pengadilan negeri. Tanpa izin itu upaya paksa tersebut bisa dibatalkan kecuali operasi tangkap tangan (OTT),” jelasnya. 

Upaya Paksa?

Menurut Fickar, upaya paksa yang bentuknya penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka masih minim akuntabilitas dan belum diawasi oleh institusi tertentu. Selain pengawasan melalui mekanisme praperadilan yang sifatnya post factum, Fickar menyebut RUU KUHAP penting mengatur pencegahan agar upaya paksa dilakukan secara berimbang atau tidak semena-mena.

“Ini belum ada di KUHAP, kalau sesudah terjadi ada mekanisme praperadilan,” tukasnya.

Sistem Pembuktian?

Selain itu, Fickar mendorong agar pemerintah juga memasukkan terkait sistem pembuktian karena selama ini KUHAP mengatur penetapan tersangka bisa dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Hal ini katanya, memberikan diskresi yang sangat besar kepada aparat penegak hukum tanpa ada mekanisme pengujian secara substantif.

“Sekalipun aparat berwenang menetapkan tersangka dengan dalih ada bukti permulaan yang cukup, tapi penting diatur batasannya. Harus ada informasi mengenai bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka itu dapat diuji secara substantif,” ucapnya. (Dev/P-3) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya