Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
RESTORATIVE justice atau keadilan restoratif adalah suatu pendekatan dalam penegakan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan perkara pidana dengan cara yang berbeda dari sistem peradilan pidana konvensional. Pendekatan ini telah diadopsi oleh beberapa lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA) melalui berbagai kebijakan dan praktiknya.
Konsep restorative justice mengarahkan perhatian pada pemulihan dan rekonsiliasi sebagai solusi yang lebih baik daripada hukuman yang hanya berfokus pada penghukuman pelaku. Pendekatan ini mempromosikan dialog dan mediasi yang melibatkan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana, termasuk pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat yang terkena dampaknya.
Tujuan utama dari restorative justice adalah mencapai kesepakatan yang adil dan seimbang bagi semua pihak yang terlibat dalam kasus kriminal. Dalam proses ini, pemulihan kembali pada keadaan semula dan membangun kembali pola hubungan yang baik dalam masyarakat menjadi hal yang sangat diutamakan.
Baca juga: Isi dan Makna Pasal 1 Ayat 1 Hingga 3 UUD 1945
Dasar Hukum Restorative Justice
Pemahaman hukum restorative justice didasarkan pada sejumlah peraturan berikut ini:
1. Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 yang membahas Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
4. Nota Kesepakatan Bersama yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui berbagai nomor surat yang mencakup aspek pelaksanaan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan, Acara Pemeriksaan Cepat, dan Penerapan Restorative Justice pada tanggal 17 Oktober 2012.
Baca juga: Pengertian Konvensi serta Sifat, Jenis, dan Contoh
5. Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301 Tahun 2015 yang mengatur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan.
6. Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 yang membahas Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
7. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 yang mengatur Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Peraturan-peraturan tersebut mengatur penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan restorative justice khususnya untuk tindak pidana ringan yang mencakup pasal-pasal tertentu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang mengedepankan pemulihan, dialog, dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, serta pihak-pihak terkait, dan berfokus pada penyelesaian perkara secara adil.
Baca juga: Tugas dan Wewenang Komisi Yudisial dan Dasar Hukum
Syarat Restorative Justice
Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice adalah:
1. Kasus tindak pidana pertama kali.
2. Kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana berada di bawah batas tertentu (misalnya, Rp 2,5 juta).
3. Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban untuk mengikuti pendekatan restorative.
4. Ancaman pidana yang dijatuhkan hanya berupa pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
5. Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.
6. Tersangka mengganti kerugian yang dialami oleh korban.
7. Tersangka juga harus mengganti biaya yang timbul akibat tindak pidana dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Menurut Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan restorative justice:
1. Pelaku tindak pidana hanya boleh baru pertama kali melakukan pelanggaran hukum.
2. Kerugian yang timbul akibat tindak pidana harus kurang dari Rp 2,5 juta.
3. Terdapat kesepakatan antara pelaku dan korban terkait penyelesaian perkara.
4. Tindak pidana yang dilakukan pelaku hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara dengan ancaman tidak lebih dari 5 tahun.
5. Pelaku harus mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.
6. Pelaku wajib mengganti kerugian yang dialami oleh korban.
7. Pelaku juga harus mengganti biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana dan/atau memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Namun, penting untuk diingat bahwa penyelesaian perkara dengan restorative justice tidak berlaku untuk kasus-kasus tindak pidana yang berkaitan dengan keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat dan wakilnya, ketertiban umum, serta kesusilaan. Selain itu, restorative justice juga tidak diterapkan pada tindak pidana dengan ancaman pidana minimal, tindak pidana narkotika, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Baca juga: Cara dan Syarat Mendirikan Partai Politik
Pedoman Restorative Justice
Dalam pelaksanaan restorative justice, terdapat beberapa pedoman yang perlu diikuti:
1. Setelah menerima permohonan perdamaian dari kedua belah pihak yang ditandatangani di atas materai, dilakukan penelitian administrasi untuk memeriksa syarat formil penyelesaian perkara melalui restorative justice.
2. Permohonan perdamaian yang telah memenuhi persyaratan formil diajukan kepada atasan penyidik untuk mendapatkan persetujuan.
3. Setelah mendapatkan persetujuan dari atasan penyidik seperti Kabareskrim, Kapolda, atau Kapolres, selanjutnya menunggu penentuan waktu pelaksanaan penandatanganan pernyataan perdamaian.
4. Dilakukan konferensi yang menghasilkan perjanjian kesepakatan yang ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat.
5. Dibuat nota dinas kepada pengawas penyidik atau Kasatker terkait permohonan pelaksanaan gelar perkara khusus dengan tujuan penghentian perkara.
6. Dilaksanakan gelar perkara khusus dengan peserta yang mencakup pelapor dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor, serta perwakilan masyarakat yang ditunjuk oleh penyidik. Dalam gelar perkara, juga melibatkan penyidik yang menangani dan perwakilan dari fungsi pengawas internal dan fungsi hukum serta unsur pemerintahan jika diperlukan.
7. Disusun kelengkapan administrasi dan dokumen gelar perkara khusus serta laporan hasil dari gelar perkara.
8. Diterbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan dan surat ketetapan penghentian penyelidikan/penyidikan dengan alasan restorative justice.
9. Pada tahap penyelidikan, penyelidik akan menerbitkan surat perintah yang diterbitkan oleh Direktur Reserse Kriminal Mabes Polri, tingkat Polda, dan tingkat Polres atau Polsek.
10. Semua proses ini dicatat dalam buku register baru B-19 sebagai bagian dari penyelesaian perkara melalui restorative justice.
Penerapan Restorative Justice
Penerapan Restorative Justice adalah proses penggunaan pendekatan restoratif dalam menangani kasus-kasus tindak pidana atau peristiwa yang menyebabkan kerugian. Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai rekonsiliasi dan pemulihan melalui dialog terbuka dan respon positif antara korban, pelaku, dan masyarakat yang terpengaruh.
Di bawah ini terdapat beberapa contoh penerapan Restorative Justice:
1. Sistem Peradilan Anak
Restorative Justice telah diterapkan dalam sistem peradilan anak untuk membantu anak-anak yang melakukan tindak pidana agar berubah dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Pendekatan ini lebih berfokus pada rehabilitasi dan pemulihan daripada hanya memberlakukan hukuman.
2. Mediasi atau Pertemuan Restoratif
Dalam beberapa kasus kriminal, mediator atau fasilitator dapat membantu mengatur pertemuan antara korban dan pelaku untuk membahas akibat dari tindakan kriminal dan mencari solusi yang dapat mengembalikan keseimbangan.
3. Program Restoratif dalam Lembaga Pemasyarakatan
Beberapa lembaga pemasyarakatan di Indonesia telah mencoba menerapkan program-program restoratif, terutama untuk tahanan pemuda. Program ini bertujuan membantu tahanan memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan mencari cara untuk berdamai dengan korban serta masyarakat.
4. Alternatif Pemidanaan
Dalam beberapa situasi, pengadilan dapat memutuskan untuk memberlakukan alternatif pemidanaan yang menggabungkan elemen-elemen restoratif, seperti permintaan maaf, restitusi, atau pelayanan masyarakat.
5. Pengembangan Kebijakan Publik
Restorative Justice juga dapat diimplementasikan melalui pengembangan kebijakan publik yang mendorong pendekatan restoratif dalam penegakan hukum dan penanganan kasus-kasus tindak pidana.
6. Program di Sekolah
Dalam konteks pendidikan, pendekatan restoratif dapat digunakan sebagai cara untuk mengatasi konflik antara siswa atau melibatkan siswa dalam proses penyelesaian masalah dan perdamaian.
(Z-9)
Pencegahan terhadap Nadiem dilakukan sampai enam bulan ke depan. Tujuannya untuk memperlancar proses penyidikan.
PENYIDIK Kejaksaan Agung (Kejagung) merampungkan berkas kasus dugaan korupsi Pertamina dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang.
Bambang menegaskan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menaruh perhatian khusus pada proses pembaruan hukum acara pidana bukan hanya sebagai kebutuhan.
Nadiem mengatakan bahwa penyidik telah menjalankan proses hukum kasus ini dengan baik, mengedepankan asas keadilan, transparansi, dan asas praduga tak bersalah.
Nadiem Makarim menjalani pemeriksaan perdana sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook.
Kejaksaan Agung membantah diksi jaminan yang dikeluarkan oleh Wilmar International Limited terkait uang Rp11,8 triliun yang sudah disita penyidik.
TIM judo Polri menyumbangkan 10 medali, 6 emas, 1 perak, dan 3 perunggu dalam ajang World Police And Fire Games (WPFG) 2025 di Birmingham, Alabama, Amerika Serikat (AS).
HUT Ke-79 Bhayangkara tak hanya menjadi ajang kebanggaan bagi institusi kepolisian, tetapi juga menjadi momentum kebersamaan antara Polri dan elemen masyarakat.
Untuk dapat dicintai oleh masyarakat, maka Polri harus terlebih dahulu mencintai masyarakat. Namun, dengan jargon Polri Presisi, diharapkan polisi semakin dicintai masyarakat.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia serta buruknya pelayanan kepolisian kepada masyarakat merupakan fakta yang dirasakan publik.
Komnas HAM mencatat bahwa institusi Polri menjadi institusi yang paling banyak diadukan dalam dugaan praktik penyiksaan sepanjang periode 2020 hingga 2024.
Mutasi merupakan bagian dari dinamika organisasi guna meningkatkan kinerja dan regenerasi di tubuh Polri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved