Pakar Sebut Kasus Tom Lembong Tergesa-gesa Disebut Korupsi

Rahmatul Fajri
26/1/2025 19:17
Pakar Sebut Kasus Tom Lembong Tergesa-gesa Disebut Korupsi
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong (kiri)(ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan)

DIREKTUR Pascasarjana Universitas Sjakhyakirti Palembang Edwar Juliartha menyoroti kebijakan importasi gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong sebagai tersangka.

Menurut penyidik Kejaksaan Agung, Tom Lembong telah merilis kebijakan gula pada era 2015-2016. Pada saat itu terjadi surplus gula, tapi Tom mengeluarkan izin importasi raw sugar yang diduga menguntungkan swasta. Importasi menurut Kejaksaan Agung mestinya dalam bentuk gula kristal putih dan dilakukan oleh BUMN. Penyidik mensinyalir terjadi kerugian negara Rp578 milyar.

Selain Tom Lembong, Kejaksaan RI juga telah menetapkan tersangka dari perusahaan gula swasta dan mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI).

Edwar mengatakan bahwa kebijakan publik itu harus dinilai pada saat kebijakan itu dilaksanakan, karena setiap kebijakan itu ada konteksnya.

“Kebijakan itu tidak bisa direview setelah bertahun-tahun lamanya. Lihat dulu historinya, apakah pernah dilaksanakan pemeriksaan atau belum. Jika sudah hasilnya bagaimana? Ada penyimpangan atau tidak. Tugas pejabat publik itu adalah problem solving. Tidak bisa di kurun waktu yang jauh berbeda,” jelas Edwar, melalui keterangannya, Minggu (26/1).

Sementara itu, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Junaedi Saibih berpendapat dalam kasus impor gula seharusnya dilakukan pemeriksaan aparatur pengawas internal pemerintah dulu sebelum ditarik ke pidana korupsi. Apakah ketika izin importasi dilakukan itu ada unsur suap, penipuan atau paksaan. Jika tidak ada maka tidak bisa ditarik ke pidana korupsi.

“Saya lihat dalam kebijakan itu ada aspek perdatanya. Ada perjanjian antara BUMN dengan perusahaan swasta. Kalau tidak ada konflik dalam aspek perdata, lalu masyarakat juga diuntungkan karena bisa memperoleh gula, maka aneh jika ditarik ke pidana. Terlalu dipaksakan,” jelas Junaedi.

Menurut Junaedi, dalam kebijakan publik itu berlaku asas presumptio iustae causa. Kebijakan itu benar dan sah, kecuali terdapat perubahan atau putusan yang menyatakan sebaliknya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pasca UU Administrasi Pemerintahan 30/2014 semua perbuatan yg berdimensi kebijakan termasuk perbuatan faktual harus terlebih dahulu melalui pemeriksaan tata usaha negara sebagai premium remedium. 

Perwakilan Ombudsman Sumatera Selatan Adrian Agustiansyah mengingatkan bahwa penegakan hukum tidak boleh melahirkan rasa takut kepada pejabat publik dalam bentuk kriminalisasi kebijakan.

Peningkatan kasus korupsi dalam kebijakan publik tidak bisa menjadi parameter keberhasilan penegakan hukum. Justru berpotensi sebaliknya, melahirkan ancaman macetnya birokrasi.

“Kebijakan publik itu butuh inovasi dan kreativitas. Jika review inspektorat pemeriksaan internal dilompati maka pejabat tidak akan berani mengambil kebijakan. Semuanya dihantui ketakutan,” tambah Junaedi.

“Setiap ketentuan hukum sektoral memiliki karakteristik penyelesaiannya sendiri dan tidak boleh dicampuradukkan kecuali memang dinyatakan secara tegas dalam UU tersebut dapat ditarik sebagai tindak pidana korupsi, hal ini sejalan dengan asas Lex specialis sistematis. Jadi segala tindakan hukum tindak pidana korupsi terhadap ketentuan hukum administrasi negara  sektoral itu ada banyak hal yang harus dipertimbangankan dalam proses penegakan hukum,” pungkasnya. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya