Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Gagasan Reformasi Polri Harus Konstitusional bukan Emosional

Despian Nurhidayat
02/12/2024 16:57
Gagasan Reformasi Polri Harus Konstitusional bukan Emosional
Petugas memeriksa barang bukti mobil mewah hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) judi online saat rilis pengungkapan kasus perjudian online di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (25/11/2024).(MI/USMAN ISKANDAR)

KETUA Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani menanggapi pernyataan PDIP melalui Ketua DPP Deddy Sitorus yang mengusulkan sebuah gagasan untuk mengembalikan Polri ke dalam tubuh TNI.

Menurutnya gagasan itu dapat dipahami sebagai satu gagasan yang bersifat emosional, melihat beberapa situasi di mana Polri lebih condong sebagai mesin politik atau alat politik dari penguasa. 

“Sementara di hadapan rakyat begitu banyak kasus-kasus kriminalisasi dan tindakan-tindakan represif, baik kekerasan pembunuhan secara melawan hukum  (unlawful killing), bahkan kriminalisasi terhadap oposisi politik dan juga masyarakat pencari keadilan yang mengalami pelanggaran hak asasi,” ungkapnya, Senin (2/12). 

Namun, menurutnya gagasan itu tidak dapat menjawab semua masalah yang sifatnya struktural dan sistemik dalam tubuh Polri. Perlu dipahami bahwa yang menjadi kegagalan fundamental atas institusi Polri yaitu tidak hanya di level implementasi saja,  melainkan sejak pada level konstitusi, di mana mandat Pasal 30 UUD 1945 terkait dengan Pertahanan dan Keamanan tidak secara tegas dan jelas diturunkan ke dalam regulasi di bawah peraturan perundang-undangan sebagai tidak lanjut dari mandat konstitusi.

“Pertama, gagasan bahwa memisahkan sipil dan militer yang ditidaklanjuti dengan mengeluarkan Polri dari tubuh ABRI itu harus dipahami bahwa tugas pokok dan fungsi Polri ada pada ranah sipil, yaitu pada tiga kewenangan,” ujarnya. 

Pertama, Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang harus berada pada satu rezim Criminal Justice System yang sifatnya integrated antara kepolisian selaku small investigator atau penyelidik dan penyidik, dan investigator juga pada Kejaksaan selaku Penyidik dan Penuntut Umum, sekaligus pemegang kewenangan pengendali perkara, dan juga Mahkamah Agung atau Hakim selaku pemeriksa di hadapan persidangan.

Kedua, tugas-tugas ketertiban umum (Tibum) yang kaitannya dengan izin keramaian, demonstrasi dan yang lain yang harusnya berada pada rezim pemerintahan daerah karena ketertiban umum disinkronisasi dengan fungsi-fungsi Satpol PP dan semacamnya. Apabila masih pada titik ketertiban umum yang sifatnya administrasi dan penertiban biasa, maka masih di bawah kewenangan atau ranahnya pemerintah daerah. 

“Namun apabila fungsi ketertiban umum itu terjadi pelanggaran hukum, baru masuk kepada fungsi Gakkumdu di bawah Polri,” tegasnya. 

Ketiga, kaitannya dengan Yanmas (Layanan Masyarakat) yang ini harusnya terlepas dari Tupoksi Polri, misalnya seperti mengurus surat izin kelakuan baik, dan hal-hal administrasi yang tidak ada kaitannya dengan fungsi Gakkumdu berbasis pelanggaran hukum dan penegakan hukum. 

“Nah ini yang harusnya ditindaklanjuti  secara detail di bawah Pasal 30 UUD 1945. Bagaimana Pasal 30 itu tidak memiliki indikator yang jelas sehingga diterjemahkan secara bebas, bahkan terjun bebas dan melenceng dari fungsi pertahanan dan keamanan itu sendiri,” tuturnya. 

Ini juga yang menjadi peluang masuk bagi TNI ke ruang-ruang sipil sehingga TNI mulai offside dengan melakukan penegakan hukum, TNI mulai menjaga ketertiban umum, bahkan ada di fasilitas-fasilitas publik yang sifatnya sipil seperti transportasi publik, stasiun kereta api dan segala macamnya.

“ Ini yang harusnya digagas oleh PDIP selama 10 tahun berkuasa,  ini yang harusnya digagas oleh PDIP dalam kerangka revisi (amandemen) Pasal 30 UUD Tahun 45,” kata dia. 

Hal inilah yang dinilai salah, sehingga tidak heran pada tataran implementasi kemudian dia bersifat represif bahkan anti hak asasi, Karena perspektif itu tidak ada sejak konstitusi itu yang harus diperbaiki.

“Kemudian, DPR RI melalui Partai politik itu seharusnya menjadi satu ajang evaluasi yang rutin dan korektif terhadap performa atau level implementasi undang-undang oleh nstansi-instansi pemerintah, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ini yang belum pernah terdengar. Selama ini kami mendengar kasus-kasus besar yang dihadapi oleh Polri, mulai dari Ferdy Sambo dan yang lain, justru disambut dengan puja-puji dan puisi. Bahkan puja-puji dan puisi di gedung parlemen yang harusnya berisi tentang kritik keras evaluasi dan gagasan reformasi atau perbaikan ke depan,” ujar dia. 

Partai politik apalagi PDIP yang telah selama ini berkuasa dan saat ini masih menjadi partai yang berkuasa karena memenangkan pemilu legislatif 2024 ini, harus menggagas perubahan struktural dan sistemis Polri. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya