Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pengamat Dorong Ada Sanksi Pidana untuk Pejabat yang Tidak Melapor Harta Kekayaan

Devi Harahap, Nike Amelia Sari
14/11/2024 17:20
Pengamat Dorong Ada Sanksi Pidana untuk Pejabat yang Tidak Melapor Harta Kekayaan
Ilustrasi LHKPN(Mi/Adam Dwi)

KOMISI Pemberantasan Korupsi mendorong para menteri dan wakil menteri pada Kabinet Merah Putih untuk segera memberikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) sebelum 21 Januari 2025. Hingga saat ini, dari 108 pejabat dalam Kabinet yang terdiri 7 Menko, 41 Menteri, 55 Wakil Menteri, dan 5 Pejabat Setingkat Menteri, baru 10 pejabat yang berkonsultasi kepada KPK. 

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman mengingatkan pentingnya para pejabat untuk bersikap transparan dan akuntabel mengenai harta kekayaan. Menurutnya, rendahnya pelaporan LHKPN menunjukkan tidak adanya bukti nyata spirit pemberantasan korupsi di para penyelenggara negara. 

“Kalau sekedar lapor LHKPN saja penyelenggaraan negara tidak patuh, maka spirit anti korupsi itu tidak ada. Jadi, kalau ada janji-janji pemberantasan korupsi itu omong kosong belaka,” ujarnya kepada Media Indonesia di Jakarta pada Kamis (14/11). 

Zaenur menjelaskan LHKPN merupakan satu hal yang sangat elementer untuk dapat digunakan sebagai instrumen pencegahan korupsi. Hal ini dikatakan untuk mengukur kewajaran kekayaan para pejabat sebelum dan setelah melaksanakan jabatannya. 

“Dalam hal ini adalah menunjukkan sikap transparansi melalui harta penyelenggaraan negara, agar bisa dibandingkan dengan setelah selesai menjabat. Apakah ada irregularity atau tidak sebagai bentuk kewajaran,” jelasnya. 

Zaenur mengatakan penyebab minimnya komitmen dan kepatuhan  penyelenggara negara dalam pelaporan LHKPN pejabat negara karena tidak adanya pemberlakuan insentif dan disinsentif terhadap pejabat negara. 

“Orang itu berbuat melakukan sesuatu itu atas hitungan insentif dan disinsentif, di mana insentif untuk lapor LHKPN itu hampir tidak ada dan tidak ada juga yang memuji dan memberikan reward, sedangkan di intensitasnya juga tidak ada, sehingga kemudian para penyelenggaraan negara merasa tidak perlu untuk melaporkan LHKPN,” jelasnya. 

Selain itu, Zaenur juga membantah argumentasi para pejabat yang tidak melaporkan LHKPN karena merasa kesulitan. Sebab, KPK telah menginisiasi pelaporan harta kekayaan via elektronik (e-LHKPN) sejak 2017 yang ditujukan guna memudahkan penyelenggara negara.

“Melaporkan LHKPN tidak sulit sehingga ini tidak menjadi tidak bisa dijadikan alasan, bahkan KPK bisa memberikan bantuan eksistensi dan sudah ribuan penyelenggaraan negara yang dibantu untuk melaporkan LHKPN itu,” imbuhnya. 

Zaenur juga meminta kepada KPK agar lebih tegas dalam kepada para pejabat yang melaporkan LHKPN namun tidak akurat. Merujuk data KPK tahun 2023, sebanyak 95 persen LHKPN yang disampaikan pejabat negara tidak akurat. 
 
“Jadi ada beberapa penyelenggaraan negara yang sudah melaporkan LHKPN tetapi ternyata di kemudian hari diketahui hartanya tersebut tidak wajar, karena memang tidak ada sanksi bagi yang laporannya tidak benar,” tuturnya. 

Menurut Zaenur, harus ada pemberlakuan sanksi yang tegas secara pidana dan administrasi bagi para penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN ataupun yang memanipulasi LHKPN. 

“Diperlukan sanksi berupa pidana sampai dengan administrasi, misalnya kalau tidak melaporkan atau melaporkan tapi memberikan informasi LHKPN tidak benar dengan sengaja, harusnya diancam dengan pidana, atau diberikan sanksi administrasi seperti tidak diberikan promosi, penundaan gaji, atau setidak-tidaknya diberikan peringatan,” tuturnya. 

Untuk itu, lanjut Zaenur, diperlukan perbaikan aturam Undang-Undang (UU) No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari KKN, ataupun memasukkannya dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)  

“Agar instrumen LHKPN ini bisa diperbaiki, misalnya UU Tipikor itu selain diperbaiki, ditambah dengan unsur LHKPN, atau UU Penyelenggara Negara yang bersih dari KKN itu direvisi, karena memang diperlukan perubahan regulasi,” tandasnya. 

Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menerangkan bahwa  kewajiban penyampaian LHKPN tertera pada Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 dengan menambah momentum pelaporan, yakni tidak hanya sebelum dan setelah menjabat, tapi juga setiap tahun selama mengemban suatu jabatan. 

“Karena itu, bila ada penyelenggara negara, khususnya dari kalangan legislator yang abai, entah tidak melapor atau terlambat, tindakannya bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum,” jelasnya. 

Berdasarkan data yang dilansir KPK tahun 2023, dari total 406.844 penyelenggara negara yang wajib menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), baru 392.772 orang (96,54 persen) yang telah melaporkan hartanya kepada KPK. 

Persentase itu menurun dibanding pada periode 2022 yang mencapai 97 persen. Jika dirinci, dari tiga cabang kekuasaan, legislatif menempati peringkat corot, yakni hanya 79,77 persen. Sementara pada 2021, kepatuhan LHKPN anggota legislatif sebesar 87,05 persen. Naik sedikit menjadi 88 persen pada 2022 dan anjlok 10 persen pada tahun 2023. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya