Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Jokowi Lemahkan Demokrasi Secara Terencana

Media Indonesia
09/2/2024 22:05
Jokowi Lemahkan Demokrasi Secara Terencana
Ilustrasi(MI/Seno)

PELEMAHAN demokrasi yang dilakukan Presiden Joko Widodo terkesan dilakukan secara terencana. Pendapat itu disampaikan Direktur Negarawan Center, Johan O Silalahi.

"Pelanggaran hukum dan konstitusi oleh Presiden Jokowi itu tak terhitung jumlahnya. Ini adalah krisis etika dan moral, dimulai dari puncak tertinggi, dari Jokowi yang berupaya meloloskan anaknya menjadi calon wakil presiden lewat Mahkamah Konstitusi. Akibatnya, seperti guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Muridnya pasti akan lebih brutal. Jokowi memberi contoh buruk, pasti di bawahnya akan meniru bahkan lebih buruk lagi," ujarnya dalam Webinar Nasional Moya Institute dan Nusantara 2045 dengan tema "Pemilihan Presiden Indonesia: Di Tengah Kemelut Etika dan Hukum?", Jumat (9/2).

Johan lantas memberikan contoh terbaru skandal moral yang mengarah ke Jokowi yang menampilkan kesaksian Andi Widjajanto di stasiun televisi.

Baca juga : Demokrasi telah Mati, Media Asing Soroti Situasi Politik Indonesia

Andi adalah mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional. Sebenarnya, ia dikenal sebagai "orang Jokowi" sejak lama.

"Andi dan kawan-kawan dipanggil oleh Jokowi dua hari sebelum deklarasi Prabowo-Gibran, dan menyatakan bahwa pertama, pasangan Prabowo-Gibran akan memenangkan Pemilu Presiden 2024 pada tanggal 14 Februari 2024," jelas Johan.

Johan menyatakan bahwa pada kesempatan itu Jokowi juga menyatakan bahwa Partai Solidaritas Indonesia akan lolos ke DPR RI.

Baca juga : Jokowi di Antara Chief dan ‘Thief’ of State

"Ini presiden apa ahli nujum, berarti Jokowi sudah bersiap melakukan kecurangan, partai kecil partai baru bisa lolos ke DPR, apalagi kini anggaran iklannya terbesar kedua di bawah PDIP," tandasnya.

Ketiga, sambung Johan, Jokowi menyatakan kepada Andi dan kawan-kawan bahwa suara PDIP akan turun di DPR. "Ini Jokowi sudah seperti ahli nujum saja, bukan negarawan," cetusnya.

Ditambah lagi, kata Johan, Jokowi pernah sesumbar. "Jika kalian bisa mengalahkan saya, kalian hebat, Bagaimana Jokowi yang diberi amanah mengampu UU bisa mengawal pemilu yang jujur dan adil," tandasnya.

Baca juga : Pengamat: Pembegalan Hukum oleh Kekuasaan Bertentangan dengan Nafas Pancasila

Menurut Johan, tidak salah kalau banyak pihak menyatakan bahwa telah terjadi kemunduran total dari sisi kenegarawan. Indonesia telah dibalut krisis moral, dan etika.

Johan khawatir krisis ini akan terus terbawa hingga Pemilu Presiden 2024. Apalagi Komisi Pemilihan Umum RI bertanggung jawab langsung pada presiden.

Johan menggarisbawahi perlunya sanksi keras terhadap Ketua dan seluruh anggota KPU dijadikan dasar untuk menegasikan pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto.

Baca juga : Perlu Aturan Hukum untuk Hadapi Politik Dinasti

Dalam kesempatan yang sama, mantan Duta Besar RI untuk Tunisia sekaligus ilmuwan politik, Prof. Duta Besar Ikrar Nusa Bhakti, menyatakan, demokrasi di Indonesia memang sedang sakit karena Presiden Jokowi tidak mencegah pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka.

"Sebenarnya tidak menjadi masalah kalau mantan presiden, tapi kalau presiden yang berkuasa mengajukan anaknya yang tidak memenuhi syarat untuk maju, itulah yang menjadi masalah besar. Akhirnya presiden menabrak konstitusi, aturan hukum, dan etika, agar anaknya menjadi calon wakil presiden," jelas Ikrar.

Menurut Ikrar, contoh kasus Gibran berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, MK tidak memiliki otoritas untuk mengubah pasal dalam UU Pemilu karena yang diajukan tuntutan tersebut pada intinya sama perubahan pasal batas usia calon presiden-calon wakil presiden untuk meloloskan Gibran.

Baca juga : Wajah Demokrasi Buruk karena Kepentingan Politik Keluarga

Ikrar lantas mempertanyakan apakah Pemilu Presiden 2024 sah atau tidak karena nantinya itu masih akan menjadi persoalan. Apalagi keraguan tentang etika ini diajukan oleh mereka-mereka yang menguasai hukum tata negara. Sayangnya, MK hanya memberi sanksi pelanggaran berat etis.

"Padahal pelanggaran etis itu otomatis melanggar hukum karena etika-lah yang menjadi dasar putusan itu sendiri," jelasnya. (P-4)

Baca juga : Politik Dinasti Menang, Demokrasi Terancam



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya