Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
GURU Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Padjadjaran (Unpad) Susi Dwi Harjanti mengingatkan, Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara 90/PUU-XXI/2023 adalah cacat legitimasi setelah Majelis Kehormatan MK memutus Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik.
“Ketika kita bicara pencalonan, legitimasi, itu kan bisa dilihat dari berbagai perspektif ada politik, hukum. Secara umum legitimasi orang masih dilihat legal, pertanyaan ketika putusan 90 dijadikan dasar hukum untuk pencalonan apa itu memenuhi syarat hukum tertentu?” kata Susi pada Jumat (10/11).
Sejak awal, permohonan uji materi usia capres-cawapres bermasalah. Mulai dari hukum acara, legal standing, pemohon tidak punya legal standing itu diamini Hakim Suhartoyo, yang kini menjadi Ketua MK, perkara yang ditarik, diperiksa kembali dan putusannya.
Baca juga: Kubu Prabowo-Gibran Sebut Baliho Masif sebagai Bentuk Semangat Relawan
“Dengan begitu banyak persoalan yang dihadapi putusan 90, kemudian putusan itu dipertanyakan, apalagi dengan putusan MKMK bahwa ketua MK diberhentikan dari jabatannya. Ini semakin menunjukkan apakah putusan 90 menjadi dasar hukum yang kuat bagi pencalonan Gibran?“ tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action disingkat (CISA) Herry Mendrofa menilai pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berpeluang membuka pelanggaran lebih lanjut karena berawal dari proses pencalonan yang diwarnai pro-kontra dan pelanggaran etik.
Baca juga: Presiden Jokowi Dinilai Sedang Mengultuskan Diri
"Saya kira calon ini banyak minusnya sebenarnya, dari sudut pandang etik, manuver, tentunya yang bisa dikategorikan pelanggaran pemilu," katanya saat dihubungi.
Persoalan legitimasi juga menjadi sorotan dari pasangan tersebut. Pasalnya, otoritas seorang pemimpin didasarkan pada legitimasi. Ketika legitimasi dipersoalkan, pemimpin tersebut ditakutkan akan memicu pelanggaran lain.
"Ya jelas akan ada banyak manuver-manuver yang inkonstitusional. Pelanggaran-pelanggaran etik, konstitusi, itu saja. Mengarah ke sana," tuturnya.
Herry juga mengkhawatirkan adanya penggunaan otoritas untuk menutupi kesalahan dan memunculkan pelanggaran selanjutnya.
“Karena menggunakan otoritas. Jadi pasti arahnya akan ada pelanggaran-pelanggaran selanjutnya. Kita meyakini hal itu bisa saja terjadi karena dari awal sudah diwarnai hal itu," tegasnya.
Herry menduga pelanggaran terkait penggunaan alat negara dalam pemilu juga terkait dengan otoritas.
"Ini tidak semua bisa ditegakkan, karena dari pencalonan saja sudah pelanggaran etik. Apalagi hanya dengan alat peraga kampanye,” sebutnya.
Ia pun mengkhawatirkan nantinya akan muncul ketidaknetralan dari aparat penegak hukum dalam Pemilu 2024.
"Saya mengkhawatirkan kalau misalnya arahnya nanti ada upaya menggerakkan aparat penegak hukum. Dan saya mohon itu tidak terjadi," pungkasnya. (RO/Z-7)
Penertiban ini dilakukan sebagai langkah menciptakan suasana yang tertib dan damai,
KPU Kota Bandung setidaknya membutuhkan waktu dua hari untuk menurunkan semua alat peraga kampanye (APK) Pilwakot Bandung dan Pilgub Jawa Barat (Jabar).
Bawaslu harus peka dan jangan melulu menunggu kondisi laporan dari masyarakat.
KETUA Divisi Data dan Informasi KPU Provinsi DKI Jakarta, Fahmi Zikrillah mengatakan akan memperketat pengamanan terkait dengan Alat Peraga Kampanye (APK) yang dibawa oleh pendukung
Warga Purwokerto mengeluhkan terdapat banyak Alat Peraga Kampanye (APK) pilkada yang melanggar aturan. APK dipasang menempel di tiang listrik dan dipaku dipohon.
Alat peraga kampanye pasangan calon Bupati-Wakil Bupati Bekasimerusak lingkungan karena dipasang tidak sesuai ketentuan antara lain dipaku di pohon.
Mahkamah Konstitusi membacakan putusan terhadap 15 perkara pengujian undang-undang.
Tim dari Kemendagri, lanjutnya, melakukan pengecekan dan survei ke lapangan sebagai upaya penyelesaian sengketa. Menurutnya itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 selanjutnya akan dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan perlu regulasi yang detail untuk menjalankan putusan MK tersebut.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved