WAKIL Direktur Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI), Hurriyah, mengatakan sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional tertutup berpotensi menjauhkan pemilih dari para kandidat dan partai. Menurutnya, sistem itu justru dapat menurunkan partisipasi dalam pemilu.
Hal itu ia sampaikan merespons adanya polemik pengujian inkonstitusionalitas sistem pemilu untuk pemilihan anggota legislatif yang belum diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Usulan sistem proporsional tertutup saya kira sebuah kemunduran dlm kualitas demokrasi elektoral kita," ujarnya ketika dihubungi, Minggu (4/6).
Baca juga: PKB: Putusan MK Proposional Tertutup Patut Diabaikan
Ia lebih jauh menjelaskan, sistem proporsional terbuka yang saat ini diterapkan melalui Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu telah digunakan sejak 2004. Pemilihan sistem pemilu proporsional terbuka, terangnya, didasarkan pada semangat untuk memperbaiki keterwakilan dalam pemilu.
Selain itu, sistem yang digunakan saat ini menurutnya mendekatkan pemilih dengan para calon wakil-wakilnya sebab masyarakat dapat langsung memilih calon legislatif dan juga menguatkan daulat rakyat. Bahwa kemudian dalam praktiknya ada kekurangan dan ekses negatif, imbuh Hurriyah, itu diyakini bukan karena pemilunya. Tetapi pada perilaku berpemilu aktor-aktor elektoral dan partai.
"Aktor politik dan partai yang hanya menjadikan pemilu sebagai cara untuk berkuasa secara absah, bukan menjadikan demokrasi sebagai rule of the game yang digunakan dalam berpolitik," tutur Hurriyah.
Mengembalikan sistem pemilihan anggota legislatif pada sistem tertutup, tegasnya, tidak akan mengatasi persoalan- persoalan yang mengemuka seperti politik uang, ongkos politik yang mahal, dan kurangnya keterwakilan. Sistem pemilu proporsional tertutup yang mana pemilih hanya bisa mencoblos lambang partai, menurut Hurriyah akan semakin menjauhkan partai dan kandidat dari pemilih.
Baca juga: Eks Hakim MK tidak Setuju MK Atur Sistem Pemilu
"Melanggengkan keterputusan hubungan antara partai politik dan pemilih, serta memperkuat praktik patronase dan klientelisme partai," tegasnya.
Ia mengatakan mengubah sistem pemilu legislatif dari terbuka menjadi tertutup hanya memindahkan arus politik uang saja dari pemilih ke partai. Sebab, pada sistem pemilihan proporsional tertutup, partai politik yang menentukan siapa saja kader mereka yang akan duduk di parlemen.
Hurriyah menjelaskan bahwa penyebab politik uang utamanya karena pragmatisme parpol dan kandidat yang mementingkan bagaimana mendulang suara tanpa mau susah payah melakukan pendidikan politik dan membangun relasi dengan konstituen.
Perbaikan Substansial
Menurutnya, hal-hal substansial yang perlu diperbaiki ke depan adalah penguatan representasi dalam praktik sistem proporsional terbuka. Bukan mengembalikan sistem tersebut menjadi proporsional tertutup.
"Partai perlu memperbaiki mekanisme rekrutmen caleg agar tidak dilakukan asal-asalan hanya untuk memenuhi kuota dan mendulang suara," cetusnya.
Proses kaderisasi, imbuh dia, seharusnya dilakukan jauh-jauh hari sebelum seseorang direkrut sebagai calon legislatif. Selain itu, menurutnya parpol perlu mulai melakukan kerja- kerja politik di luar masa pemilu sehingga bisa membangun hubungan dan kedekatan dengan konstituen.
"Selama ini parpol hanya jadi kendaraan yang demonstratif jelang dan saat pemilu saja. Itupun hanya sebagai penjual tiket kandidasi dan mobilisasi pemilih melalui cara transaksional ketimbang melakukan pendidikan dan sosialisasi politik kepada pemilih," tukasnya.
Polemik mengenai sistem pemilu mengemuka setelah adanya pengujian materiil UU Pemilu ke MK. Permohonan itu teregistrasi dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022, diajukan oleh anggota partai politik dan warga negara. Para pemohon menilai sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini menegasikan peran parpol dalam menentukan anggota legislatif. Permohonan itu direspons oleh mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI agar MK tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka.
(Z-9)