PARA pihak terkait yang hadir dalam lanjutan sidang perkara nomor 114/PUU-XX/2022 uji materi sistem proporsional pemilu meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup. MK diminta untuk menjaga kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin yang akan mewakili kepentingannya melalui sistem pemilu terbuka.
"Jangan sampai hak konstitusi masyarakat terkebiri, masyarakat tentu tidak ingin membeli kucing dalam karung. Dengan demikian meski kami menghormati rekan-rekan dari para pemohon dan juga Fraksi PDIP yang ingin agar tertutup, tetapi kiranya pendapat kami juga dihormati," ujar Anthony Winza Prabowo selaku pihak terkait dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) saat memberikan keteranganya di Gedung MK, Jakarta, Kamis (23/2).
Anthony menjelaskan sistem pemilu proporsional terbuka dapat membantu masyarakat mengetahui dan memilih secara langsung pemimpin yang diinginkan. Dalam argumennya, Anthony menuturkan bahwa MK tidak bisa menerima permohonan aquo yang dimohonkan oleh Yuuwono Pintadi cs. PSI menganggap permohonan aquo bersifat error in objecto atau memiliki objek yang keliru.
"Presiden telah menerbitkan Perppu 1 Tahun 2022 yang secara substansial mengubah UU yang sedang di uji. Perppu ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jika pemohon tidak mencantumkan perrpu tersebut maka (otomatis) menjadikan permohonan ini error in objecto," jelas Anthony.
Argumen Anthony turut dikuatkan dengan adanya putusan MK RI nomor 57/PUU-XVII/2019 tentang pengujian UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat itu MK menyatakan pemohon dalam sidang tersebut harus mengaitkan atau mencantumkan nomor UU KPK yang baru meskipun pasal yang dijui tidak diganti di UU yang baru.
Baca juga: KPU Targetkan DPT Selesai Pada 21 Juni 2023
"Maka sudah sepatutnya menurut pandangan kami yang mulia perlu memutus bahwa perkara aquo ini tidak dapat diterim," ujarnya.
Lebih lanjut Anthony menjelaskan UUD 45 tidak memberikan kewenangan konstitusional bagi MK untuk mendesain atau menentukan sistem kepemiluan. Mengingat MK yang bersifat sebagai negatif legislator, bukan positif legislator. Lembaga negara termasuk MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mendapatkan kewenangannya dari konstitusi.
"Secara tegas konstitusi mengatur dalam pasal 24C ayat 1 dikatakan bahwa kewenangan MK terkait pemilu hanya memutus perselisihan terkait pemilu. Bukan sebagai penentu desain pemilu yang merupakan kewenangan pembentuk UU maupun penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP," ungkapnya.
Anthony menuturkan campur tangan MK dalam menentukan sistem pemilu dikhawatirkan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan serta tidak sesuai dengan tugas dan kewenangan yang sudah diatur oleh konstitusi. MK merupakan benteng terakhir penjaga konstitusi sehingga diharapkan tidak tergoda untuk melewati batas-batas kewenangan konstitusionalnya menjadi institusi politik.
"Lagipula MK sendiri dalam putusannya nomor 22 sampai 24 PUU VI/2008 telah menyatakan pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka agar wakil yang dipilih tersebut tidak hanya pentingkan kepentingan parpol semata tetapi juga membawa aspirasi dari pemilih. Ini padangan MK sendiri" jelas Anthony.(OL-4)