Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

MK : Banyak Kepala Daerah Dijabat Plt Jika Pilkada Digabung 2024

Indriyani Astuti
07/9/2021 13:25
MK : Banyak Kepala Daerah Dijabat Plt Jika Pilkada Digabung 2024
Pilkada(Ilustrasi)

MAJELIS panel Mahkamah Konstitusi (MK) meminta pemerintah untuk menjelaskan risiko apabila pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) digabungkan pada 2024. Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan salah satu konsekuensi penggabungan pilkada 2022, dan 2023 pada 2024, berdampak pada banyak kepala daerah yang dijabat oleh pelaksana tugas (plt).

"Ada risiko menumpuk penyelenggaraan pilkada di tahun 2024. Maka akan muncul kepala daerah baik bupati, wali kota maupun gubernur caretaker. Berapa banyak yang harus disiapkan oleh pemerintah jangan-jangan tidak cukup aparatur di pusat menjadi pelaksana tugas gubernur," ujar Saldi dalam sidang uji materi mengenai keserentakan pemilu yang diatur dalam Undang-Undang No.10/2016 di MK, Jakarta, Selasa (7/9).

Mahkamah, ujar Saldi, meminta pemerintah memberikan penjelasan kemungkinan yang muncul sebagai dampak UU Pemilu yang tidak direvisi. Ia mengingatkan putusan Mahkamah No.55 tahun 2019 tentang pengujian UU Pemilu terkait enam opsi desain keserentakan pemilu. Meskipun Mahkamah menganggap pemilu serentak lima kotak seperti pada 2019 konstitusional, namun ada permasalahan pada pelaksanaannya. Hal itu yang turut dipersoalkan oleh para pemohon uji materi UU Pemilu yakni Akhid Kurniawan Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, dan Subur Makmur. Mereka merupakan mantan anggota penyelenggara pemilu ad hoc yang bertugas pada 2019.

Para pemohon mempersoalkan frasa terkait pelaksanaan pemilu yang dilakukan secara serentak dalam Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 UU Pemilu. Menurut mereka, praktik pelaksaan pemilu serentak 2019 membuat beban kerja penyelenggara bertambah. Apalagi ketika pemilu dan pemilihan serentak digabungkan pada 2024 mendatang.

Baca juga : Propam Mabes Polri Diminta Jangan Berhenti pada AKBP Gafur

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang turut menyampaikan keterangan pada sidang tersebut mengakui ada permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Komisioner KPU RI Hasyim Asy'ari menjelaskan pemilu serentak berdampak pada bertambahnya jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dari pemilu 2014 yang 545.803 menjadi 801.803.

"Dengan bertambahnya jumlah TPS, maka menambah beban pelaksanaan distribusi logistik," ujar Hasyim. Selain itu, bertambahnya daerah pemilihan juga mempengaruhi desain surat suara, bertambahnya kerja penyelenggara pemilu mulai dari rekrutmen hingga perhitungan suara dan lain-lain. Karenanya, Hasyim mengatakan seandainya pemilu lokal dipisah dengan pemilu nasional, daerah pemilihan akan berkurang. Begitu pula beban kerja penyelenggara.

Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mewakili presiden mengatakan pengaturan mengenai pelaksanaan pemilihan umum secara serentak atau tidak serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD aturan bersifat open legal policy atau kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang. Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian Dalam Negeri Eko Prastiyanto mengatakan dalam pertimbangan Mahkamah melalui putusan No.14/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU Pemilu, menyatakan agar pemilu dilaksanakan secara serentak.

"Didasari 3 alasan. Pertama, berdasarkan praktik ketenegaraan pelaksaan pemilihan presiden setelah pemilu anggota lembaga perwakilan, tidak memberi penguatan sistem pemerintah yang dikehendaki konstitusi (presidensil). Kedua dari sudut pandang original intent UUD 1945, pemilu presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan akan lebih efisien dilaksanakan serentak, sehingga akan lebih menghemat uang negara," ujarnya. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya