Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

MA Akui Adanya Ketidakpuasan Pelayanan Peradilan

Cahya Mulyana
29/1/2021 14:20
MA Akui Adanya Ketidakpuasan Pelayanan Peradilan
Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro(ANTARA)

MAHKAMAH Agung (MA) mengakui ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan peradilan. Seluruh laporan publik terhadap Ombudsman RI merupakan modal untuk perbaikan.

"Bukan tidak mungkin dalam melakukan kinerja pelayanan peradilan itu timbul ketidakpuasan," terang Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro kepada Media Indonesia, Jumat (29/1).

Ia mengatakan MA membawahkan empat lingkungan peradilan di seluruh Indonesia. Keempatnya meliputi peradilan umum, peradilan agama, peradilan Tata Usaha Negara (TUN) dan peradilan militer.

Tugas utama keempat lingkungan peradilan ini adalah melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan untuk menyelesaikan perkara yang diajukan para pencari keadilan. Dengan segudang tugas itu, kata Andi, tentu terdapat koreksi dari masyarakat. MA sangat terbuka dengan masukan publik terhadap kinerja peradilan dan akan dijadikan bahan perbaikan ke depan.

"Laporan masyarakat inilah kami jadikan masukan dan evaluasi untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan. Meski hal itu sebenarnya kami sudah berusaha memperbaiki melalui pembinaan dan pengawasan," paparnya.

Menurut Andi, MA menyadari bahwa dengan memperbaiki dan meningkatkan pelayanan tentu akan meningkatkan kepercayaan publik. "Terkait dengan penundaan berlarut menurut kami karena kondisi pandemi covid-19 dan banyak aparatur yang terpapar covid sehingga berdampak pada kinerja pelayanan serta kinerja pengadilan," pungkasnya.

Temuan Ombudsman

Sebelumnya, Ombudsman RI memaparkan bahwa instansi peradilan dan kepolisian menempati urutan teratas laporan dugaan maladministrasi dari masyarakat pada 2020. Dari total laporan 1.120 yang masuk ke Ombudsman, kepolisian menjadi terlapor atas 699 laporan. Laporannya terkait adanya dugaan penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, dan tidak memberikan pelayanan.

Catatan terhadap kepolisian itu disusul lembaga peradilan 284 laporan, kejaksaan 82 laporan, lembaga pemasyarakatan 35 laporan, pertahanan 13 laporan, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan 7 laporan.

"Dugaan maladministrasi yang paling banyak dilaporkan (menyangkut kepolisian) terkait adanya dugaan penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, dan tidak memberikan pelayanan," terang anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu dalam konferensi pers virtual bertajuk Catatan Akhir Tahun Bidang Hukum, Politik, HAM, Keamanan dan Pertahanan 2020, Kamis (28/1).

Ninik memaparkan ketiga dugaan maladministrasi tersebut mendominasi pokok permasalahan pada proses penyelidikan, penyidikan seperti penetapan tersangka, daftar pencarian orang, visum, serta laboratorium kriminal.

Padahal, kata Ninik, laporan terkait penegakan hukum ini berkaitan langsung dengan pemenuhan akses keadilan dalam konteks pelayanan publik bidang hukum. Sepanjang 2020, laporan masyarakat dengan terlapor instansi kepolisian baru dapat diselesaikan sebanyak 115 laporan.

Sedangkan 584 lainnya dari total 699 laporan masih dalam proses penyelesaian. Banyak faktor yang melatarbelakangi belum dapat diselesaikan.

"Antara lain respons dari kepolisian dalam memberikan tanggapan dan dokumen-dokumen terkait laporan di Ombudsman maupun adanya hambatan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian," paparnya.

Begitu pula terkait institusi peradilan, sebanyak 241 masih dalam proses penyelesaian, sedangkan 43 laporan telah terselesaikan. Hampir sama dengan laporan ke Institusi kepolisian, masyarakat paling banyak melaporkan adanya dugaan penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, dan tidak memberikan pelayanan.

"Ketiga dugaan maladministrasi tersebut mendominasi pokok permasalahan pada proses eksekusi putusan,” terang Ninik.

Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala menjelaskan, selama 2020, Ombudsman RI telah menerima laporan masyarakat terkait substansi hukum, HAM, politik, keamanan, dan pertahanan dengan terlapor lembaga non penegak hukum mencapai 99 laporan.

“Terkait substansi yang terbanyak dilaporkan oleh masyarakat adalah hak sipil dan politik sebanyak 41 laporan. substansi komisi/lembaga 26 laporan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi 22 laporan, Ditjen Bea dan Cukai 8 laporan dan Ditjen Kekayaan Intelektual 2 laporan,” terangnya.

Sepanjang 2020 laporan masyarakat dengan terlapor instansi hak sipil dan politik sudah diselesaikan dan ditutup oleh Ombudsman RI dengan jumlah sebanyak 5 laporan, sedangkan sebanyak 36 laporan masih dalam proses penyelesaian.

Menurut Adrianus, pada laporan terkait substansi hak sipil dan politik, masyarakat paling banyak melaporkan tentang adanya dugaan penyimpangan prosedur, penundaan berlarut, dan tidak memberikan pelayanan. Ketiga dugaan maladministrasi tersebut mendominasi pokok permasalahan pada keterbukaan informasi, permintaan data, serta pemilu dan pilkada.

Terkait laporan masyarakat dengan terlapor Ditjen Imigrasi, sepanjang 2020 terjadi penurunan jumlah Laporan Masyarakat. Menurut Adrianus, hal tersebut terjadi kemungkinan akibat adanya pandemi Covid-19 sehingga membatasi keluar masuknya orang pada perlintasan keimigrasian dengan tujuan dalam maupun luar negeri.

Namun demikian, permasalahan terkait penerbitan paspor, Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) tetap menjadi permasalahan yang paling banyak dilaporkan, baik karena penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, maupun penyimpangan prosedur.

Adrianus melanjutkan, pada substansi dengan Terlapor Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, kecenderungan dugaan maladministrasi paling tinggi yaitu mengenai penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan penundaan berlarut dengan pokok permasalahan pada prosedur pemeriksaan barang, dan penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB).

"Pada substansi hak sipil dan politik dengan terlapor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat laporan masyarakat mengenai belum adanya kepastian status hukum pelapor yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak tanggal 15 Desember 2015 dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa," pungkasnya. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya