Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Tak Ada Definisi Jelas, Pasal Penodaan Agama Rentan Multitafsir

Putri Rosmalia Octaviyani
21/8/2020 18:11
Tak Ada Definisi Jelas, Pasal Penodaan Agama Rentan Multitafsir
Aksi Massa terkait dugaan penodaan agama(MI/Bagus Suryo)

KASUS-kasus penodaan agama yang terjadi di Indonesia kerap muncul akibat desakan publik. Baik secara langsung atau online. Sampai saat ini tidak ada penafsiran yang jelas mengenai bentuk kegiatan yang termasuk ke dalam pasal penodaan agama. Hal itu membuat proses penegakan hukum menjadi rentan melanggar hak asasi manusia.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menjelaskan. kasus-kasus penodaan agama sangat terpengaruh pada tafsiran publik dan penegak hukum. Itu karena dalam teks hukum tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan penodaan agama di KUHP.

Selama ini, penyelesaian kasus penodaan agama di pengadilan umumnya menggunakan tiga pasal, yaitu Pasal 156a KUHP, Pasal 59 ayat 3 UU Ormas, dan Pasal 28 ayat 2 jo 45a ayat 2 UU ITE.

“Dalam penodaan agama umumnya akan ada aksi massa. Tidak hanya secara offline tetapi juga online. Polisi percaya bahwa dengan adanya proses hukum maka ketegangan akan mereda. Itu masuk akal karena kasus-kasus tersebut didorong dalam bentuk aksi massa,” ujarnya dalam webinar Tren Penodaan Agama di Indonesia, Jumat, (21/8).

Asfina menjelaskan, menurut data yang dihimpun YLBHI, pada Januari hingga Mei 2020, ada 38 kasus penodaan agama yang telah dilaporkan ke kepolisian. Kasus terbanyak terjadi di Sulawesi Selatan sebanyak 6 kasus, Jawa Timur sebanyak 5 kasus, dan Maluku utara sebanyak 5 kasus. Dari jumlah itu sebanyak 25 kasus sudah ditangkap pelakunya. Sebanyak 13 kasus tertuduhnya belum ditangkap.

“Yang menarik adalah bahwa jumlah terlapor anak atau usia muda mendominasi. Dari 38 kasus yang dihimpun, dua kasus di antaranya memiliki tiga orang tersangka yang merupakan anak di bawah 18 tahun. Enam kasus lain tersangkanya berusia 18 hingga 21 tahun,” ujar Asfinawati.

Asfina menjelaskan, tidak adanya definisi yang jelas menyebabkan penegak hukum cenderung dipengaruhi oleh desakan massa atau publik untuk menangani kasus yang dianggap viral.

Gangguan ketertiban umum masih dijadikan alasan untuk menangkap atau memproses kasus. Ia berpendapat perlu ada penghapusan pasal penodaan agama di KUHP dan penistaan agama di UU Ormas karena tidak memnuhi asas legalitas dan tidak ada definisi yang jelas.

Baca juga : Kelompok Milenial Tuding Deklarasi KAMI sebagai Gerakan Politik

“Perlu juga ada revisi kedua terhadap UU ITE karena ada banyak multitafsir. Untuk melindungi umat beragama dari permusuhan sebaiknya pasal penodaan agama diubah menjadi pasal hate crime, siar kebencian, dan diskriminasi berbasis agama. Sehingga dia lebih tepat guna dan tidak mengkriminalisasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Harapan kami itu akan diakomodir di RKUHP yang masih dalam pembahasan,” tuturnya.

Namun, ia mengatakan bahwa sejauh ini juga ada perbaikan dari penegak hukum dalam menangani kasus penodaan agama. Tidak semua kasus penodaan agama divonis dengan mudah.

“Hakim sudah bisa lebih baik menilai kasus-kasus penodaan agama,” tuturnya.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan isu pokok dari masalah penodaan agama adalah bahwa kasusnya bisa sangat melebar, terutama ketika situasi sosial dan politik tengah memanas. Hal itu kerap menyita energi yang sangat besar bagi negara.

“Hingga saat ini delik penodaan agama masih belum jelas. Hal itu menyebabkan inkonsistensi penafsiran aparat penegak hukum akan makna penodaan agama. Hal itu juga berdampak pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, dan persekusi pada pihak yang dituduh melakukan penodaan, baik secara langsung atau digital,” ujarnya.

Ahmad Taufan menjelaskan, harus ditafsirkan dengan lebih jelas apa yang dimaksud dengan penodaan agama. Selain itu harus dilakukan kajian ulang terhadap regulasi-regulasi yang digunakan.

“Karena kalau tidak akan semakin muncul ketegangan hubungan sosial antara kelompok-kelompok beragama,” ujarnya. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya