Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
Pernyataan proklamator Bung Karno itu masih relevan ketika kita melihat betapa sulitnya melawan kezaliman dari bangsa sendiri. Memang, tak sulit melawan penjajah, bangsa Indonesia bisa kompak merapatkan barisan mengibarkan panji perlawanan meskipun bermodal bambu runcing. Kaum penjajah menjadi common enemy rakyat yang harus ditumpas.
Namun, selepas kemerdekaan yang susah payah diraih, mengorbankan jiwa, raga, harta, dan sebagainya, penjajahan dalam bentuk lain masih muncul, seperti penegakan hukum yang tebang pilih, padahal Indonesia sudah menyatakan sebagai negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Alih-alih bangsa ini merasa nyaman hidup di negara yang berdasarkan rechtsstaat, hingga kemerdekaan memasuki usia 80 tahun, bangsa ini masih mengalami kezaliman dalam perkara hukum.
Hukum masih milik orang kaya, orang berpangkat, dan orang yang memiliki jabatan penting. Mereka bisa mengatur hukum sesuka hati. Ibarat lampu lalu lintas, bukannya patuh pada lalu lintas, justru mereka memindahkan lampu lalu lintasnya, bahkan mungkin membuangnya ke semak-semak.
Politik penyanderaan pun dimainkan sekadar untuk membungkam lawan-lawan politik, bukan untuk kepentingan law enforcement. Sejatinya, prinsip negara hukum ialah supremasi hukum, pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), perlindungan hak asasi manusia, dan imparsialitas peradilan.
Tak hanya ranah hukum yang menurut band Sukatani harus 'bayar, bayar', pengelolaan sumber daya alam yang semrawut sejak Orde Baru sampai sekarang ialah kezaliman yang harus diakhiri.
Pengelolaan sumber daya alam seharusnya mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selama Orde Baru (1967-1998) Indonesia kehilangan hutan (deforestasi) seluas 40 juta hektare untuk beragam kepentingan. Deforestasi dan kerusakan hutan itu berdampak pada kerusakan ekosistem, kehilangan keragaman hayati, gangguan hidrologi, dan peningkatan risiko banjir dan tanah longsor.
Rezim developmentalisme nan militeristis di bawah Jenderal Soeharto mengedepankan pembangunan secara membabi buta. Kala itu, yang tidak setuju dengan kebijakan pembangunan diberi stigma 'antipembangunan', 'antipemerintah', 'subversif', 'PKI', dan sebagainya.
Dari trilogi pembangunan yang diusung Orde Baru aspek stabilitas nasional lebih mengemuka daripada pertumbuhan ekonomi, apalagi pemerataan ekonomi. Atas nama stabilitas nasional, penguasa merasa sah mengintimidasi, meneror, menculik, dan menghilangkan paksa seseorang.
Bukannya tercipta pemerataan ekonomi, melainkan ketimpangan ekonomi yang menganga. Hanya keluarga Soeharto dan kroni-kroni mereka yang hidup makmur hingga tujuh turunan, sementara rakyat hanya bisa gigit jari. "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin," kata Rhoma Irama dalam lagu Indonesia (1981).
Selain musiknya mengasyikan, lirik yang sarat kritik sosial itu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Lagu itu kemudian berkumandang ke seantero Nusantara. Namun, penguasa kebakaran jenggot. Akibatnya, Rhoma dan lagunya itu dicekal di mana-mana.
Ketimpangan ekonomi yang diangkat Rhoma Irama pada era Orde Baru masih berlangsung sampai era saat ini, pascareformasi. Era yang seharusnya mampu mengoreksi praktik lancung penyelenggaraan negara, seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Ketimpangan ekonomi ini juga merupakan paradoks ketika kita melihat berlimpahnya sumber daya alam di Indonesia. Salah satunya di Pulau Papua, pulau yang saat ini terdiri dari enam provinsi, yaitu Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.
Pulau yang terletak di ujung timur Indonesia tak diragukan lagi memiliki sumber daya alam yang melimpah, yaitu emas, tembaga, batu bara, nikel, minyak bumi, gas alam, flora dan fauna, dan satwa endemik.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020 menyebutkan Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha.
Ironisnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode Maret 2024, lima provinsi termiskin didominasi dari Tanah Papua, yaitu Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat Daya.
Kini mata tertuju ke Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
Wilayah yang sering mendapat julukan 'sepenggal surga' atau the last paradise (surga terakhir) itu memiliki 610 pulau, dengan empat pulau besar: Salawati, Batanta, Waigeo, dan Misool.
Raja Ampat terletak di jantung pusat segitiga karang dunia (coral triangle) dan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia. Belum lagi keanekaragaman terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan mangrove, dan pantai tebing berbatu yang indah.
Alhasil, Raja Ampat ditetapkan sebagai global geopark oleh UNESCO karena memiliki warisan geologi, ekologi, dan budaya lokal yang sangat tinggi.
Kini, ikon wisata Indonesia yang mendunia itu diguncang isu kerusakan lingkungan oleh aktivitas pertambangan nikel menyusul hasil invetigasi Greenpeace Indonesia. Tagar #SaveRajaAmpat pun menguar di jagat media sosial.
Anehnya, sejumlah menteri Kabinet Merah Putih bersilang pendapat. Publik dilanda kebingungan, pernyataan pembantu Presiden Prabowo mana yang bisa dipegang, apalagi yang mengeksploitasi tambang nikel di Raja Ampat ialah anak usaha BUMN.
Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang penambangan di pulau kecil. Setali tiga uang, sami mawon, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga melarang hal yang sama.
Hukum sudah terang benderang melarang penambangan di Raja Ampat. Namun, kuasa gelap demi fulus dan/atau jabatan sering kali membuat orang melakukan tindakan bahlul (bodoh, KBBI) untuk kepentingan sesaat. Mereka nekat melanggar hukum, tak malu menabrak etika, termasuk etika lingkungan.
Kiranya perlu disimak filosofi leluhur Raja Ampat bahwa hutan ialah mama, laut ialah bapak, dan pesisir ialah anak. Upaya menyelamatkan Raja Ampat tak bisa ditawar-tawar lagi, tak bisa dinego, seperti halnya NKRI harga mati. Tabik!
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
LEBIH enak mana, jadi menteri atau cukup wakil menteri (wamen)? Menjadi menteri mungkin tampak lebih keren dan mentereng karena ia menjadi orang nomor satu di kementerian.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved