Rabu 01 Maret 2023, 05:00 WIB

Derita Gaya Hidup

Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group | Editorial
Derita Gaya Hidup

MI/Ebet
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group.

BANYAK manusia modern yang meyakini bahwa gaya hidup glamor akan menentukan status dan kelas seseorang. Selanjutnya, posisi status dan kelas seseorang dipandang bisa mendatangkan kebahagiaan.

Di kalangan manusia modern, pencarian makna kebahagian itu memang problematik. Ia seperti pencarian tanpa tepi. Sebagian bahkan menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan. Pada titik ini, gaya hidup wah menjadi pilihan, apalagi di kalangan sejumlah pejabat.

Padahal, para bijak bestari telah mengingatkan komplikasi yang ditimbulkan dari pola kehidupan hedonis itu. Salah satunya, tatanan kehidupan manusia modern yang hedonis itu dihadapkan dengan idealitas dan realitas semu.

Sebagian orang seperti berada dalam keseimbangan palsu. Kepalsuan ini menjebak manusia dan menyeretnya dalam dimensi keringnya nilai spiritual dan tidak lagi mampu mencapai tahapan kebahagiaan. Bahkan, kian jauh dari capaian kebahagiaan.

Hanya karena menginginkan kesenangan sesaat, imbasnya juga bisa ke mana-mana. Tidak jarang orang lain bisa menderita karenanya. Orang lain bisa menjadi korban penindasan akibat hasrat memenuhi gaya hidup yang tidak terbendung itu.

Kasus penganiayaan atas Crystalino David Ozora oleh Mario Dandy Satrio, anak pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bernama Rafael Alun Trisambodo, ialah fakta nyata 'penindasan' itu. Maka, alih-alih meraih kebahagiaan, sang penganiaya dan keluarganya kini dikepung penderitaan.

Benar belaka teori William James, seorang perintis psikologi pendidikan dari Amerika Serikat. Pak James mengatakan motif terdasar dari seluruh tindakan manusia hanya satu, yakni the pursuit of happyness. Kalau ada pertanyaan mengapa kita beragama, mengapa menikah, mengapa harus bekerja, termasuk mengapa kita harus bernegara, jawabnya hanya satu, yakni demi mengejar kebahagiaan.

Tapi, kebahagiaan itu jelas berbeda dengan kesenangan. Banyak orang mengidentikkan kebahagiaan dengan pleasure, atau kesenangan. Padahal, keduanya berbeda. Kebahagiaan adalah suatu konsep yang dinamis dan sifatnya kontekstual. Kebahagiaan itu produktif, aktif, menumbuhkan. Kebahagiaan itu membuat kemanusiaan kita berkembang.

Kebahagiaan itu sesuatu yang membuat kita menjadi kaya. Bisa melayani dan membahagiakan orang lain, bukan mencelakai atau menganiaya orang lain. Kebahagiaan itu enjoyment alias kesukacitaan.

Adapun kesenangan, bersifat konsumtif dan pasif. Makan, minum, nonton bioskop, punya Jeep Rubicon, itu kesenangan dan sifatnya pasif konsumtif. Dalam hierarki kebutuhan menurut Abraham Maslow, kesenangan itu masih di urutan bawah. Levelnya baru physiological needs atau kebutuhan fisiologis biologis dan safety needs alias kebutuhan akan ketenteraman.

Sementara itu, kebahagiaan levelnya sudah puncak dari segala puncak kebutuhan, yakni self-actualization atau aktualisasi diri. Pada titik ini, orang akan merasa bermakna dan bahagia jika bisa melayani dan berguna bagi banyak orang. Tokoh sufi Imam Al-Ghazali menggambarkan kebahagiaan itu senapas dengan sa'adah, yang bermakna 'ketiadaan derita'.

Tidak mengherankan bila para pendiri bangsa ini memilih jalan berpayah-payah karena mereka ingin mencapai puncak kebahagiaan bersama rakyatnya. Mengapa Bung Hatta menolak beragam fasilitas negara padahal ia wakil presiden, jawabannya jelas: Bung Hatta tidak mau memburu kesenangan dengan bergaya hidup wah karena banyak rakyat masih menderita.

Menurut Bung Hatta, mimpi dari dibentuknya negara: aku ingin membentuk negara di mana semua orang bahagia di dalamnya. Yang dari Aceh bahagia. Orang Papua bahagia. Orang Tionghoa bahagia. Para petani bahagia. Nelayan pun bahagia. Karena sebagian besar mereka masih menderita, maka tidak elok menikmati kesenangan di atas penderitaan.

Kata KH Agus Salim mengutip kata bijak Belanda, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Menjadi pejabat itu amanat dan siap berpayah-payah, bukan memupuk fasilitas dan membiarkan keluarganya bergaya hidup laiknya konglomerat.

Andaikata Pancasila bukan sekadar perkataan, melainkan juga perbuatan, tidak akan ada kisah Mario menganiaya David. Pula, tidak ada pejabat dan keluarganya yang memupuk fasilitas (bahkan meraih fasilitas dengan cara menyimpang) dengan bergaya hidup mentereng dan bersikap arogan.

Baca Juga

MI/Ebet

Patologi Birokrasi

👤Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group 🕔Selasa 21 Maret 2023, 05:00 WIB
DALAM iklim budaya yang masih paternalistik, diperlukan kepemimpinan yang tangguh, inovatif, risk taker, dan menginspirasi untuk...
MI/Ebet

Tri Hita Karana

👤Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group 🕔Senin 20 Maret 2023, 05:00 WIB
PARIWISATA Bali sedang menjadi sorotan. Disorot karena ulah segelintir turis asing yang mengusik nilai-nilai adiluhung masyarakat...
MI/Ebet

Niat Baik IKN

👤Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group 🕔Sabtu 18 Maret 2023, 05:00 WIB
ADA satu adagium yang populer di negeri ini: 'niat baik mesti dibarengi dengan cara yang...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya