Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
NEGARA ini sebenarnya dibangun di atas dasar-dasar kenegaraan yang kukuh untuk menopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua sektor, seluruh sisi, punya pijakan yang kuat.
Untuk memelihara ketertiban dan kepatuhan, misalnya, konstitusi kita menggariskan bahwa Indonesia ialah negara hukum. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hukum merupakan panglima. Tidak ada kekuatan yang lebih tinggi lagi daripadanya. Semua tahu itu.
Konstitusi juga memberikan panduan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak tidak ada kecualinya. Narasinya secara runut ada dalam Pasal 27 ayat (1).
Tidak ada kecualinya. Begitu jaminan yang diberikan konstitusi. Mau orang tak berpunya atau yang kaya raya, mau rakyat jelata atau para penguasa, mau wong alit atau para elite, semua sama di mata Themis, sang Dewi Keadilan. Istilah kerennya equality before the law.
Setiap orang, siapa pun dia, harus menanggung konsekuensi hukum jika melanggar hukum. Negara, lewat para penegak hukum, wajib memperlakukan mereka tanpa ada pembedaan. Hebat bukan?
Sayangnya, semua itu hanya katanya, bukan faktanya. Katanya semua orang sama di depan hukum, tetapi faktanya ada banyak yang diperlakukan istimewa. Bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum kiranya masih sekadar konon. Masih kabarnya.
Ayat-ayat konstitusi yang sebenarnya sudah pasti, sudah jelas, sangat tegas, tak jarang ditafsirkan sesuka hati oleh penegak hukum. Satu pasal bisa diterapkan secara berbeda. Satu ketentuan bisa dijalankan secara beragam. Tergantung siapa yang dikenai, tergantung kepentingan apa yang melatarbelakangi.
Banyak contoh perbedaan perlakuan hukum. Perbedaan yang celakanya dipertontonkan secara kasatmata, sangat telanjang, terang-terangan, oleh penegak hukum. Yang terungkap di publik saja banyak, apalagi yang tersembunyi, di ruang gelap, sangat mungkin lebih banyak.
Perbedaan perlakuan hukum itu pula yang akhir-akhir ini mengemuka. Kasusnya terkait dengan dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dan kelompoknya. Banyak hal yang bisa dipersoalkan, tapi bolehlah kita fokus menyoal perlakuan polisi terhadap Putri Candrawathi.
Putri merupakan istri Sambo. Dia satu dari lima tersangka dalam kasus itu, tetapi hingga kini tak ditahan. Sudah dua kali dia diperiksa sebagai tersangka, tetapi setelahnya diizinkan pulang.
Seusai menjalani pemeriksaan terakhir, Rabu (31/8), Putri hanya diwajibkan lapor dua kali seminggu. Pengacara Putri, Arman Hanis, menyebut pihaknya memang mengajukan permohonan agar kliennya tak ditahan karena alasan kemanusiaan. Yang dia maksud ialah Putri masih memiliki anak kecil. Kondisinya pun belum stabil.
Sebagai manusia, kita memaklumi betapa berat beban yang mesti ditanggung Putri akibat perbuatannya. Sebagai manusia, kita berempati kepada anak-anak Putri, terlebih yang masih balita. Namun, kalau itu kemudian dijadikan dalih untuk tidak menahan Putri, nanti dulu. Ada persoalan mendasar, sangat mendasar, yakni keadilan.
Perlakuan untuk Putri mirip dengan putusan hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang memangkas vonis 10 tahun bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi hanya 4 tahun. Alasan ketika itu serupa, yakni Pinangki punya anak kecil.
Perlakuan untuk Putri sama pula dengan langkah Polres Serang Kota tidak jadi menahan artis Nikita Mirzani yang menjadi tersangka kasus pencemaran nama baik. Pada Juni silam, Nyai--sapaan akrab Nikita--tadinya ditangkap karena tak kooperatif, tapi kemudian dibebaskan. Dia hanya wajib lapor. Alasannya, dia masih punya anak yang butuh perlindungan.
Putri, Nikita, Pinangki, merupakan putri-putri yang diperlakukan berbeda ketika terantuk perkara pidana. Di mata penegak hukum, mereka istimewa, tak sama dengan putri-putri lain yang tersandung kasus serupa kendati juga punya balita.
Pada Mei 2022, amsalnya, bayi berusia dua tahun yang masih menyusu tak kuasa mengubah keteguhan hati aparat untuk tidak menahan sang ibu di Bandar Lampung. Di Gowa, seorang bayi umur 18 bulan terpaksa menemani ibunya di penjara.
Nasib buruk juga dialami dua mak-mak di Lombok Tengah. Keduanya tetap ditahan meski memiliki anak kecil. Pun dengan pesohor Vanessa Angel dan Angelina Sondakh. Meski sama-sama manusia, alasan kemanusiaan untuk Putri, Nikita, dan Pinangki tak berlaku buat mereka.
Terang, sangat terang, ketidakadilan terpampang. Perlakuan polisi untuk Putri merupakan noda di tengah upaya mereka mengembalikan kredibilitas yang ambruk gegara kasus Sambo.
Cermati saja betapa pedasnya warga +62 menumpahkan kekecewaan. Mereka menggugat ketidakadilan yang diperlihatkan polisi. ‘Udahlah enggak usah ngarepin Polri bisa ngungkap kasus ini secara terang benderang...’, begitu komentar salah satu warganet.
Kata Pietro Colletta; lebih dari peradaban, keadilan merupakan kebutuhan rakyat. Sebagai kebutuhan, negara wajib menghadirkan keadilan. Bukan malah menyembunyikannya, menyanderanya, demi rupa-rupa kepentingan.
Kata Menko Polhukam Mahfud MD, "Kalau negara tidak mampu tegakkan keadilan hukum, maka tinggal nunggu kehancurannya. Hancurnya sejarah bangsa-bangsa terdahulu, ya, karena negara tidak adil.” Tentu kita tak ingin negara ini hancur karena ketidakadilan, apa pun bentuknya, siapa pun pelakunya, terus dipelihara.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved