Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
SUDAH tak terbilang pepatah klasik ‘mulutmu harimaumu’ disampaikan, dipidatokan, dituliskan, dan diajarkan. Toh, ada saja yang masih terpeleset akibat mulut salah ucap. Rupanya kebebasan berbicara sebagai penanda demokrasi kerap dimaknai bebas tanpa ‘syarat’.
Itu pula yang terjadi saat Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto tiba-tiba menyebut Singapura sebagai surga bagi koruptor. Mungkin ia terseleo lidah saat membeberkan alasan sulitnya mencari buron kasus rasuah di Indonesia. Beberapa tersangka korupsi kerap melarikan diri ke Singapura untuk mengamankan diri.
“Satu-satunya negara yang tidak menandatangani ekstradisi yang berkaitan dengan korupsi ialah Singapura. Itu surganya koruptor,” kata Karyoto di Gedung Merah Putih KPK, Selasa, pekan lalu (6/4).
Karyoto melanjutkan curhatnya dengan menandaskan bahwa Indonesia tidak akan bisa meminta bantuan pemerintah Singapura dan otoritas keamanan mereka untuk memulangkan koruptor. Otorititas Singapura yang keukeuh menolak ekstradisi menjadi halangan penegak hukum Indonesia mengejar koruptor.
“Tingkat kesulitan menjemput para tersangka di Singapura makin susah jika telah diakui sebagai penduduk atau berstatus permanent resident. Agak repot, sekalipun dia sudah ditetapkan tersangka,” ujar Karyoto.
Lokasi Singapura yang dekat dengan Indonesia, Karyoto melanjutkan, juga dimanfaatkan tersangka sebagai negara tujuan melarikan diri. Alasannya, irit ongkos.
Curhat yang offside. Sebagai penegak hukum yang sudah dibekali kewenangan ekstra, Karyoto mestinya punya beragam jurus meringkus koruptor, alih-alih berbagi kisah soal sulitnya menekuk buron. Undang-undang KPK sudah memberikan banyak senjata. Ada penyadapan, ada kekuatan ekstra untuk ‘memaksa’ institusi lain memberikan bantuan, bahkan punya tim untuk menegosiasikan ekstradisi buron dengan beragam pendekatan. Belum lagi soal anggaran operasional KPK, yang pada 2021 ini disetujui Rp1,3 triliun.
Tentu, masih banyak hal penunjang dan dukungan kuat yang mesti diberikan kepada lembaga antirasuah itu. Namun, itu bukan alasan untuk menyampaikan keluhan secara terbuka, lebih-lebih menyinggung negara lain.
Dampaknya, seperti yang mudah diduga, Singapura, melalui kedutaan besarnya di Jakarta, melayangkan protes keras. Wajar belaka bila KPK, melalui wakil ketuanya, Nawawi Pamolango, meminta maaf atas pernyataan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto yang menyebut Singapura sebagai surga bagi koruptor tersebut. “Kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari pernyataan-pernyataan tersebut,” kata Nawawi, awal pekan ini.
Memang betul bahwa KPK tidak bermaksud menghina Singapura. Benar pula bahwa kerja sama KPK dan Singapura tidak lantas rusak akibat pernyataan tersebut. Namun, dalam adab hubungan antarnegara, pernyataan yang tidak perlu tersebut melukai.
Apalagi, Indonesia dan Singapura melalui KPK dan CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) sudah merintis kerja sama dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemberantasan korupsi, baik pencegahan, pendidikan, maupun penindakan. CPIB sudah sering membantu KPK dalam penanganan perkara rasuah. Salah satunya, kasus korupsi pengadaan mesin pesawat Garuda dan korupsi KTP elektronik.
Itu semua indikasi penting bahwa ibarat jamuan makan malam, hidangan sudah tersedia. Jangan sampai pernyataan ‘surga bagi koruptor’ seperti menarik taplak meja yang di atasnya telah berjajar rapi hidangan tadi. Mudah-mudahan pernyataan itu dipahami oleh Singapura sekadar ‘menumpahkan minuman’: mengganggu, tapi tak sampai membuat hidangan berantakan dengan piring-piring yang pecah.
Ke depan, gaya berkomunikasi semacam ini tidak boleh diulangi lagi oleh pejabat ataupun penegak hukum. Jika mau berkeluh kesah, sampaikan secara tertutup kepada para diplomat kita, dubes yang ada di negeri jiran, atau ke Kementerian Luar Negeri.
Ketimbang mengumbar pernyataan yang menyalahkan dan melukai negara lain, lebih bijak bila pemburu koruptor mengasah taring, meng-upgrade senjata, memodifikasi strategi untuk menekuk biang korupsi. Tidak usah pedulikan ada atau tidak surga bagi koruptor.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved