Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
SAYA tidak kaget saat Transparansi Internasional Indonesia (TII) mengumumkan bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) kita jatuh: dari poin 40 di 2019 menjadi 37 di 2020. Karena survei TII yang diumumkan akhir bulan lalu, itu bersumber dari persepsi, wajar belaka bila hasilnya tidak melulu mencerminkan fakta.
Kalau ada yang menggugat, ‘Lo, bukannya Komisi Pemberantasan Korupsi tetap garang menangkapi pejabat, bahkan dua menteri? Kok tetap saja dianggap perang melawan korupsi melempem?’, jawabnya simpel: karena persepsi berbeda dengan fakta.
Persepsi itu kesan. Ia proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian dengan bantuan indra. Dalam bahasa psikologi, persepsi timbul karena adanya respons terhadap stimulus, sedangkan fakta merupakan kenyataan yang sulit dibantah kebenarannya.
Namun, meremehkan total persepsi tentang korupsi bisa berujung kerusakan. Survei TII bahwa indeks korupsi kita jatuh amat telak dalam 20 tahun terakhir jelas sinyal dini untuk bergegas memperbaiki metode dan strategi.
Saat sebelumnya kita sudah nyaman di rangking 85, lalu tiba-tiba ‘longsor’ ke peringkat 102 akibat nilai indeks jatuh 3 poin dalam seketika, maka itu peringatan keras. Hasil tersebut menjauh dari nilai 45 sebagai nilai rata-rata negara di kawasan Asia Pasifik, serta nilai 43, nilai rata-rata indeks persepsi korupsi global.
Sekali lagi, kendati survei TII itu persepsi, tapi hasil persepsi tersebut tetap mengkhawatirkan. Apalagi, riwayat data menunjukkan penurunan kali ini merupakan yang tertinggi sejak kita memasuki transisi demokrasi. Sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid, IPK Indonesia terus naik meski tipis, kecuali sekali di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sempat turun 1 poin (2006-2007). Lalu, naik kembali dengan lonjakan 3 poin pada 2008. Jadi, inilah kali pertama IPK Indonesia anjlok langsung 3 poin.
Muncul pertanyaan, mengapa pemberantasan korupsi belum kunjung membuat jeri? Ada yang menghubungkan dengan hukuman ringan para hakim terhadap koruptor jadi biangnya. Hasil analisis Indonesia Corruption Watch menunjukkan ratarata vonis hakim terhadap koruptor hanya 3 tahun.
Pengadilan tingkat pertama menyidangkan 838 perkara korupsi dengan rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan. Pengadilan Tinggi menyidangkan 162 perkara. Rata-rata vonis dari putusan banding, yaitu 3 tahun 6 bulan.
Di tingkat peninjauan kembali (PK) atau kasasi pada Mahkamah Agung, terdapat 8 perkara yang disidangkan dengan ratarata vonis 4 tahun 8 bulan.
Saya setuju hukuman ringan atas koruptor menjadi musabab sepinya efek jera. Namun, itu bukan satu-satunya. Desain sistem pencegahan korupsi juga banyak menyisakan celah. Celakanya, ada kesan celah itu ‘sengaja’ dibiarkan agar praktik di ruang gelap tidak segera berlalu.
Proses lelang proyek dari penawaran hingga penentuan secara daring, misalnya, hampir selalu tidak mulus. Ada saja alasannya: dari infrastruktur yang belum siap lah, tenaga yang belum mumpuni lah, darurat lah. Padahal, sistem tersebut didesain untuk menghindari kontak langsung antara penawar proyek dan pemberi proyek agar tidak terjadi kongkalikong.
Sistem pencegahan korupsi belum bisa menghentikan keserakahan, yang dari sananya susah hilang sampai ia terbaring di sebelah ajal. Keserakahan makin menjadi-jadi saat gengsi dan hal-hal yang diyakini sebagai pencapaian ‘prestisius’ bisa diraih.
Apa perlunya pejabat dengan jam Rolex, baju Swiss Army, tas Hermes, dan sepatu Louis Vuitton, yang total jenderal harganya Rp753,6 juta? Apakah jika mengenakan itu semua bisa meningkatkan kinerja? Celakanya, uang untuk membeli barang mewah tersebut diduga dikumpulkan dari rasuah. Ada pula yang fasih berbicara tentang hubungan korupsi dan keserakahan, eh tak tahunya ia pula yang memimpin ‘penjarahan’ dana bantuan sosial negara untuk korban pandemi. Inilah yang dikhawatirkan fi lsuf tersohor Plato sebagai ‘kekayaan dan kemewahan yang mengancam’. Plato berpandangan setiap orang bisa hidup sejahtera secara merata, karena itu manusia perlu dan berkewajiban mengendalikan keserakahannya dalam memenuhi semua keinginan yang melebihi kewajaran.
Sejalan dengan pandangan gurunya itu, Aristoteles menganggap bahwa kebutuhan manusia tidak terlalu banyak, tetapi keinginannyalah yang relatif tidak terbatas. Desain sistem pencegahan lah yang bakal mengeremnya, agar persepsi perang terhadap korupsi tidak muram lagi, agar koruptor benar-benar jeri.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved