Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
SEJARAH terus dipergunjingkan hari-hari ini. Ada yang bicara versi-versi dalam sejarah, seperti mempertanyakan siapa saja yang terlibat dalam apa yang disebut sebagai Gerakan 30 September. Ada yang mengaitkan dengan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga ada yang meributkan soal sejarah yang diwacanakan bukan lagi menjadi mata pelajaran wajib di SMA.
Kendati locus delicti-nya berbeda-beda, secara umum bisa disimpulkan dalam frasa ‘meringkas sejarah’. Ada pula yang berolok-olok dengan menyebut beragam aksi tersebut dengan kalimat ‘meringkus sejarah’.
Dalam soal versi sejarah, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo sangat getol memanfaatkan momentum September sebagai bulan ‘kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI’. Isu itu bahkan ia kait-kaitkan dengan pencopotan dirinya dari jabatan Panglima TNI. Sang jenderal berupaya meyakinkan publik bahwa ajakannya untuk nonton bareng film G-30-S/PKI membuat simpatisan PKI gerah lalu berujung pada pencopotan dirinya.
Tapi, apakah logika konspiratif yang dibangun Gatot bahwa ia diganti karena getol mengajak publik nobar ialah fakta? Hingga detik ini tidak ada penjelasan yang memadai, apalagi meyakinkan.
Fakta yang terang-benderang ialah saat Presiden Joko Widodo melantik Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI menggantikan dirinya pada 8 Desember 2017, Gatot legawa. Saat itu ia mengatakan, “Kita jangan melihat akhirnya, tapi seharusnya tanya, dong, berapa lama saya menjabat. Saya menjabat dua tahun lebih. Jadi, ya, sudah sewajarnya. Ini positif.”
Begitu pula dengan isu kebangkitan PKI yang kerap Gatot dan sejumlah kalangan gaungkan. Sejarah yang masih menyediakan banyak versi itu hendak ‘diringkas’ menjadi satu versi: bahaya laten PKI. Apakah peringkasan itu berhasil membuat publik percaya?
Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) justru menggambarkan sebaliknya, yakni publik sudah tidak tertarik dengan isu kebangkitan PKI. Hasil survei menunjukkan sejak 2016, persentase yang percaya dengan isu kebangkitan PKI hanya di kisaran 10%-16%.
Survei terbaru, yang dilakukan SMRC terhadap 1.203 responden pada 23 hingga 26 September 2020, menunjukkan dari 36% responden yang mengetahui isu kebangkitan PKI, hanya 14% yang setuju dengan kebenaran isu tersebut. Hampir 61% menyatakan tidak percaya.
Mengapa minat masyarakat terhadap isu kebangkitan PKI minim? Dari survei itu tergambar bahwa publik sudah makin tahu dan belajar beragam informasi yang mereka dapatkan dari sumber-sumber yang mereka percayai. Walhasil, mereka sudah lebih ‘melek sejarah’.
Dengan belajar sejarah, mereka tidak lagi menarik kesimpulan secara melompat. Melek sejarah membuat persepsi bahwa sejarah penuh dengan perdebatan tentang masa lalu, banyak versi, ada intervensi, tidak futuristik, sukar maju, bisa dihindari. Kesimpulannya, anggapan bahwa mata pelajaran sejarah tidak perlu mandatori, tidak usah fardhu ‘ain atau wajib, cukup mubah, alias boleh ya boleh tidak, mesti diluruskan.
Banyak yang khawatir, cara berpikir seperti katak melompat itu pula yang terjadi saat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mewacanakan mata pelajaran sejarah tak lagi wajib untuk siswa SMA dan sederajat. Di kelas 10, sejarah digabung dengan mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Di kelas 11 dan 12, mata pelajaran sejarah hanya masuk kelompok peminatan yang tak bersifat wajib. Hal itu tertuang dalam file sosialisasi Kemendikbud tentang penyederhanaan kurikulum dan assessment nasional, pertengahan bulan lalu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memang sudah ‘mengklarifi kasi’ dengan menggaransi bahwa mata pelajaran sejarah tidak akan dihapus dari bangku SMA. Bahkan, Mas Menteri mencoba meyakinkan publik bahwa ia lahir dari keturunan pejuang sehingga mustahil baginya hendak ‘meringkus’ mata pelajaran sejarah. Tapi, hingga detik ini tidak ada klarifikasi yang clear ihwal rencana memubahkan mata pelajaran sejarah itu.
Walhasil, klarifi asi itu tetap tidak menjelaskan duduk perkara sesungguhnya. Menyederhanakan kurikulum baik adanya untuk mengurangi ‘beban’ murid. Tapi, melakukannya dengan cara meringkas sejarah menjadi mata pelajaran pilihan sama saja menganggap sejarah bukan mata pelajaran penting.
Padahal, kontribusi sejarah bagi peradaban dan beragam keunggulan tidak bisa diremehkan. Itulah mengapa Presiden Pertama RI Soekarno sampai mewanti-wanti agar kita ‘jangan sekali-kali meninggalkan sejarah’. Ahli sejarah dunia Herodotus mengatakan historia vitae magistra (sejarah adalah guru kehidupan). Bahkan, dalam pernyataan lebih keras sejarawan Sartono Kartodirdjo mengatakan ‘manusia yang kehilangan kesadaran sejarah pada dasarnya tidaklah berbeda dengan pasien di rumah sakit jiwa’.
Yang perlu dilakukan ialah justru mendudukkan posisi sejarah sebagai mata pelajaran wajib. Karena wajib, ya, jangan menyusun muatan mata pelajaran itu secara sembarangan, penuh indoktrinasi, banyak hafalan menjenuhkan, bias tafsir tunggal, bias Jawa, dan bias-bias lainnya. Sebaliknya, mata pelajaran sejarah mesti disusun agar tidak sekadar mampu memberikan penjelasan tetang peran manusia, tetapi juga peran keluarga, kerabat, suku bangsa, hingga bangsa.
Intinya, mata pelajaran sejarah harus mampu menjadi guru kehidupan, memperkaya perspektif, memandu arah ke depan, dan tak kalah penting menjaga kewarasan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
DI mata pendukungnya, Jokowi sungguh luar biasa. Buat mereka, Presiden Ke-7 RI itu ialah pemimpin terbaik, tersukses, terhebat, dan ter ter lainnya.
SEORANG teman bilang, ‘bukan Gus Ulil namanya bila tidak menyampaikan pernyataan kontroversial’.
ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
IBU Sud dengan nama asli Saridjah Niung menciptakan lagu Tanah Airku pada 1927. Syairnya punya kekuatan magis, 'Tanah airku tidak kulupakan / ’kan terkenang selama hidupku'.
PEKAN lalu, saya menyimak cerita dari dua pedagang mobil bekas dalam kesempatan berbeda.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved