Headline
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan
Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.
PERSIS di hari pencoblosan Pemilu Presiden, 17 April 2019, satu teman yang kini menjadi wakil menteri menyodorkan kepada saya angka elektabilitas Jokowi-KH Ma’ruf Amin dan Prabowo- Sandi. Waktu itu Tim Kampanye Nasional Jokowi-KH Ma’ruf Amin berkumpul di Djakarta Theater menyaksikan hitung cepat yang ditayangkan semua stasiun televisi.
Angka elektabilitas yang disodorkan kawan saya itu dikonversi dari media sosial. Jokowi-Kiai Ma’ruf Amin memperoleh sekitar 59% suara dan Prabowo-Sandi 41%. Hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel yang terpampang di televisi menunjukkan elektabilitas Jokowi-KH Ma’ruf antara 54%-56% dan Prabowo-Sandi 44%-46%. Saya berpikir andai angka elektabilitas hasil konversi media sosial itu benar, serupa dengan hasil real count KPU nanti, ilmu statistik yang menjadi dasar hitung cepat mesti bubar diganti ilmu utak-atik medsos.
Real count KPU kelak menunjukkan Jokowi-KH Ma’ruf dengan perolehan suara 55,5% mengungguli Prabowo-Sandi dengan perolehan suara 44,5%, tidak berbeda jauh dengan hasil hitung cepat. Ilmu statistik batal bubar.
Saya yang waktu itu menjadi bagian tim kampanye yang mengurusi media arus utama, juga punya angka elektabilitas kedua pasangan yang dikonversi dari pemberitaan di media arus utama. Pada 14 April 2019 atau tiga hari sebelum hari pencoblosan, saya memiliki angka elektabilitas Jokowi-KH Ma’ruf Amin 55,3% dan Prabowo-Sandi 44,7%. Angka yang saya pegang itu tidak berbeda jauh dengan angka hasil hitung cepat. Bahkan angka saya itu ternyata mirip dengan hasil real count KPU, hanya selisih 0,2%.
Sepanjang kampanye Pilpres 2019 angka elektabilitas yang saya miliki, yang merupakan hasil konversi pemberitaan media arus utama itu, berubah-ubah sesuai dengan dinamika politik kala itu. Sebaliknya, angka elektabilitas hasil konversi ‘pemberitaan’ media sosial relatif konsisten, berkisar 59%-62%.
Pengalaman di atas kiranya menunjukkan media arus utama lebih merepresentasikan realitas jika dibandingkan dengan media sosial. Itu karena pemberitaan media arus utama memang berdasarkan fakta, sedangkan pesan melalui media sosial berdasarkan algoritma. Media arus utama menggambarkan apa yang memang terjadi, sedangkan media sosial menggambarkan apa yang diinginkan terjadi.
Terjadi mobilisasi pesan melalui media sosial untuk mencapai apa yang diinginkan terjadi itu. Dalam kasus Pilpres 2019, berlangsung mobilisasi pesan melalui media sosial oleh tim medsos untuk mencapai keinginan mendapat elektabilitas 59% bagi pasangan Jokowi-KH Ma’ruf Amin.
Ramai diberitakan mobilisasi buzzer dan influencer untuk mengampanyekan omnibus law atau RUU Cipta Kerja. Penggunaan buzzer dan influencer itu kiranya demi tercapainya satu keinginan, yakni masyarakat mendukung omnibus law. Alih-alih mendapat dukungan, penggunaan buzzer dan influencer itu dikecam. Bukannya mendapat dukungan, para influencer dan buzzer mendapat perundungan sampai beberapa di antaranya mundur teratur. Entah siapa yang memobilisasi buzzer dan influencer itu, dia melakukan blunder dan menghadirkan backfire.
Indonesia Corruption Watch mencatat pemerintah menghabiskan Rp90 miliar lebih untuk membayar buzzer dan influencer demi menyosialisasikan program-program pemerintah. Para buzzer dan influencer yang umumnya pesohor itu serupa mendapat durian runtuh. Ketika sepi job akibat pandemi covid-19, mereka mendapat job menyosialisasikan program pemerintah melalui media sosial. Alangkah baik hatinya pemerintah memberikan ‘bantuan sosial’ kepada para buzzer itu.
Kita berkomunikasi melalui media sosial umumnya untuk mencari konfirmasi. Kita hanya mencari informasi yang sesuai dengan pikiran dan pendapat kita. Informasi di media sosial yang berbeda atau bertentangan dengan pikiran dan pendapat kita biasanya kita abaikan atau tolak. Itulah sebabnya tujuan bagi terjadinya dukungan masyarakat atas RUU Cipta Kerja dengan memobilisasi buzzer tidak tercapai karena mungkin banyak orang yang sesungguhnya tak setuju dengan rancangan undang-undang tersebut bahkan menyerang balik para buzzer itu.
Komunikasi melalui media arus utama umumnya untuk mencapai diskusi yang berujung pada, dalam istilah filsuf Jerman Jurgen Habermas, kesalingmengertian. Pengelola media mendiskusikan, setidaknya melalui rapat redaksi dan pengeditan, sebelum memutuskan suatu berita dipublikasikan. Dalam pemberitaan di media arus utama ada diskusi, antara lain melalui prinsip cover both side, supaya tidak ada monopoli kebenaran oleh satu narasumber. Pun audiens mencerna atau ‘mendiskusikan’ dengan diri sendiri informasi yang disampaikan melalui media arus utama. Andai sosialisasi omnibus law dilakukan intensif melalui media arus utama, semestinya tercapai kesalingmengertian antara pemerintah dan masyarakat.
Sebaliknya, ada, masih dalam istilah Habermas, monopoli bahkan kolonisasi kebenaran dalam tindakan komunikatif yang dilakukan para buzzer melalui media sosial. Orang biasanya melawan bila dimonopoli dan dikolonisasi. Perlawanan itulah yang dialami para buzzer omnibus law. Tentu boleh saja menggunakan buzzer, tetapi jangan sampai overdosis. Sedikit-sedikit pakai buzzer. Perbanyaklah penggunaan media arus utama. Kurangilah penggunaan buzzer karena itu bisa menjadi blunder dan backfire.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved