Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SEJUMLAH difabel di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggata Timur, mengeluh,
pelaksanaan pemilu terutama suasana di tempat pemungutan suara (TPS) yang diikuti tidak ramah difabel. Bahkan kondisi itu menyurutkan minat difabel untuk menyalurkan hak pilihnya.
Hal tersebut terungkap dalam sarasehan sehari para difabel menghadapi
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 pada November mendatang.
Sarasehan yang di gelar Forum Peduli Kesejahteraan Difable dan Keluarga (FPKDK) Kabupaten Lembata, Jumat (20/9) itu selain dihadiri sejumlah difabel. Hadir pula pihak Bawaslu Kabupaten Lembata.
Baca juga : Penetapan Paslon Jadi Momen Rawan Pilkada
Sahabat difable bernama Patrik dibantu ibunya yang mendampingi berkisah bahwa saat hendak menggunakan suaranya di TPS, dirinya kesulitan karena kondisi TPS yang kurang memungkinkan kursi rodanya bergerak leluasa.
"Saya ikut Pemilu kedua kalinya. Dari rumah dengan perasaan menyenangkan pergi ke TPS. Tapi, di TPS saya mengalami kesulitan karena kursi roda tidak bisa bergerak karena kondisi tanah berlumpur. Saya harus dipapah dan ini bukan situasi yang nyaman buat saya. Kalau begini, saya tidak mau lagi ikut pemilu," ujarnya.
Patrik marah dan mengatakan tidak akan ikut pemilu lagi kalau kondisi TPS tidak ramah untuknya.
Baca juga : Bawaslu: Gerakan Coblos Tiga Paslon Alarm Bagi Penyelenggara
Sahabat difable lainnya, Marlyn, juga menuturkan pengalaman serupa. Adiknya dengan kondisi serupa yakni disabilitas fisik dan harus menggunakan kursi roda bahkan menolak ke TPS. Selain karena kondisi TPS yang tidak nyaman, ia juga tidak pernah keluar rumah karena khawatir harus berhadapan dengan banyak orang.
"Dia biasanya di rumah dan tidak pernah keluar rumah. Bayangkan betapa sulitnya dia dengan mentalnya sendiri berhadapan dengan banyak orang, banyak mata yang melihat, dan ditambah kondisi TPS yang tidak nyaman," ucap Marlyn.
Difable lainnya, Yustina, berharap mereka didahulukan dalam proses pemungutan suara di TPS. Karena kondisi mereka yang tidak bisa diperlakukan sama dengan orang lain.
Baca juga : Sengketa Pilkada Kendal Berlanjut, Dico Yakin Memenangkan Gugatan
"Kalau bisa, kami jangan antri," ujarnya
Adapun Siska, difabel lain lagi kisahnya. Pada Pemilu legislatif Februari 2024 Siska menjadi petugas yang berjaga di meja celup jari setelah pencoblosan. Di TPS tempat Siska bertugas kemudian ditemukan adanya kecurangan dan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Yang memprihatinkan, dirinya tidak lagi dipanggil bertugas tanpa penjelasan. Ia pun tidak mendapat penjelasan alasan dirinya tak dipanggil untuk kembali bertugas dalam PSU itu.
Baca juga : Ketentuan Jika Calon Tunggal Kalah dari Kotak Kosong Akan Dibahas Bersama DPR
"Mudah-mudahan saya jangan dilihat sebagai difable, jadi tidak dianggap," ujar Siska.
Sahabat difabel lainnya, Lorens, bahkan jujur mengatakan tidak ikut mencoblos dalam beberapa kali pemilu. "Saya sangat kecewa karena saya pernah mengajukan proposal ke pemerintah dan DPRD untuk urusan difabel tetapi sampai saat ini tidak ditanggapi. Apakah difabel bukan bagian dari rakyat dan tidak punya hak mendapatkan kemudahan dalam bekerja? Jadi saya tidak ikut pemilu karena itu alasannya," tegasnya.
Sementara salah seorang anggota forum, pendamping difable, Mudapue, mengharapkan sosialisasi tentang pemilu untuk difabel agar bisa dilakukan hingga tingkat desa. Sebab banyak sahabat difabel tinggal di kampung-kampung.
Pendamping difabel, Eta Kleden, juga menegaskan pentingnya TPS mobile untuk pada difabel yang mobilitasnya sangat terbatas dan juga para orang sakit dan paramedis di rumah sakit.
Di hadapan Ketua Forum Peduli Kesejahteraan Difable dan Keluarga (FPKDK) Kabupaten Lembata, sahabat para difabel, Ramsy Langoday, hambatan dalam partisipasi mereka dalam pemilu.
Dalam sesi kegiatan Sosialisasi Pengawasan Pemilu Kepada Difable yang diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Lembata, di Hotel Anissa, Lewoleba, Lembata itu ia berharap, kisah dan curahan hati para difabel dan pendampingnya dapat langsung didengar oleh Bawaslu.
Hal itupun diakui oleh anggota Bawaslu Lembata Muhamad Rifain. Ia menegaskan akan menerima dan membawa saran para difabel beserta pendampingnya untuk menjadi bahan acuan bagi pelaksanaan Pikada 2024 mendatang.
"Kami akan membawa semua soal ini dalam rapat bersama KPU Kabupaten Lembata," ujar Rifai.
Ditegaskannya, difable memiliki hak politik yang sama dengan warga negara umumnya dan karena itu tidak boleh ada diskriminasi terhadap difabel. (PT/J-3)
Anak berkebutuhan khusus (ABK) juga butuh bergaul dan punya ruang yang tidak terbatas.
Wawang Sunarya, seorang yang hidup dengan keterbatasan, tidak menyerah dengan keadaan. Terlahir sebagai difabel, Wawang mampu mengukir prestasi luar biasa dengan kreativitasnya.
Sebelumnya, lembaga ini berada di Program Studi (prodi) Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Betapa pun konstitusi dan berbagai aturan telah memberikan jaminan pemenuhan hak politik difabel/penyandang disabilitas, hak memilih dan dipilih difabel masih sering terlanggar.
Pelibatan penyandang disabilitas dalam pengawasan partisipatif ini bertujuan memastikan bahwa mereka telah terdaftar sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak suaranya.
Hal serupa juga terjadi dalam Pilkada 2024, ketika dua judicial review yang diajukan MK telah menjadi sorotan publik.
KPU selalu siap untuk memberikan pemahaman politik apabila dibutuhkan oleh parpol ataupun dari Pemkab Bandung
Maman juga merasa khawatir peretasan data itu akan berdampak pada terganggunya proses transparansi pesta demokrasi tahun depan
Kunjungan ini juga dalam rangka supervisi dan monitoring kesiapan menuju Pemilu 2024.
KPU Purwakarta memberikan batas waktu hingga 7 Januari 2024 sebagai akhir pelaporan LADK bagi peserta pemilu unsur parpol dan DPD RI.
KOMISI Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jawa Barat, memastikan 140.457 tempat pemungutan suara (TPS) yang ada di Jabar menggelar pemungutan suara hari ini, Rabu (14/2).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved