Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PEMERINGKATAN perguruan tinggi, baik di level nasional maupun global, selalu menjadi isu hangat dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, ia dianggap sebagai alat ukur kualitas yang berguna. Di sisi lain, ia kerap memicu kontroversi karena dianggap tidak adil, bias, dan tidak relevan dengan kebutuhan lokal. Kini, muncul wacana penghapusan sistem pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia. Langkah ini, meski terlihat menggoda, membutuhkan refleksi mendalam.
Dalam perspektif manajemen pendidikan tinggi, kita melihat bahwa pemeringkatan bukan sekadar soal angka atau posisi rangking, pengakuan atas kerja keras institusi, kesempatan untuk berkompetisi secara sehat, dan daya tarik bagi kolaborasi internasional juga terefleksikan dari suatu pemeringkatan. Namun, apakah pemeringkatan benar-benar mencerminkan kualitas pendidikan atau kongruen dengan kecemerlangan akademik?
PEMERINGKATAN DAN TANTANGANNYA
Sejak pertama kali diperkenalkan, sistem pemeringkatan seperti QS World University Rankings atau Times Higher Education (THE) telah menjadi patokan global. Dengan indikator seperti jumlah publikasi, reputasi akademik, dan kolaborasi internasional, pemeringkatan itu memberikan gambaran kinerja institusi pendidikan tinggi. Namun, tidak dapat disangkal bahwa ia juga membawa sejumlah masalah.
Bias terhadap negara maju dan universitas besar menjadi kritik yang terus disuarakan. Indikator reputasi akademik, misalnya, cenderung menguntungkan institusi yang sudah terkenal di dunia Barat, sekaligus mengesampingkan perguruan tinggi di negara berkembang seperti Indonesia. Universitas-universitas kecil di daerah, meskipun memiliki kontribusi signifikan untuk komunitas lokal, sering kali tertinggal dalam pemeringkatan itu karena tidak memiliki sumber daya yang sama dengan universitas besar.
Lebih dari itu, tekanan untuk meraih peringkat tinggi sering membuat perguruan tinggi mengabaikan kontribusi sosial dan misinya di tingkat lokal. Sebagai contoh, perguruan tinggi mungkin lebih memilih fokus pada publikasi di jurnal internasional ketimbang mendalami riset yang relevan dengan permasalahan masyarakat setempat. Akibatnya, esensi Tridharma Perguruan Tinggi, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, berisiko tereduksi hanya menjadi angka-angka di kertas pemeringkatan.
MENGHAPUS PEMERINGKATAN: SOLUSI ATAU JALAN PINTAS?
Menghapus pemeringkatan perguruan tinggi terdengar seperti solusi instan atas masalah ini. Tanpa tekanan peringkat, perguruan tinggi bisa lebih bebas menentukan prioritasnya, seperti meningkatkan relevansi lokal atau fokus pada peningkatan kualitas pengajaran. Namun, benarkah langkah itu akan menyelesaikan persoalan?
Realitasnya, penghapusan pemeringkatan tanpa kerangka evaluasi baru justru berpotensi menciptakan kekosongan dalam pengukuran kinerja institusi. Tanpa indikator yang jelas, bagaimana kita tahu perguruan tinggi di Indonesia bergerak ke arah yang benar? Bagaimana institusi dapat mengevaluasi keberhasilannya, atau bahkan menarik calon mahasiswa yang berbakat?
Sebaliknya, alih-alih menghapus, reformasi sistem pemeringkatan ialah pilihan yang lebih realistis dan strategis. Pendekatan berbasis capaian, seperti yang diusulkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek) dapat menjadi jalan tengah. Sistem itu menekankan keunikan dan kontribusi lokal perguruan tinggi, bukan sekadar mengejar indikator global. Dengan fokus pada Tridharma Perguruan Tinggi, misalnya, indikator dapat mencakup dampak sosial dari pengabdian masyarakat, kualitas pendidikan yang terjangkau, hingga inovasi berbasis lokal.
TRANSFORMASI SISTEM PEMERINGKATAN PERGURUAN TINGGI
Sistem pemeringkatan perguruan tinggi di Indonesia memerlukan transformasi mendalam agar lebih relevan dengan kebutuhan lokal dan mencerminkan keadilan bagi seluruh institusi pendidikan tinggi. Transformasi itu melibatkan perubahan dalam pendekatan evaluasi, dengan memasukkan indikator yang lebih kontekstual dan menggambarkan misi serta kontribusi perguruan tinggi terhadap masyarakat Indonesia.
Indikator-indikator, seperti keberhasilan lulusan di pasar tenaga kerja domestik yang sejalan dengan arah pendidikan tinggi Indonesia sebagaimana yang disampaikan Mendikti-Saintek baru-baru ini, agar relevan dengan kebutuhan industri dan terserap di dunia kerja, kontribusi pada pengabdian masyarakat, dan inovasi yang menjawab tantangan nasional harus menjadi bagian utama dari penilaian. Dengan cara itu, pemeringkatan dapat mencerminkan peran nyata perguruan tinggi dalam pembangunan bangsa, bukan hanya pencapaian kuantitatif.
Selain itu, transformasi sistem pemeringkatan harus mengakui perbedaan mendasar antara berbagai jenis dan ukuran institusi, dengan memisahkan kategori penilaian untuk universitas besar, kecil, dan institusi berbasis vokasi. Pemisahan itu memungkinkan institusi untuk bersaing lebih adil, memberikan ruang bagi masing-masing untuk unggul sesuai dengan potensi dan misi mereka.
Lebih penting lagi, sistem itu harus mengutamakan pengukuran dampak jangka panjang, yang mencakup kontribusi perguruan tinggi terhadap pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Transformasi itu tidak akan berhasil tanpa dukungan penuh dari pemerintah, yang harus memperkuat kapasitas penelitian, memperluas kolaborasi internasional, dan menyediakan pendanaan yang memadai. Dengan ekosistem yang kondusif dan kebijakan yang mendukung, perguruan tinggi Indonesia dapat bersaing di kancah global dengan tetap menjaga relevansi lokal yang menjadi kekuatan utamanya.
MENGUBAH FOKUS, MEMPERBAIKI SISTEM
Menghapus pemeringkatan tanpa solusi pengganti ialah langkah yang terlalu gegabah. Pemeringkatan memang memiliki kekurangan, tetapi dengan reformasi yang tepat, sistem itu dapat menjadi alat yang kuat untuk mendorong inovasi dan akuntabilitas. Pemeringkatan perguruan tinggi tidak harus menjadi kompetisi yang merugikan. Sebaliknya, ia bisa menjadi instrumen yang menginspirasi, mendorong setiap institusi untuk tumbuh sesuai potensinya, dan berkontribusi nyata bagi masyarakat.
Karena pada akhirnya kita sepakati bahwa tujuan utama pendidikan tinggi bukanlah sekadar mendaki tangga peringkat global, melainkan juga menciptakan dampak positif yang dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Dengan reformasi sistem yang lebih relevan, perguruan tinggi di Indonesia dapat menemukan keseimbangan antara reputasi global dan misi lokal yang tak boleh diabaikan. Jika itu terjadi, boleh jadi pemeringkatan dapat dikatakan sebidang (kongruen) dengan kualitas PT dalam pelaksanaan Tridharma-nya.
Program ini bisa dijadikan momentum bagi perguruan tinggi guna membangun sinergi lintas negara dalam bentuk kerja sama akademik internasional.
Perguruan tinggi di Indonesia didorong meningkatkan upayanya dalam internasionalisasi. Ini diwujudkan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila dengan universitas dari Filipina.
STIH Adhyaksa telah menjalin kerja sama pula dengan Pemerintah Daerah Probolinggo dan dalam waktu akan menjalan kerja sama dengan Pemerintah Daerah Lahat.
Infrastruktur kampus harus mendukung proses belajar yang adaptif, berbasis teknologi, dan kolaboratif sehingga mampu mencetak lulusan yang siap bersaing secara global.
Menurutnya, pendekatan link and match amat penting agar mahasiswa dan alumni UBSI dapat terserap dengan baik di pasar kerja, terutama dalam skala internasional.
Ajang ilmiah internasional bergengsi ini menjadi puncak rangkaian WSEEC ke-5 yang mengusung format hybrid untuk menjangkau peserta global secara inklusif.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved