Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Babak Baru Suriah dan Sikap Indonesia

Muhamad Syauqillah Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI
20/12/2024 05:00
Babak Baru Suriah dan Sikap Indonesia
(Dok. Pribadi)

8 DESEMBER 2024 menjadi momentum bersejarah bagi Suriah, rezim Assad yang berkuasa sejak mendiang Hafez Assad 1971 jatuh dari kekuasaan. Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil merebut kuasa dan membentuk pemerintahan transisi hingga Maret 2025.

HTS sebagai pemegang kuasa masih tertera dalam daftar organisasi teroris Persatuan Bangsa-Bangsa. Pimpinan HTS Mohammad al-Julani ialah sosok yang masa lalunya memiliki relasi kuat dengan Al Qaeda. Bernama lengkap Ahmad al-Julani, Abu Mohammad atau Ahmad al-Shara berasal dari keluarga yang tinggal di dataran tinggi Golan.

Al-Julani bergabung dengan organisasi Jihad wa Al-Tauhid di bawah pimpinan Abu Musab al-Zarqawi, pernah ditangkap pada 2005 di Mosul oleh Amerika dan dipenjara di Irak Selatan. Al-Julani pernah berkiprah di Hurras Al Diin. Saat konflik Suriah pecah, Al-Julani bergabung bersama Jabhah Nusra yang kemudian bermetamorfosis menjadi Ahrar Syam. Pada 2016, Al-Julani mengubah Jabhah Nusra menjadi Jabhah Fatah Al Syam yang masih berafiliasi dengan Al Qaeda dan diklaim sebagai kelompok ekstremis yang paling aktif di Suriah (Zahran, 2022).

Al-Julani keluar dari Al Qaeda karena kecewa terhadap petinggi Al Qaeda. Melepaskan diri dari induk semangnya Al Qaeda ialah klaim yang disampaikan HTS. Pembuktian lepasnya dari Al Qaeda dapat dilihat dari gerak-gerik Al-Julani yang bekerja sama dengan proxy Barat. Hal tersebut menyalahi doktrin Al Qaeda tentang kerja sama dengan pihak kafir.

Dalam buku Al Qaul Muhtar Fi Hukmi Istianah bi Al Kuffar, yang ditulis oleh Hamud Bin Aqla, Osama bin Laden memberikan kata pengantar dalam buku tersebut yang berisi semangat perlawanan terhadap Barat seraya mengutip ajaran agama, intinya tidak diperbolehkan kerja sama dalam bentuk apa pun dengan pihak kafir.

Apabila kita tarik secara historis, apa yang terjadi di Suriah hari ini mirip dengan Taliban di Afghanistan. Taliban bekerja sama dengan proxy Barat untuk melawan kekuasaan Uni Soviet. HTS pun demikian, bekerja sama dengan Barat sebagai bagian dari strategi menguasai Suriah. Apakah dekat dengan Barat saat itu tabiat kekerasan Taliban itu menghilang dan berganti menjadi humanis? Tidak.

Lalu, bagaimana dengan HTS? Apakah dengan dukungan proxy Barat akan bertransformasi menjadi kekuatan politik yang akomodatif? Pernyataan politik saat HTS akan menjadikan Suriah sebagai negara inklusif, berjanji melindungi semua kelompok yang ada, masih memerlukan pembuktian secara realitas politik masa depan.

MI/Duta

 

Kompleksitas konflik Suriah

Keberhasilan HTS terjadi karena absennya Rusia, sekutu utama pertahanan rezim Assad. Maklum saja hingga saat ini konflik Ukraina dan Rusia belum menemui babak akhir, masih jauh dari kata damai.

Minimnya keterlibatan Rusia, pada bagian lain memunculkan peran Turki, tidak heran jika kemudian Kepala Milli Istihbarat Teskilati (MIT)/Badan Intelijen Negara Turki, Ibrahim Kalin, berada di Damaskus pada 12 Desember 2024 dan bertemu Al-Julani dan Muhammad al-Basir.

Salah satu argumen mengapa Turki terlibat aktif di Suriah ialah isu pengungsi, jumlah pengungsi Suriah menurut UNHCR berkisar pada angka 3,5 juta jiwa. Angka itu setidaknya berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial, dan politik di Turki, apalagi sejak 2018 Turki mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Pasca-Assad, rakyat Suriah berduyun-duyun kembali ke tanah air mereka.

Kejatuhan rezim Assad berawal saat musim semi Arab 2011, cukup jauh rentang sejak bergeloranya revolusi rakyat di kawasan Timur Tengah. Saat itu, rezim Tunisia, Mesir, Libia, hingga Yaman tidak kuasa menghindar dan akhirnya jatuh.

Saat ini negara-negara tersebut masih menata pengelolaan negara, bahkan berada dalam konflik internal. Sementara itu, Suriah meminjam bahasa Pareto, baru saja memulai sirkulasi elite, HTS yang notabenenya ialah kelompok teror berubah menjadi rulling class.

HTS sebagai faksi elite penguasa harus menghadapi dinamika faksi-faksi; faksi SDF-Kurdi, faksi ISIS, dan faksi loyalis rezim yang masih belum diketahui posisinya pasca-Assad mendapatkan suaka dari Rusia.

Kompleksitas lain yang telah terjadi di Suriah ialah pengungsi yang berasal dari simpatisan ISIS dan keluarga mereka dari berbagai negara. Kamp pengungsian di Al Hol dan Al Roj dikuasai oleh Syrian Demokratik Forces (SDF), milisi Kurdi. Di negara tempat asalnya, masalah repatriasi simpatisan ISIS memicu perdebatan tentang status kewarganegaraan dan potensi ancaman apabila simpatisan ISIS kembali ke negara mereka.

Rembesan konflik bukan hanya terjadi di kawasan Timur Tengah, angka serangan teror di berbagai kawasan seperti Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara yang dilakukan oleh simpatisan ISIS cukup mengkhawatirkan. Implementasi close door policy oleh Turki, penutupan perbatasan membuat simpatisan ISIS tidak bisa menyalurkan energi ekstremnya, dan pimpinannya menyerukan aksi teror di negara masing-masing.

 

Akankah HTS bertransformasi

Ada keraguan terhadap HTS dapat bertransformasi sebagai kekuatan politik yang akomodatif, geneologi kelompok yang berakar pada Al Qaeda menjadi salah satu parameternya. Beberapa hari setelah penguasaan Damaskus, terjadi insiden pelarangan ajaran agama yang selama ini dilaksanakan di salah satu komunitas sufi. Gagasan puritan yang menjadi akar ideologis kelompok teror tampaknya sulit untuk dilepaskan sebagai identitas keagamaan di antara heterogenitas komunitas keagamaan di Suriah.

Transformasi budaya kekerasan menuju budaya yang berperadaban tentu tidak mudah, kemampuan untuk menerima kritik dan mengakomodasi segala bentuk perbedaan menjadi tantangan. Al-Julani dan HTS ialah entitas yang dibesarkan dalam atmosfer konflik, kelompok Jihad wal Tauhid yang menjadi cikal-bakal ISIS, adalah kelompok yang terlibat dalam aksi kekerasan ekstrem yang terjadi di Suriah, kita perlu ingat bagaimana perlakuan ISIS terhadap minoritas Yazidi.

Menoleh transisi kekuasaan, dinamika politik internal beberapa negara pascamusim semi Arab menemui berbagai kendala, dari sisi stabilitas ekonomi, politik, hingga stabilitas keamanan. Berbagai kelompok atau faksi yang bertarung untuk kekuasaan tidak begitu mudah untuk disatukan, apalagi tiap-tiap faksi memiliki corak ideologi politik yang berbeda.

Belum lagi problem mendasar dari Islam politik dalam konteks politik ialah kemampuan untuk mengakomodasi pihak lain untuk kepentingan bersama. Sebagai contoh, Ikhwanul Muslimin di Mesir yang berkuasa pasca-Husni Mubarak ternyata tidak mampu mempertahankan kekuasaan di Mesir.

Saat ini, Suriah terbagi menjadi beberapa faksi: kelompok HTS, kelompok ISIS, kelompok Kurdi, kelompok kposisi, dan mungkin masih ada juga loyalis Assad. Dengan fakta demikian, mampukah HTS menjadi kelompok yang mampu menengahi berbagai macam kepentingan yang ada, dari sisi ajaran agama, mampukah HTS melindungi kelompok sufi, alawi, Kristen Suryani dan Yazidi. Bagaimana menjaga kenyamanan menjalankan keyakinan di Suriah di tengah pemahaman HTS yang tidak jauh dari kelompok Al Qaeda. Mampukah HTS melepaskan diri doktrin hakimiyah dan al-walla-al-barra, doktrin yang melekat di kelompok teror bercorak keagamaan.

Bagaimana jawabannya, tentunya kita masih menunggu akselerasi kebijakan yang akan dilakukan Al-Julani dan implementasi kebijakannya di Suriah pada masa mendatang.

 

Sikap pemerintah dan publik Indonesia

Propaganda sejak kejatuhan Assad begitu masif. Kelompok pengusung ideologi khilafah menyambut euforia. Sayangnya, ada pihak yang selama ini dibina dalam program deradikalisasi sangat antusias menyambut kemenangan HTS. Padahal HTS mendapatkan dukungan dari Israel untuk merebut kekuasaan, entitas negara yang selama ini menjadi sasaran kritik berbagai kelompok pendukung HTS di Indonesia.

Publik Indonesia perlu tahu bahwa apa yang terjadi di Suriah ialah konflik yang melibatkan banyak faksi, termasuk faksi ISIS dan Al Qaeda yang menggunakan narasi keagamaan untuk mendapatkan simpatisan dari luar negeri. Oleh karena itu, menyikapi dinamika politik internal Suriah, daya kritis publik sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai propaganda.

Pada bagian lain, keberadaan HTS sebagai elite penguasa dengan latar belakang kelompok teror menjadi tantangan bagi PBB dan entitas negara mana pun, termasuk Indonesia, apalagi diketahui ada keterlibatan warga negara asal Indonesia di HTS.

Dalam kondisi demikian, pemerintah perlu menyusun kerangka mitigasi jika PBB mencoret atau tidak HTS dari daftar lis organisasi teror. Pencoretan tentunya akan berdampak luas bagi penetapan daftar terduga teroris dan organisasi teror (DTTOT), pendanaan terorisme, penetapan individu menjadi bagian kelompok teroris, penetapan foreign terrorist fighters, indikator deradikalisasi, kemungkinan penumpang gelap simpatisan ISIS yang menggunakan momen HTS untuk kembali ke Indonesia, termasuk juga dalam jangka panjang mimikri gerakan teror di Indonesia atas keberhasilan HTS dan Taliban.

Sikap resmi pemerintah saat ini sangat dibutuhkan agar kerangka kebijakan penanganan terorisme ke depan dapat dirumuskan dengan mempertimbangkan berbagai faktor. Bagi publik di Indonesia, hal tersebut dapat mencegah preseden masa lalu. Jika tidak, propaganda terus berlanjut dan kita akan menghadapi gelombang kedua WNI ke Suriah, semoga saja tidak terjadi.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya