Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

SD Inpres Dihina, tapi PPDB Zonasi Dibiarkan Kisruh

Indra Charismiadji Pemerhati dan praktisi pendidikan dari Vox Populi Institute Indonesia
18/7/2023 05:00
SD Inpres Dihina, tapi PPDB Zonasi Dibiarkan Kisruh
Ilustrasi MI(MI/Seno)

BEBERAPA hari yang lalu, salah seorang pimpinan Komisi X DPR RI mengirimkan tautan siaran langsung rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kemendikbud-Ristek melalui pesan Whatsapp. RDP ini, diselenggarakan karena penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi kembali menimbulkan kegelisahan dan kegaduhan di tengah masyarakat.

Alih-alih pelaksanaan PPDB zonasi semakin baik, malahan menjadi semakin buruk. Banyak sekali terjadi praktik kecurangan, seperti suap, pungutan liar, pemalsuan dokumen kependudukan, dan lain sebagainya. Aparat penegak hukum juga sudah mulai menerima berbagai laporan tentang hal itu.

Penulis langsung merespons dengan mengirimkan pesan singkat yang isinya,' Tolong ditanyakan ke pihak pemerintah, kapan pemerintah akan memenuhi kewajiban konstitusional seperti yang tercantum dalam Pasal 31 ayat 2 UUD 1945? Bunyinya, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ini adalah ujung pangkal dari polemik PPDB yang tak kunjung tuntas. Jika pemerintah taat konstitusi maka problematika ini akan terselesaikan dengan sendirinya.'

 

Meluruskan jalan, menghadirkan keadilan sosial

Fenomena yang muncul dengan polemik PPDB zonasi itu sangat memprihatinkan karena bertentangan dari esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan harusnya mengajarkan dan menumbuhkan integritas, kejujuran, serta kerja keras bagi para peserta didik. Ironisnya, untuk mulai masuk sekolah saja, generasi penerus kita disuguhi perilaku koruptif dari pihak sekolah, pemerintah, termasuk orangtuanya sendiri.

Aneh juga jika kita sering mengeluh kenapa korupsi sulit sekali hilang dari Indonesia. Padahal, semua itu karena kita mengajarkan anak-anak kita untuk korupsi sejak di bangku SD. Hal itu berlanjut terus ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan terjadi juga di dunia kerja. Hal itu jelas bertolak belakang dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sementara itu, PPDB zonasi tersebut tetap memunculkan keluhan masyarakat yang sama sejak diluncurkan pada 2017 yang lalu melalui Permendikbud No 17, seperti rasa ketidakadilan karena jarak dekat, tapi tidak diterima, tidak dapat masuk ke sekolah yang diinginkan (biasanya dianggap favorit) walaupun peserta didiknya berprestasi dan alasan-alasan lainnya.

Peraturan yang sudah tujuh tahun berjalan, dengan masalah yang sama, tetapi tidak ada upaya untuk memperbaikinya dari sisi pemerintah. Buktinya, sampai hari ini tidak ada pernyataan resmi, baik dari Presiden maupun Mendikbud-Ristek mengenai hal ini, walaupun warganet sudah mencaci maki Mendikbud-Ristek melalui media sosialnya.

Polemik PPDB itu sebenarnya dapat dituntaskan apabila pemerintah sebagai penanggung jawab urusan mencerdaskan kehidupan bangsa taat pada konstitusi. Faktanya, menurut data BPS berdasarkan angka partisipasi murni (APM), sampai hari ini masih ada hampir 3% anak usia SD yang belum bersekolah dan hampir 20% anak usia SMP yang belum bersekolah. Itu belum termasuk hampir 40% anak usian SMA/K yang belum bersekolah. Di antara yang telah bersekolah masih banyak yang belajar di sekolah swasta tanpa bantuan pemerintah.

Melihat kondisi seperti itu, seharusnya pemerintah memprioritaskan pemenuhan kewajiban konstitusional tersebut dengan membangun sekolah-sekolah yang jumlahnya sesuai dengan jumlah warga negara usia sekolah dengan akses yang mudah dan membiayai kebutuhan-kebutuhan operasional sekolah secara utuh. Jika jumlah bangku yang tersedia untuk seluruh usia sekolah cukup dan seluruh pembiayaan operasional sekolah ditanggung pemerintah, polemik PPDB otomatis akan berhenti dengan sendirinya.

Dari pernyataan dan gestur Presiden Joko Widodo, sepertinya tidak ada upaya nyata untuk segera menuntaskan permasalahan itu. Alih-alih memberikan pernyataan untuk mengurangi kegelisahan masyarakat tentang PPDB, Presiden justru mengolok-olok program yang terbukti sukses dalam membuka akses pendidikan, mengurangi buta huruf, dan meningkatkan kemampuan ekonomi rakyat pada era Orde Baru, yaitu program SD inpres, dengan mengindikasikan bahwa kualitas gedungnya buruk.

Keberhasilan itu terangkum dalam penelitian yang dilakukan seorang warga negara Amerika Serikat, Esther Duflo, dan berhasil memenangi hadiah Nobel bidang ekonomi lewat penelitiannya tentang program SD inpres tersebut.

Sayangnya, seperti yang kita semua tahu, fokus pembangunan saat ini lebih memprioritaskan infrastruktur dan IKN. Tulisan ini bukan berarti menolak pembangunan infrastruktur, melainkan agar memprioritaskan pemenuhan kewajiban konstitusional sebelum yang lain. Harus disadari bersama bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia.

 

Sekolah negara dan charter school

Polemik PPDB zonasi tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa ada solusi. Langkah yang dapat dilakukan pemerintah tentunya dimulai dengan mengatur ulang anggaran pendidikan yang pada 2023 ini berjumlah Rp612 triliun dari APBN dan belum termasuk APBD. Secara kuantitatif, penulis yakin bahwa untuk melaksanakan amanat Pasal 31 ayat 2 UUD 1945, anggaran tersebut lebih dari cukup. Hanya, anggaran-anggaran yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pendidikan harus dibuang.

Pembangunan unit sekolah baru, terutama di daerah terpencil, pembangunan sekolah berasrama untuk daerah-daerah yang penduduk yang sedikit, tetapi terpencar akibat kondisi geografis, dan pembangunan, dan pembangunan akses menuju sekolah-sekolah tersebut haruslah digenjot. Kalau perlu, bisa dihidupkan lagi SMP dan SMA/K inpres.

Kemudian sekolah negeri harus berubah menjadi sekolah negara, yang statusnya menjadi satuan kerja (satker) dengan biaya unit per sekolah, bukan per siswa, dan biaya itu harus membiayai semua kegiatan dan operasional yang dibutuhkan. Tidak boleh lagi ada pungutan dalam bentuk apa pun.

Untuk mempercepat proses terbukanya akses pendidikan untuk seluruh warga negara ini, Indonesia perlu mengimplementasikan model sekolah piagam atau charter school. Charter school ialah sekolah milik swasta, manajemen dan personelnya semua swasta, tetapi pembiayaannya 100% dari pemerintah.

Sama kondisinya dengan sekolah negara, di sekolah-sekolah itu tidak boleh ada pungutan apa pun. Mekanisme pembiayaannya menggunakan biaya unit per siswa per tahun yang dihitung cukup untuk membiayai semua kegiatan sekolah. Model sekolah itu sudah banyak dilaksanakan di luar negeri dan berdampak positif pada peningkatan akses layanan pendidikan publik.

Sekolah swasta akan menjadi pilihan bagi peserta didik jika merasa tidak sesuai dengan model pendidikan di sekolah negara maupun sekolah piagam. Sekolah-sekolah swasta tersebut tidak perlu lagi mendapatkan bantuan dari pemerintah sama sekali dan sebaiknya memiliki kebebasan dalam menentukan kurikulum, seperti kurikulum internasional, juga dibiarkan untuk mengembangkan budaya sekolah sendiri.

Sebagai penutup, penulis mengimbau agar masyarakat dapat dengan tegas menuntut hak konstitusionalnya mengenai urusan pendidikan ini. Jangan komplasen dan menganggap bahwa kondisi rebutan sekolah setiap tahun ialah hal yang wajar dan biasa. Kita bersama harus mengingatkan pemerintah untuk melaksanakan amanat UUD 1945 Pasal 31. Ingat saja lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya, 'Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,' bukan 'angunlah kereta cepatnya, bangunlah ibu kotanya'.

 

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya