Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Erick Thohir dan Asa Pecinta Sepak Bola

Akhmad Mustain, Editor Media Indonesia
17/2/2023 22:15

Erick Thohir, prestasi mentereng atau sekedar pendompleng?

Magnet sepak bola di republik ini tidak pernah luntur meskipun tak pernah ada prestasi mentereng yang dicatatkan tim nasional dalam tiga dekade terakhir. Di tingkat ASEAN saja, terakhir Indonesia mampu meraih medali emas cabang olahraga sepak bola 1991.

Lebih memilukan lagi di ajang AFF. Tidak sekalipun negara dengan penduduk terbanyak di ASEAN ini mampu menjuarai dalam 27 tahun sejarah penyelenggaraan Piala AFF. Sepak bola Indonesia hanya riuh dengan segudang persoalan dan tragedi.

Ironis memang, meskipun Timnas Garuda sering terkapar di turnamen-turnamen internasional dan regional, sepak bola tetap menjadi olahraga paling digandrungi di negeri ini.

Dalam survei yang dilakukan Nielsen pada periode 2019-2021,  lalu Januari-April 2022 minat publik Indonesia akan tontonan sepak bola yakni mencapai 69%, terutama ketika menyaksikan timnas Indonesia berlaga.

Artinya jumlah penonton tayangan sepak bola ditaksir mencapai 188,7 juta orang. Statistik di dalam negeri juga menempatkan rating tayangan sepak bola di urutan pertama berdasarkan data Nielsen per 1-30 juni 2022 dengan puncaknya, lagi-lagi ketika timnas Indonesia berlaga.


Inilah magnet sesungguhnya, sepak bola di Indonesia selalu hanya dianggap sebagai komoditas dan ajang mencari panggung untuk sebagian orang.


Sepak bola terus dikapitaliasi baik dari sisi bisnis maupun kepentingan lainnya, termasuk kerap dimanfaatkan oleh para pendompleng sebagai alat untuk mencapai tujuan politik di negeri ini.

Dampaknya, sepak bolanya tidak pernah becus dibenahi. Timnas senior, walaupun diperkuat pemain terbaik dari klub, plus naturalisasi, masih saja kering prestasi. Pembinaan usia dini seakan jalan di tempat, belum lagi urusan mafia sepak bola yang sempat menjerat sejumlah petinggi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.

Urusan kompetisi juga masih amburadul. Terutama usai tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang suporter, praktis hanya liga 1 yang berjalan, tanpa mekanisme degradasi dan promosi karena mandeknya Liga 2.

Namun kini, sepak bola Indonesia diharapkan mampu memasuki fase transformasi usai Kongres Luar Biasa PSSI yang menempatkan dua orang menteri di tampuk supremasi organisasi sepak bola di seluruh Indonesia.Erick Thohir sebagai ketua umum dan Zainuddin Amali menjabat waketum.

Erick menang telak dalam KLBPSSI dengan mengantongi 64 dukungan dari total 86 pemilik hak suara.berbeda dengan Zainuddin yang harus menjalani dua kali pemilihan. Zainuddin awalnya terpilih lalu batal karena pemilihan harus diulang akibat banyak suara hilang. Di pemilihan putaran kedua, dia kalah namun tetap jadi waketum PSSI karena saingannya Yunus Nusi justru mengundurkan diri.

Kembali ke Erick, profilnya memang cukup mentereng. Selain muda, kaya raya, ia juga berpengalaman menjadi presiden sejumlah klub sepak bola bergengsi di dunia. Serta telah terlibat menangani sejumlah klub sepak bola di Tanah Air. Wajar jika publik berharap ada “darah segar” untuk membenahi karut-marut dunia sepak bola di Indonesia.

Bahkan, upaya transformasi sepak bola nasional tersebut telah tercermin dalam lima janji Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI, seperti yang dikutip mediaIndonesia.com.

Pertama, yakni melanjutkan Liga 2 dan Liga 3. Kedua, Indonesia mendunia. Ketiga, Liga 1 pakai VAR. keempat, meningkatkan kualitas wasit. Dan terakhir, membangun training center Timnas Indonesia.

Lima janji yang jika benar-benar dijalankan oleh Erick, tidak hanya akan mengakhiri paceklik gelar timnas Indonesia, namun juga akan membangun peradaban modern sepak bola nasional. Sepak bola yang bermartabat dan menjadi industri besar yang berkontribusi bagi perekonomian Indonesia.

Tetapi, Erick saat ini tidak hanya mendedikasikan dirinya terhadap sepak bola Tanah Air, ia juga memegang jabatan menteri di pemerintahan, seperti Zainuddin Amali juga. Erick saat ini merupakan menteri badan usaha milik negara. Amali sebagai menteri pemuda dan olahraga.

Rangkap jabatan inilah yang sedikit membuat sangsi totalitas Erick untuk perbaikan sepak bola. Artinya fokus Erick tidak akan 100% untuk sepak bola.

Mobilisasi BUMN

Juga soal konflik kepentingan. Kementerian bumn membawahi urusan-urusan yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan pencetak laba bagi negara. Sejumlah perusahaan berpotensi bahkan sudah ada yang bermitra dengan PSSI, seperi Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang merupakan sponsor utama penyelenggaraan Liga 1.

Boleh jadi ke depan sejumlah BUMN akan potensial dimobilisasi untuk mendukung PSSI entah dalam bentuk sponsorship atau model kemitraan yang lain.

Yang kedua, yakni hasrat politik Erick untuk kandidasi Pilpres  2024. Para penggemar sepak bola Tanah Air tentu tidak ingin jabatan ketum PSSI lagi-lagi hanya dipakai untuk kepentingan politik, panggung menuju Pilpres 2024.

Tidak berbeda dengan situasi Amali yang mestinya mengayomi semua cabang olahraga, namun kini masuk dalam kepengurusan federasi sepak bola. Jangan sampai menganakemaskan sepak bola, namun menomorsekiankan cabang olahraga lainnya.

Cukup kiranya Edy Rachmayadi menjadi gambaran bagaimana jabatan tertinggi di federasi sepak bola nasional ini menjadi batu loncatan untuk berkontesasi di panggung politik. Edy juga sempat rangkap jabatan selama empat bulan setengah sebelum akhirnya mundur dari posisi ketua umum PSSI.

Pada kongres PSSI yang digelar di Bali pada 20 Januari 2019, Edy mundur karena menyadari telah gagal menjalankan tugas sebagai pucuk pimpinan di federasi sepakbola Tanah Air itu.

"Ada persoalan yang begitu fenomenal. Dari suporter, pemain, sampai terjadi korban. Ada menyalahi hukum pengaturan skor dan sebagainya. Saya tidak tahu. Tiga puluh dua tahun saya jalani organisasi, PSSI ini paling berat yang saya alami," ujar Edy seperti dikutip mediaIndonesia.com.

Kisah Edy tentu jangan lagi terulang di periode kepemimpinan Erick Thohir kali ini. Dengan janji menterengnya, penggemar sepak bola tentu sangat berharap Erick mampu mewujudkannya. Tidak salah jika misalkan harapan agar Erick 100 persen mendedikasikan diri untuk sepak bola Tanah Air.

Apalagi dengan rangkap jabatan sebagai menteri, selain sulit untuk membagi prioritas, tentu potensi adanya konflik kepentingan sangat besar.

Skeptisisme ini bukanlah bentuk pesimisme terhadap kepemimpinan Erick, termasuk Zainuddin Amali di dalamnya. Namun sebagai pengingat agar sepak bola Indonesia tidak kembali terpuruk, dan benar-benar bisa bangkit.

Para pecinta sepak bola Tanah Air akan menunggu pembuktian Erick, apakah mampu membawa sepak bola Indonesia meraih prestasi mentereng, atau hanya ikut-ikutan menjadi pendompleng untuk kepentingan politik menuju 2024.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya