Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

IKN, Sebuah Masalah Masyarakat Adat

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
14/10/2022 23:30
IKN, Sebuah Masalah Masyarakat Adat
Muhammad Arman(Dok pribadi)

PRESIDEN Jokowi berkali-kali menggunakan simbol dan ritual adat dalam rencana megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Mulai dari pemilihan nama Nusantara itu sendiri, ritual kendi, hingga menghadirkan masyarakat adat dalam prosesi pembangunan IKN. Bahkan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Usep Setiawan pernah menyebut masyarakat adat akan menjadi pahlawan bangsa dan negara, dengan mengikhlaskan wilayah adatnya begitu saja untuk pembangunan IKN (Media Indonesia, 9/4).

Itu semua mengundang pertanyaan; seberapa besar kesungguhan negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat di kawasan IKN?

Kebijakan premium

Sejak awal, megaproyek IKN yang akan menelan biaya Rp466 triliun itu, telah memuat sejumlah persoalan mulai aspek legal, tumpang tindih lahan, dan mengancam ruang hidup masyarakat adat. Dari aspek legal, pembangunan IKN dilegitimasi melalui UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN), beserta peraturan turunannya. Salah satu yang paling krusial adalah Perpres No. 65 tahun 2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di IKN. Baru-baru ini, Jokowi mengintruksikan agar IKN dimasukkan ke Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mempercepat pembangunannya. Artinya, IKN didukung penuh dengan berbagai kebijakan premium.
 
Jejak kebijakan premium dengan mudah dilacak sejak pembentukan UU IKN yang hanya 47 hari. Bandingkan dengan pembahasan RUU Masyarakat Adat yang mandeg sejak 2009 dan hingga saat ini tak kunjung dibahas. Padahal kehadiran UU Masyarakat Adat merupakan hal mendasar untuk memastikan terjaminnya kepastian hukum hak-hak masyarakat adat di dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, seperti PSN IKN. Dari aspek ini saja terlihat bahwa pemerintahan Jokowi tidak memiliki komitmen yang serius untuk melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
 
Memang di dalam ketentuan Pasal 21 UU IKN dan Pasal 4 ayat (3) Perpres 65 tahun 2022, disebutkan bahwa penataan ruang, pertanahan dan pengalihan hak atas tanah, lingkungan hidup, penanggulangan bencana, pertahanan dan keamanan, serta pelepasan kawasan hutan di wilayah IKN akan dilaksanakan dengan memerhatikan dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu atau hak-hak komunal masyarakat adat dan nilai-nilai budaya yang mencerminkan kearifan lokal. Namun pengaturan ini menjadi sangat absurd di tengah kacaunya skema pengakuan hak-hak masyarakat adat di dalam berbagai undang-undang dan kebijakan sektoral. Sekali lagi, pada aspek inilah kehadiran UU Masyarakat Adat menjadi sangat penting.
 
Ketiadaan jaminan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, diperburuk dengan ketentuan Pasal 42 UU IKN yang menyatakan seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dinyatakan tidak berlaku di wilayah IKN. Konsekuensinya, Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur, pun tidak berlaku. Padahal Perda tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat di wilayah IKN.

Kuasa atas wilayah IKN kini sepenuhnya menjadi otoritas eksklusif Pemerintahan Otorita IKN, khususnya kewenangan untuk memberikan perizinan, pengadaan, perolehan dan peralihan hak atas tanah untuk kepentingan persiapan, pembangunan, pemindahan sampai penetapan IKN secara definitif. Sedangkan kewenangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten PPU dan Kabupaten Kukar terbatas hanya untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah dan melakukan pemungutan pajak dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 39 ayat (3) dan (4) UU IKN.

Ironisnya, pemungutan pajak dan retribusi daerah tersebut dilakukan di tengah kegundahan masyarakat adat yang sewaktu-waktu dapat tergusur dari wilayah warisan leluhurnya akibat IKN. Wajah pemerintah daerah setempat kini tak ubahnya seperti penarik upeti pada zaman pemerintahan kolonial di masa lalu.

Persoalan mendasar berikutnya terkait IKN mengenai tumpang-tindih penguasaan lahan, yang hingga saat ini belum ada model penyelesaian konflik yang bisa memastikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat atas wilayah adatnya. 

Koalisi Masyarakat Sipil #BersihkanIndonesia (2019) mencatat, lokasi yang diproyeksikan sebagai IKN telah dipenuhi dengan 162 konsesi seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan, PLTU dan konsesi bisnis lainnya seluas 180 ribu hektare. Data AMAN (2019), mencatat sedikitnya terdapat 13 komunitas masyarakat adat di Kabupaten PPU yang wilayahnya masuk kawasan IKN. Sebelumnya, wilayah ini tumpang tindih dengan 30 ribu ha izin konsesi perkebunan skala besar. 

Fakta tersebut menunjukkan bahwa lokasi IKN bukanlah tanah tidak bertuan. Di atas wilayah tersebut telah didiami oleh berbagai kelompok masyarakat adat secara turun-temurun, juga berbagai macam izin konsesi yang telah menimbulkan konflik tenurial yang berkepanjangan. Mirisnya, pemerintah di dalam berbagai forum-forum resmi bahwa penetapan wilayah IKN sudah clear dan clean.

Genosida budaya

Dampak paling nyata dari pemaksaan megaproyek IKN tentu saja mengancam keberlanjutan hidup masyarakat adat. Dari hasil overlay AMAN atas lampiran Peta Delineasi Kawasan Strategis IKN (2022) menunjukkan terdapat 51 komunitas masyarakat adat di Kabupaten PPU dan Kabupaten Kukar dengan sedikitnya 20 ribu orang yang telah tinggal turun-temurun di wilayah ini akan tergusur.

Secara khusus, wilayah adat Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku di Kabupaten PPU seluas 40.087,61 ha secara keseluruhan masuk ke wilayah pembangunan IKN yang meliputi; 2.616,36 ha untuk kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP), 27.760,04 ha untuk kawasan IKN, dan 9.711,21 ha untuk kawasan perluasan IKN. Di atas wilayah masyarakat adat tersebut sebagian besar kini telah dipasangi patok-patok sebagai KIPP IKN. 

Dampak utama dari pemindahan paksa masyarakat adat dari wilayah leluhurnya secara langsung berakibat pada tercabutnya identitas kultural mereka beserta ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya selama ini. Sebab hingga saat ini belum ada tindakan nyata dari pemerintah yang bisa menjamin masyarakat adat tidak akan tersingkir dari wilayah leluhurnya. Dengan demikian, pemindahan paksa masyarakat adat dari tanah leluhurnya, merupakan bentuk penghancuran budaya mereka secara langsung. 

Pasal 8 Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menyatakan bahwa hak masyarakat adat dan individu untuk tidak menjadi sasaran asimilasi paksa atau penghancuran budaya mereka. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa negara wajib menyediakan mekanisme yang efektif untuk pencegahan dan pemulihan tindakan yang: menghilangkan integritas masyarakat adat sebagai masyarakat yang berbeda; merampas tanah masyarakat adat; memaksa perpindahan penduduk, asimilasi atau integrasi (Sandra Pruim, 2014).

Penghancuran yang sistematis melalui perangkat hukum, seperti yang tampak pada megraproyek IKN, dapat mendorong ke arah genosida budaya terhadap masyarakat adat yang terdampak. Genosida budaya merupakan penghancuran sistematis tradisi, nilai, bahasa, dan elemen lain yang membuat satu kelompok orang berbeda dari yang lain (Raphael Lemkin, 1944)   

Mimpi pemerintah untuk merayakan hari kemerdekaan RI di IKN pada 2024, justru akan menjadi orkestrasi membunuh mimpi dan harapan masyarakat adat untuk tetap hidup eksis merayakan martabat dan identitas mereka yang telah memberi warna khas pada kebudayaan Indonesia. Ini adalah wujud nyata praktik pembangkangan pemerintah terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat, sekaligus menjadikan IKN sebagai proyek pemusnahan keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak-hak tradisionalnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya