Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
SEKALI waktu salah satu tokoh Muhammadiyah, Allahu yarham KH Yunahar Ilyas berseloroh; NU sekarang begitu giat membuka sekolah dan universitas umum. Namun, setelah berjalan sekian lama, ujung-ujungnya jadi pesantren lagi. Sama dengan Muhammadiyah, yang sedang sangat getol mendirikan pesantren, eh lama-lama jadinya sekolah juga.
Anekdot pengundang tawa nan ringan ini sebenarnya mengandung makna mendalam. Paling tidak, itulah sekilas wajah kedua ormas Islam terbesar di Indonesia dalam bidang pendidikan. Seakan-akan baik Nahdlatul Ulama (NU) maupun Muhammadiyah sudah begitu berkelindan dengan karakter yang tak bisa lagi ditawar untuk saling bertukar. Guyonan yang lebih umumnya, Muhammadiyah kerap disebut gudang akademisi dan teknokrat, sedangkan NU adalah rumah besar para kiai dan alim ulama.
Keterbatasan akrobat dalam terobosan pendidikan ini bisa jadi kritik bahwa kedua basis penggerak sosial Tanah Air yang dikenal berkebhinekaan ini menyimpan problem kekakuan yang tidak bisa dielakkan. Apalagi NU, jika ketidakdinamisan karakter itu tetap ditanggapi dengan santai, bisa-bisa justru berbalik menabrak corak khas dakwahnya yang penuh keluwesan.
Bukan sekadar kuantitas
Kesadaran untuk mengejar 'ketertinggalan' NU di bidang ketersediaan aset pendidikan tinggi (dikti) ini sebenarnya sudah muncul dalam satu dekade terakhir. Bahkan, hal itu tampak begitu mencolok di paruh kedua kepimpinan KH Said Aqil Siroj. Pada muktamar ke-34 NU di Lampung akhir 2021, misalnya, Lembaga Perguruan Tinggi NU (LPTNU) melaporkan bahwa jumlah perguruan tinggi di bawah naungannya telah mencapai 274 kampus. Jumlah itu melonjak jauh dari sebelumnya hanya 94 perguruan tinggi.
Sebanyak 84 PTNU dan 15 akademi di dalamnya berada di bawah binaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sementara 190 PTNU lainnya berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Jumlah ratusan unit kelembagaan kampus itu tentu sudah lebih dari cukup. Yang masih menjadi kendala adalah belum ada satu pun universitas NU yang muncul dalam pemeringkat kampus terbaik. Paling tidak, versi Webometrics yang rutin melakukan publikasi setiap Januari dan Juli di setiap tahunnya.
Berbeda dengan Muhammadiyah, dengan total kampus sebanyak 162 perguruan tinggi, beberapa di antaranya justru bertebaran di 100 universitas terbaik di Indonesia ala Webometrics 2021. Bahkan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berhasil menduduki ranking 11 dengan posisi nilai impact sebesar 1.756, openess (2.013), excellence (3.801).
Kampus Muhammadiyah lainnya, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta berada di urutan 31, Universitas Muhammadiyah Surakarta (50), Universitas Muhammadiyah Malang (54), dan Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (69). Mereka berhasil mengalahkan puluhan nama kampus unggulan di Indonesia. Sedangkan perguruan tinggi NU hanya bisa bertengger di luar top 100. Sebut saja, Universitas Alma Ata Yogyakarta yang berada di urutan 129, STAI Indonesia (151), Universitas Sains Al-Qur’an (154), Universitas Wahid Hasyim (163), Universitas Islam Kalimantan (Uniska) M Arsyad al Banjari (171), Universitas Islam Darul Ulum Lamongan (177), Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara (178), Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (201), Universitas Islam Malang (206), serta Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang (381).
Kelola potensi
Setara ungkapan Buya Yunahar, tetapi memiliki sentimen lebih positif adalah pendapat yang pernah disajikan cendekiawan muslim, Nurcholis 'Cak Nur' Madjid. Cak Nur bilang, "Seandainya Indonesia tidak dijajah kaum kolonial, maka lembaga pendidikan yang akan berdiri di Indonesia adalah Kampus Tebu Ireng, Kampus Lirboyo, Kampus Kajen, dan sebagainya."
Anasir Cak Nur itu menegaskan bahwa kampus yang semestinya lahir di Indonesia adalah perguruan tinggi yang mengakar kuat dengan tradisi keilmuan dan menancap dalam kebudayaan Indonesia. Hal ini, persis seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Kampus-kampus bergengsi di sana justru muncul dari lembaga-lembaga kecil yang dikelola secara ulet dan apik oleh para pendeta. Ambil misal, Harvard University maupun Yale, di New Haven, Connecticut.
Kondisi ini, bisa bisa dipahami sebagai potensi dan peluang bagi NU untuk memfokuskan diri dalam pengembangan kualitas perguruan tinggi yang dikelola. Karakter yang telanjur terbentuk dan melekat, bukan lagi dianggap sebagai kelemahan untuk bisa bersaing di kancah nasional, maupun global. Belum lagi, keunikan pola pendidikan NU juga diakui di dalam internal nahdiyin sendiri.
Pada muktamar lalu, komisi program juga menyebut bahwa NU memiliki garis besar program kemandirian dalam memasuki abad kedua. Di bidang pendidikan, pola pendidikan NU yang berbeda dan unik itu bisa jadi salah satu strategi guna membangun kemandirian, terutama dalam penentuan indikator kualitas perguruan tinggi. Pola yang berbeda ini tentu tidak bisa dipahami lalu disiasati segampang membalikkan telapak tanggan. Sebab, keunikan ini terbentuk dan muncul dari segi pengelolaan.
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla pernah melemparkan pandangan menarik tentang sistem pengelolaan aset antara NU dan Muhammadiyah. Menurut JK, NU merupakan ormas Islam milik banyak orang. Lebih tepatnya milik para kiai. Oleh karenanya secara serampangan bisa dikiaskan semacam sistem kerja waralaba alias franchise. Beda dengan Muhammadiyah. JK menyebut pola manajemen yang dipakai Muhammadiyah memiliki sistem seperti perusahaan. Alur pengelolaan amal usaha terkesan lebih terstruktur dan terpusat.
Kedinamisan opsi pengelolaan aset NU itu menjadikan peluang kemandirian kian terbuka lebar. Semangat kemandirian itu malah makin tergenggam erat di masing-masing institusi perguruan tinggi.
Di bawah kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf, lembaga pendidikan tinggi di NU harus mengokohkan kepercayadiriannya untuk turut tampil dalam persaingan kualitas pendidikan di Indonesia. Gus Yahya dengan perangkat kepengurusan yang dipenuhi tokoh muda, berenergi, dan progresif ini diharap mampu memenuhi impian warga nahdiyin untuk memaksimalkan prinsip al akhdu bil jadidil ashlakh, terutama dalam pembentukan kualitas pendidikan tinggi.
MOMEN Mei-Juni penting untuk disegarkan kembali.
KETUA Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, syariat lahiriyah dalam momentum Idul Adha ialah menyembelih hewan kurban.
Perguruan Tinggi Muhammadiyah & 'Aisyiyah (PTMA) memiliki tantangan strategis untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kenaikan mahasiswa.
Haedar berpendapat, implementasi hal tersebut, yakni sekolah swasta gratis bukan hal yang mudah diimplememtasikan di negara besar dengan penduduk lebih dari 281 juta jiwa.
Pancasila harus betul-betul dijadikan nilai penting yang menjiwai dan sekaligus membentuk pemikiran mendasar dalam kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan bernegara.
KETUA Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dadang Kahmad mengatakan Negara-Negara Arab seharusnya lebih tegas untuk menolak gagasan Israel untuk mendirikan Negara Yahudi Israel di Tepi Barat.
Terdapat potensi tumpang tindih dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional antara sekolah rakyat, sekolah gratis, dan sekolah garuda
PRESIDEN Prabowo Subianto menegaskan komitmen pemerintahannya terhadap sektor pendidikan. Dalam pidato yang disampaikan di hadapan civitas akademika Unhan RI
Program ini diharapkan menjadi bagian dari solusi kolaboratif antara sektor swasta dan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan, khususnya di wilayah pedesaan dan terluar.
Program revitalisasi tahun ini menargetkan 10.440 satuan pendidikan, meliputi jenjang PAUD, SD, SMP, SMA/SMK, SKB/PKBM, dan SLB di seluruh Indonesia.
SALAH satu program prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) ialah Wajib Belajar 13 Tahun.
TKA berperan sebagai salah satu upaya penjaminan mutu pendidikan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved