Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Diktator Digital

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
10/10/2021 05:00
Diktator Digital
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

SENIN (4/10) malam, layanan Facebook, Instagram, dan Whatsapp, kolaps. Tiga platform media sosial milik Mark Zuckerberg itu tidak dapat diakses selama kurang lebih 6 jam, sekira mulai pukul 23.00 WIB. ‘Huru-hara’ itu baru saya ketahui pagi harinya lewat pemberitaan di sejumlah media online dan ternyata berdampak ‘dahsyat’.

Di Twitter, banyak warganet panik dan sibuk menanyakan kabar lumpuhnya ketiga aplikasi tersebut. Bahkan, tidak sedikit yang misuh-misuh. Mereka seperti ingin menyatakan bahwa dunia serasa ‘kiamat’ tanpa kehadiran sejumlah platform tersebut. Entah, apakah para netizen, terutama yang ada di Indonesia, betul-betul urgen butuh ketiga aplikasi tersebut menjelang tengah malam buta itu? Kalau saya pribadi kebetulan saat itu tengah dalam perjalanan dari alam kesadaran menuju ketaksadaran alias ‘molor’ dan baru terbangun menjelang azan Subuh sehingga tidak ikut-ikutan galau.

Dari peristiwa itu, saya malah merenung dan berpikir sudah sedemikian tergantungkah manusia dengan teknologi, khususnya pada ketiga aplikasi tersebut? Apalagi, beberapa media arus utama memberitakan peristiwa itu sampai beberapa hari, seolah itu lebih penting ketimbang sejumlah kota dan desa yang terancam dan sedang diterpa bencana hidrometeorologi atau potensi serangan gelombang ketiga virus korona yang diprediksi terjadi akhir tahun nanti. Lagi pula, memangnya kita bakal ‘patheken’ (mati) jika tanpa aplikasi tersebut? Bukankah hidup kita dulu juga baik-baik saja ketika belum ada smartphone dan internet?

Harus diakui, gelembung teknologi memang telah memicu banjir informasi. Kabar berkelebat silih berganti dari seluruh penjuru negeri. Manusia kini makin sulit memilah mana warta yang betul-betul penting dan dibutuhkan. Lantaran dituntut ketergesaan, kita pun jadi malas berkontemplasi. Untuk kasus di atas, bukankah lebih penting mencari tahu penyebab lumpuhnya ketiga aplikasi itu dan mempertanyakan apakah data pribadi kita baik-baik saja. Ingat, skandal Cambridge Analytica beberapa tahun lalu, ketika jutaan data pengguna Facebook bocor dan dimanfaatkan pihak ketiga untuk tujuan politikus di negara tertentu. Apakah ada jaminan kejadian serupa tidak bakal terulang?

Saya rasa, mempertanyakan faktor keamanan data ini jauh lebih penting ketimbang membesar-besarkan kerugian yang dialami Zuckerberg akibat peristiwa tersebut. Lagi pula, kata sang taipan teknologi itu, kerugian yang dialaminya bukanlah hal utama. Yang justru harus jadi perhatian, kata dia, ialah nasib mereka yang tergantung dengan aplikasi ini, baik untuk menjalankan roda bisnis maupun organisasi atau komunitas.

Selaku pengguna, pernahkah kita juga secara kritis mempertanyakan (minimal dalam hati) apa manfaat dan mudaratnya sejumlah aplikasi yang dibenamkan dalam smartphone itu bagi kehidupan sehari-hari. Yang pasti, di negara asalnya di Amerika Serikat sana, kehadiran tiga aplikasi itu, terutama Facebook dan Instagram, telah mengundang polemik. Mereka juga dianggap memonopoli media sosial. Seorang mantan manajer Facebook, Frances Haugen, baru-baru ini bahkan mengungkapkan situs dan aplikasi perusahaan itu merugikan anak-anak, memicu perpecahan, dan melemahkan demokrasi. Meski dibantah bekas majikannya di perusahaan itu, tak urung senat AS pun turun tangan untuk menyelidiki kasus ini.

Kita, masyarakat di Indonesia selaku konsumen, semestinya juga kritis. Jangan sebatas jadi pengguna, tanpa tahu makna dan manfaat perangkat tersebut. Coba hitung berapa waktu kita tersita untuk memelototi sejumlah aplikasi itu. Mungkin dari kasus ini kita bisa belajar untuk mengurangi ketergantungan dari perangkat teknologi tersebut. Jangan semua emosi (perasaan) dan perilaku atau kebiasaan kita sehari-hari diumbar kepada publik, yang ujung-ujungnya dapat dibaca dan dimanfaatkan sebagai alat bujuk rayu para pengiklan untuk menguras dompet kita.

Jujur harus diakui, di era kecerdasan artifisial kehadiran teknologi memang krusial. Namun, secanggih apa pun, ia cuma sebatas tools. Jangan sampai perkakas itu justru menjelma jadi diktator digital, yang mendikte dan memerangkap kita dalam kebodohan natural. Kita (manusia) harus tetap memegang kendali otoritas bukan segalanya diserahkan pada algoritma.
Waspadalah!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya