Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Berkhidmah dengan Sains dan Teknologi

Muhammad Rodlin Billah Ketua Tanfi dz PCINU Jerman, Mahasiswa PhD Jurusan Optika Terpadu Karlsruhe Institute of Technology (KIT) Jerman
22/5/2021 05:00
Berkhidmah dengan Sains dan Teknologi
(Dok. Pribadi)

DALAM tulisan yang berjudul Lokomotif Saintis Diaspora NU di rubrik ‘Opini’ Media Indonesia (8/5), Budy Sugandi dengan apik memformulasikan beberapa hal yang sedang dihadapi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia dalam menyambut abad keduanya.

Di antara yang menarik perhatian ialah, berlimpahnya sumber daya manusia (SDM) nahdliyin dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk yang berkecimpung dalam bidang sains dan teknologi, khususnya yang menjadi diaspora di berbagai negara.

Dengan gamblang ia tuliskan bahwa ‘persoalan umat saat ini bukan hanya tentang fikih, akidah, halal-haram, dan seterusnya. Namun, lebih dari itu, permasalahan lain juga menunggu untuk diselesaikan. Sudah barang tentu NU hadir dalam elemen keagamaan, tapi juga harus siap dan memiliki stok ahli di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan’.

Sayangnya, tulisan tersebut belum memberikan penjabaran strategi agar NU dapat memanfaatkan bonus demografi nahdliyinnya, khususnya dalam rangka turut berkhidmah pada NU melalui sains dan teknologi.

 

 

Sains dan teknologi di dunia Islam

Dari sudut pandang dunia internasional, Nahdliyin di Indonesia adalah bagian integral dunia Islam, dengan pemeluknya yang mencapai hampir 2 miliar di seluruh dunia per tahun 2015, hampir seperempat dari seluruh penduduk dunia. Pew Research Center memprediksi peningkatan menuju 3 miliar di 2060, mencapai sepertiga penduduk dunia.

Mereka tersebar di berbagai negara, dari Indonesia, Maroko, Uganda, hingga Kazakhstan, meski mayoritasnya tinggal di 57 negara anggota Organisation of the Islamic Cooperation (OIC), dengan Islam sebagai agama resminya. Sayangnya, besarnya jumlah penduduk dunia Islam tersebut belum sebesar reputasinya di dunia sains dan teknologi saat ini.

Atlas of Islamic-World Science and Innovation milik Royal Society di London menunjukkan bahwa para ilmuwan dari seluruh negara-negara di Arab selama tahun 2015 berhasil menerbitkan 13 ribu publikasi, padahal Universitas Harvard sendiri di tahun yang sama menerbitkan sejumlah 15 ribu publikasi.

UNESCO dan World Bank Development Indicators menunjukkan data ke-20 negara anggota OIC selama kurun waktu 1996-2003 hanya menghabiskan rata-rata 0,34% untuk riset dan pengembangan dari seluruh GDP-nya. Padahal rata-rata negara-negara dunia saat itu mencapai 2,36%. Adapun Indonesia baru menghabiskan 0,23% GDP-nya untuk riset dan pengembangan di tahun 2018. Karenanya tak mengherankan bila Jim Al-Khalili, seorang profesor fisika teori di Inggris yang asli Irak, menggunakan kata disengaged untuk menggambarkan keterputusan dunia Islam dari perkembangan sains modern.

 

 

Langkah taktis NU

Untuk memperbaiki situasi ini, Nader Fergany, seorang sosiolog dan ekonom dari Mesir, memberi saran dua langkah taktis agar dunia Islam tak semakin tertinggal. Langkah pertama, mengubah paradigma pemikiran mayoritas masyarakat muslim, yang sebagiannya masih memandang bahwa ilmu sains dan teknologi identik dengan Barat, dan karenanya memiliki posisi di bawah ilmu agama.

Langkah kedua, Fergany mensyaratkan, umat Islam mesti bekerja sama secara simultan dengan berbagai pihak dan lebih terbuka dalam memajukan sains. Perjuangan sendiri-sendiri dan terisolasi bukanlah pilihan sebab perubahan dunia yang begitu cepat, dan cepatnya perubahan ini pun juga banyak dipengaruhi oleh perkembangan sains dan teknologi.

Terkait langkah pertama, NU telah memiliki modal awal yang besar berupa pandangan bahwa ilmu agama sama pentingnya dengan ilmu sains dan teknologi. Bahkan, mengusahakan integrasi di antara keduanya. Meskipun belum menyeluruh, proses integrasi ini sudah terlihat dalam berbagai usaha, baik secara struktural maupun kultural. Contoh paling aktual, misalnya, ialah turut dihadirkannya berbagai peneliti untuk mendiskusikan permasalahan kehalalan vaksin covid-19 baru-baru ini dalam sebuah forum bahtsul masail PBNU.

Memang, kehadiran ahli bidang tertentu dalam forum sejenis di lingkungan NU bukanlah sesuatu yang baru. Namun, KH Afifuddin Muhajir dalam pertemuan tersebut tetap menyatakan kebahagiaannya sebab baik para ahli agama maupun ahli sains betul-betul bersinergi dengan baik. Yang disebut pertama bertugas memformulasikan permasalahan dari sudut pandang agama, dan yang disebut belakangan membantu menjawab pertanyaan teknis untuk mendudukkan permasalahan secara objektif. Contoh lainnya ialah kemunculan SMA Trensains Tebuireng, Jombang, yang diinisiasi oleh almarhum KH Salahuddin Wahid, juga merupakan sebuah terobosan yang patut dijadikan teladan.

Meski demikian, langkah kedua yang disarankan Fergany, yang terfokus pada pengadaan kerja sama secara simultan dan terbuka dengan berbagai pihak, tampaknya belum begitu terlihat di internal lingkungan NU sendiri. Setidaknya, gemanya belum begitu dirasakan oleh diaspora nahdliyin di luar negeri. Ke depannya hal semacam ini diharap untuk lebih digalakkan lagi. Apalagi, dalam rangka menghadapi berbagai dampak yang ditimbulkan dari disrupsi Revolusi Industri 4.0 dan pandemi covid-19 pada saat yang hampir bersamaan.

 

 

Sains dan teknologi sebagai jalur khidmah

Sebagai satu dari puluhan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) yang tersebar di banyak negara, salah satu fokus utama PCINU Jerman ialah berkhidmah dalam bidang sains dan teknologi. Bukan semata-mata karena ingin berbeda dari mayoritas PCINU, yang pada umumnya ahli dalam bidang agama, tapi lebih kepada kesadaran bahwa mayoritas nahdliyin di Jerman adalah ahli di bidang sains dan teknologi dengan pengalaman belasan bahkan puluhan tahun. Aktivitas mereka mencakup berbagai strata pendidikan, latar belakang keilmuan, juga bidang aplikasi.

Para nahdliyin tersebut sedang menikmati berbagai keunggulan dan keuntungan skema triple helix ala Jerman yang dibangun bersama-sama oleh pemerintah, dunia kampus, serta dunia industrinya. Sejumlah 3,1% dari GDP Jerman pada 2018 digunakan untuk riset dan pengembangan--13 kali lipat dari alokasi Indonesia pada tahun yang sama.

Dua tahun sebelumnya, pemerintah Jerman bahkan menggelontorkan dana sebesar hampir 10 juta euro untuk penelitian dalam bidang sains dan teknologi. Hal itu kemudian mewujud menjadi berbagai kegiatan riset fundamental hingga aplikatif, yang tak hanya bersifat cutting edge, tapi juga implementatif dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Karenanya, sayang bila keahlian dan pengalaman mereka yang dipadu dengan keinginan berkhidmah kepada bangsa dan negara melalui NU ini belum termanfaatkan dengan baik. Apalagi jika mempertimbangkan kemunculan istilah Revolusi Industri 4.0 yang diawali dari Jerman sejak 2011.

Dalam konteks yang demikian ini, hal yang pertama-tama dilakukan oleh PCINU Jerman ialah mengadakan perombakan tradisi organisasi secara besar-besaran: semua dokumen atau arsip organisasi harus serbadigital. Berbagai standard operation procedure (SOP) baik yang sifatnya strategis maupun administratif, surat-menyurat, pembuatan proposal kerja sama dan kolaborasi. Bahkan, proses mind mapping kini telah dapat diakses oleh pengurusnya secara online dari mana pun dan kapan pun.

Hal ini kemudian membentuk karakter kepengurusan yang adaptif, gesit, tidak terbatas ruang dan waktu, tapi tanpa kehilangan fokus. Kini pembuatan surat dari pemilihan nomor hingga proses tanda tangan pengurus harian dapat dilakukan dalam hitungan menit dan dikerjakan oleh beberapa orang sekaligus.

Namun, yang lebih penting daripada itu, adaptasi tradisi baru ini sesungguhnya dilandasi semangat untuk mengumpulkan setiap pengetahuan yang dimiliki oleh pengurus selama masa khidmahnya, baik dari sudut pandang profesional maupun organisasi.

Bagi PCINU Jerman, wajib hukumnya kumpulan pengetahuan yang terus-menerus dibangun untuk jangka panjang ini diwariskan secara keseluruhan kepada pengurus berikutnya. Tujuannya agar terbentuk keberlangsungan (sustainability) berjalannya roda organisasi, khususnya program-program tertentu, meski figur pengurusnya berganti-ganti. Apalagi, perilaku reinventing the wheel--sebuah istilah dalam dunia sains yang merujuk pada usaha penemuan kembali suatu hal yang sesungguhnya sudah ditemukan sebelumnya--adalah sesuatu yang tabu.

Dengan modal dasar transformasi digital yang masih terus disempurnakan di tubuh PCINU Jerman sejak dua tahun terakhir ini, tak menghentikan pengurus untuk juga berinisiatif mengadakan berbagai kegiatan yang fokusnya mentransfer pengetahuan maupun keahlian yang dimiliki oleh para pengurusnya di Jerman ke Indonesia.

Hal ini secara khusus dilakukan melalui berbagai program kolaborasi atau kerja sama dengan berbagai lembaga dan badan di lingkungan NU, mulai dari pengurus besar (PB), pengurus wilayah (PW), hingga pengurus cabang (PC) maupun PCI lainnya. Dua di antaranya ialah proyek percontohan STRATEGIC-19 dan Virtual Internship 2020.

STRATEGIC-19 merupakan sebuah proyek percontohan hasil inisiasi Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU bersama PCINU Jerman, yang diikuti oleh lima pondok pesantren dari Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Proyek yang dilakukan sejak pertengahan 2020 hingga awal tahun ini bertujuan membantu pesantren mencegah penyebaran covid-19 lebih jauh dengan pendekatan yang lebih ekonomis. Pencegahan dilakukan melalui epidemiological mapping dengan proses pengisian kuesioner online yang dilakukan seluruh warga pesantren secara berkala. Isian kuesioner kemudian dianalisis oleh sebuah expert system yang dibangun para nahdliyin yang ahli di bidang kedokteran, epidemi, dan analisis data.

Sebagian dari mereka tinggal di Jerman, Belgia, dan Indonesia. Sistem kemudian berjalan secara otomatis untuk memberikan rekomendasi tindakan kepada satgas covid-19 pondok pesantren terkait berdasarkan kemunculan cardinal symptoms penderita covid-19.

STRATEGIC-19 mendapatkan penilaian positif dari kelima pondok pesantren peserta program tersebut, dan membuat PCINU Jerman mengadakan kelanjutannya berupa virtual internship yang sudah berjalan sejak akhir 2020 lalu. Program magang ini didasari semangat untuk meningkatkan kemampuan rekan-rekan mahasiswi-mahasiswa Indonesia dalam menganalisis data digital secara lebih mendalam dan menyeluruh, dengan konsentrasi data bidang kesehatan.

Analisis data dijadikan fokus program magang sebab dalam era disrupsi ini siapa pun bisa mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dengan mudah dan cepat, tapi belum tentu dapat mengolahnya dengan baik. Hasil pengolahan dimaksudkan, antara lain, untuk mendapatkan pandangan-pandangan baru, syukur-syukur yang dapat membantu memecahkan masalah nahdliyin sehari-hari. Proses pembimbingan dilaksanakan sepenuhnya secara virtual dengan peserta tujuh mahasiswi-mahasiswa Indonesia yang tinggal di Jerman, Sumatra, Jawa, dan Sulawesi.

Bila kedua program berskala kecil berbasis sains dan teknologi tadi dapat dilaksanakan dengan inisiatif 5 hingga 7 orang nahdliyin ahli sains dan teknologi di Jerman, bayangkan sebesar apa kontribusi yang dapat diberikan oleh berbagai inisiatif dari ribuan diaspora nahdliyin di seluruh dunia saat berkolaborasi bersama-sama dalam berbagai bidang sebagai bentuk khidmahnya. Hanya saja, hal ini masih menyisakan sebuah pertanyaan: siapakah yang sebaiknya mendorong inisiatif sebesar itu?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik