Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Nasib Pasca Relokasi Akibat Tambang

Bernadinus Steni | Kandidat Doktor Pengelolaan SDA dan Lingkungan IPB
19/12/2020 09:50
Nasib Pasca Relokasi Akibat Tambang
Istimewa(DOK. Pribadi )

   SALAH satu pertentangan utama dalam polemik tambang dimana pun, termasuk yang berlangsung di Manggarai Timur NTT saat ini, adalah relokasi dan pemukiman kembali (resettlement). Banyak argumen ekonomi, yang menopang rencana itu. Salah satunya, lokasi baru akan ditopang oleh infrastruktur beken yang dibangun perusahaan. Ditambah pula, dengan janji kompensasinya yang menggiurkan. Alhamdulillah kalau semuanya itu berjalan seperti yang diharapkan.

   Namun, pernyataan-pernyataan itu tentu hanya bisa diterima sebagai janji. Secara faktual, wallahua'lam. Belum tampak wujudnya, selain gambar rencana pemukiman baru lengkap dengan fasilitas surga yang dijanjikan. Gambar-gambar semacam itu tidak menunjukan apa-apa, selain rencana.

   Belum lagi, bicara kualitas permukiman dan fasilitas pendukung yang terkait kondisi lokal. Misalnya, apakah bangunan rumah yang keren itu mumpuni untuk tahan gempa. Patut untuk diperhitungkan, bagian selatan Lengko Lolok yang menjadi lokasi pertambangan, sangat dekat dengan patahan tektonik lokal utara manggarai.

    Pelajaran dari kasus yang pernah ada, barangkali membantu memberikan terang untuk pertimbangan. Perbandingan dengan tempat lain tentu saja, harus mempertimbangkan konteks sosial, ekologis dan lokasi yang tentu saja berbeda. Namun, pola pemukiman kembali dan relasi dengan perusahaan tambang selalu ada kemiripan dimana pun itu.

   Selain itu, informasi-informasi seperti ini, amat diperlukan mengingat kasus MIDR (mining-induced displacement and resettlement, atau Pemindahan dan Pemukiman Kembali yang Dipicu oleh Pertambangan) relatif jarang. Barangkali, baru kali ini terjadi di Manggarai, bahkan Flores.

    Pemerintah daerah dan publik, khususnya warga di calon lokasi pabrik dan tambang, perlu mendapatkan informasi yang berimbang sebelum keputusan benar-benar final. Tidak saja untuk kasus-kasus sekarang, tapi juga di kemudian hari.

     Sebuah studi dari masyarakat sipil, Panos, yang berbasis di London mengumpulkan lebih dari 1300 testimoni lisan terkait pembangunan di enam benua sejak 1993 hingga 2013. Kompilasi testimoni itu, dapat diakses melalui publikasi pada 2012, berjudul Displaced : the human cost of development and resettlement yang ditulis Olivia Bennett and Christopher McDowell. Buku ini menjadi salah satu rujukan akademik penting dalam literatur terkait Development-Induced Displacement and Resettlement (DIDR) atau Pemindahan dan Pemukiman Kembali yang Dipicu oleh Pembangunan.

    Salah satu kasus yang diulas Bennet dan McDowell, adalah, perpindahan akibat tambang yang dialami oleh Suku Jharkhand di Timur India. Kasus ini telah berlangsung sejak 1980, dimana suku asli tersebut dipindahkan akibat membanjirnya tambang batu bara di wilayah itu. Ladang dan hutan dimana mereka hidup babak belur akibat pencemaran. Sementara, perkampungan mereka sendiri persis berada di pinggiran tambang yang terpapar secara langsung dengan pembuangan limbah bekas tambang. Untuk menghindari situasi berbahaya itu, mereka terpaksa bermigrasi ke tempat lain.

    Proses migrasi berlangsung tanpa perencanaan yang matang. Karenanya, gagal mempertimbangkan faktor-faktor yang kompleks, seperti akses ekonomi, daya dukung lahan, ketersediaan air, infrastruktur dalam jangka panjang. Migrasi itu menuai bencana sosial yang melucuti daya tahan sosial-lingkungan komunitas itu, dalam berbagai aspek.

    Belakangan, sebuah laporan kesehatan yang mengevaluasi jenis penyakit yang berkembang di suku itu menemukan, dari 500 pasien yang dievaluasi, 18 % di antaranya infeksi saluran pernapasan, penyakit yang disebabkan persoalan sanitasi air (15,8 %) dan anemia (10,4 %). Jenis-jenis penyakit ditengarai, terkait dengan terpaparnya komunitas itu oleh debu dan polusi tambang.

    Secara keseluruhan, Bennet dan McDowell menyebutkan bahwa pengalaman yang berlangsung di India, Pakistan, Kenya, Botswana, Namibia, and Lesotho menunjukan, bahwa kebijakan yang diarahkan untuk memastikan kompensasi yang adil, lokasi pemukiman kembali, atau pemulihan penghidupan masyarakat, jarang mencapai tujuannya. Karena, proses itu berlangsung bukan melalui perencanaan pembangunan yang matang, proses konsultasi yang tepat, pembiayaan yang terukur, dan kemauan politik untuk proses yang benar. Sebaliknya, korupsi menjadi salah satu pemicu utama pembangunan-pembangunan itu, sehingga sulit mengharapkan proses yang benar.

    Studi lain, adalah kumpulan kasus-kasus relokasi akibat pertambangan yang berlangsung di seluruh dunia oleh Bogumil Terminski, seorang pakar hukum Internasional dari Universitas Warsawa. Dalam sebuah laporan yang berjudul Mining-Induced Displacement and Resettlement: Social Problem and Human Rights Issue (A Global Perspective), Terminski menyebutkan, terdapat 15 juta jiwa tiap tahun yang terelokasi dari kampung halamannya akibat pembangunan. Tambang menyumbang 10,3 % dari relokasi tersebut.

   Menurut Terminski, masalah relokasi paksa atau terpaksa yang disebabkan oleh penambangan bahan baku pernah, atau ada di semua benua. Seperti penyebab DIDR lainnya, masyarakat adatlah yang paling terpengaruh oleh masalah ini.

    Hal ini disebabkan karena biaya lingkungan dari proyek-proyek pembangunan, apalagi yang melibatkan relokasi dan resettlement tidak memperhitungkan penurunan fungsi ekologis yang signifikan dalam kondisi kehidupan banyak komunitas. Situasi inilah, yang seterusnya akan memicu migrasi dari pedesaan ke perkotaan.

    Belakangan ini, banyak pakar sosial pembangunan mendorong konsep ganti untung yakni upaya menghitung kompensasi yang diterima komunitas terdampak, dengan mengacu pada nilai intrinsik dan nominal, dari suatu wilayah secara komprehensif dan fleksibel, dengan memperhitungkan faktor-faktor kekinian maupun dimensi jangka panjang.

   Isu daya dukung ekologis adalah salah satu di antaranya. Misalnya, sejauh mana ketersediaan air dan lahan subur dapat menopang pemukiman baru dalam 3-5 generasi ke depan. Contoh lainnya adalah perhitungan pada kapasitas generasi berikut untuk beralih ke pekerjaan lain ketika industri bahan galian berakhir.

   Tidak sedikit pelaku usaha yang didukung kebijakan mengklaim menggunakan konsep ganti untung. Namun, segera dapat dilihat, konsep-konsep tersebut tidak lebih dari konsep ganti rugi. Kalaupun ada penambahan harga, rujukannya mengacu pada harga dasar agar tidak nampak terlalu rendah.

   Dimensi jangka panjang, sama sekali belum diperhitungkan. Oleh karenanya, pengambil kebijakan maupun pelaku usaha akan sangat kesulitan ketika ditanya daya dukung air di wilayah relokasi dalam 50-100 tahun ke depan. Berkaca dari kasus-kasus itu, relokasi dimanapun, tanpa perencanaan matang lebih banyak runyamnya daripada berkah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya