Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Hari Pahlawan, Pandemi dan Pendidikan

IGK Manila Anggota Majelis Tinggi dan Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem
10/11/2020 03:10
Hari Pahlawan, Pandemi dan Pendidikan
IGK Manila Anggota Majelis Tinggi dan Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem(MI/ BARY FATHAHILAH)

SALAH satu kata bijak yang sering dikutip dari Bung Tomo, pahlawan nasional yang memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu yang mencapai puncaknya pada 10 November 1945 di Surabaya, ialah “Jangan memperbanyak lawan, tetapi perbanyaklah kawan!”

Jika diungkapkan, atau digunakan dalam konteks perang yang ganas, dalam situasi hanya ada lawan atau kawan, ungkapan ini tentu terlihat aneh. Namun, bagi seorang pemimpin atau mantan pemimpin pasukan, yang juga merupakan manusia sosial biasa, ungkapan demikian itu adalah wajar.

Berkawan dalam satu kesatuan wajib hukumnya supaya terdapat teamwork, kerja sama tim. Akan tetapi, berhasil menjadikan musuh sebagai kawan, atau berhasil mengajak mereka menyelesaikan sengketa dalam perundingan, merupakan wujud kecerdasan dan kebijaksanaan.

Oleh karena itu, harus dipahami dan diresapkan dalam hati bahwa kepahlawanan bukanlah sekadar kegagahan atau kemenangan dalam pertempuran. Sempit sekali jika kepahlawanan diasosiasikan secara sempit, dengan tubuh berlumur darah, kematian, simbol-simbol atau hadiah-hadiah, dalam konteks kalah mengalahkan seperti di gelanggang adu-banteng. Kepahlawanan itu suci dan murni.

Pada tataran pribadi, pertamatama, kepahlawanan terkait dengan keberanian bersikap dan memilih untuk ‘mempertaruhkan hidup’. Sebab “… hidup yang tidak
dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan,” kata Sutan Syahrir, salah seorang bapak bangsa yang tak henti menyuarakan kebijaksanaan sampal ajal menjemput.

Pahlawan adalah manusia yang berani memilih jalan terjal dan penuh onak dan duri, yang mengejar cita-cita yang tak awam, yang tak menyerah pada perangkap status quo, yang gelisah dengan hidup dan kehidupan yang tak berkemajuan.

Kedua, dalam konteks sosial dan kehidupan berbangsa-bernegara, kepahlawanan terkait dengan melekatnya apa yang dinyatakan oleh Sutan Syahrir sebagai “… semangat kebangsaan, yang dipikul oleh perasa an keadilan dan kemanusiaan, yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.” Dalam tafsir yang
paling sederhana, seorang yang berhasil atau hebat hanya bagi dirinya, tanpa adanya satu konteks sosial dalam mana dia merasa bertanggung jawab--suatu semangat kebangsaan, yang dilandasi sikap adil-manusiawi- -sudah tentu bukan pahlawan.

Pada titik yang ekstrem, bagi seorang yang individualis, keberhasilan adalah keberhasilan dirinya, ketika orang lain—siapa pun mereka—merupakan alat atau sumber daya yang direkayasa sedemikian rupa supaya berkontribusi bagi kemajuan tersebut.

Sementara itu, pahlawan menjadi pahlawan adalah karena mereka bertindak sosial, bahwa kepentingan masyarakat dalam mana dia hidup adalah kepentingan yang utama yang harus diperjuangkan. Keberhasilan masyarakat menjadi cita-cita dirinya karena keyakinan bahwa hanya dengan itulah kebahagiaan hidup yang hakiki tercapai.

Dari pertempuran tak seimbang yang terjadi di Surabaya di paruh pertama bulan November 1945, kita bisa belajar lebih jauh tentang hal ini. Tentara Sekutu, yang tak hanya datang dengan persenjataan yang jauh lebih canggih dan lengkap, tetapi juga dengan keterlatihan bertempur organik-sistemik, sudah tentu bukan lawan yang seimbang meskipun para pejuang Indonesia berjumlah jauh lebih banyak.

Akan tetapi, ribuan pahlawan yang gugur ataupun mereka yang luput dari maut di waktu itu pada dasarnya tak sedang mengejar tanda jasa, hadiah, pampasan perang, atau keberhasilan pribadi. Mereka juga tak bisa dikatakan terpaksa berperang karena penugasan organik dari organisasi militer negara sebab sebagian besar dari mereka adalah para pemuda yang tak terdaftar dalam ketentaraan.

Sebaliknya, mereka mempertaruhkan hidup karena hanya dengan cara itu kemerdekaan hidup pribadi bisa dimenangkan dan kemerdekaan bangsa bisa dipertahankan. Mereka berjuang untuk membuka paksa mata dunia bahwa bangsa Indonesia itu ada dan tak berhenti memperjuangkannya.

Momentum


Kini, di tengah musim pandemi covid-19, kepahlawanan tentu saja amat diperlukan. Indonesia memerlukan orang-orang biasa yang bersedia menjadi luar biasa. Indonesia membutuhkan mereka yang berani keluar dari sarang kenyamanan dan bahu-membahu berkorban mengatasi ganasnya badai wabah yang telah merenggut ribuan nyawa dan terus mengancam ratusan juta lainnya.

Ibu pertiwi tengah menangis meminta supaya anak-anaknya keluar dari jerat egosentrisme, juga bermurah hati dan berani berbagi sebanyak mungkin tanpa berpikir pamrih akan kembali.

Kembali pada apa yang diungkapkan Bung Tomo, ini adalah waktu di mana setiap orang harus berpikir untuk ‘berkawan’ dan bukan ‘berlawan’. Saat ini merupakan waktu di mana kesetiakawanan tiada guna jika hanya singgah di bibir dan dijual ke mana-mana untuk sekadar memudahkan urusan atau mendapat keuntungan individual. Ini adalah waktu di mana musuh bersama adalah virus korona, bukan mereka yang berkulit, berbaju, atau beragama berbeda.

Dan ini adalah momentum pendidikan, bukan hanya dalam pengertian formal, tetapi juga dalam arti seluas-luasnya. Bagi anak-anak bangsa yang duduk sebagai penyelenggara pemerintahaan—eksekutif dan legislatif—jika memang merupakan bagian dari bangsa ini dan berterima kasih kepada para pahlawannya, ini adalah waktu untuk mendidik laku diri supaya tak memilih hidup dengan menumpuk kekayaan dengan mengambil hak-hak rakyat.

Sebaliknya, inilah kesempatan untuk menjadi lebih besar dengan menjadi pahlawan sebenarnya. Ini adalah waktu untuk hadir di tengah masyarakat. Merasakan apa yang mereka rasakan dan melakukan sesuatu untuk membuktikan bahwa mereka memang layak dipilih.

Bagi para pelaku ekonomi, pada siapa bangsa ini bergantung supaya harmoni dan kesejahteraan tak pupus, ini adalah kesempatan untuk mendidik diri tentang kemurnian pikiran dan membantu bangsa ini terhindar dari keterpurukan.

Bertahun-tahun, atau bahkan telah berpuluh tahun, Indonesia telah memberi. Kini, saatnya tuan-tuan untuk membalas budi, mengerahkan segenap daya dan upaya untuk membuatnya tetap kukuh berdiri.

Bagi anak-anak bangsa yang bergerak dalam dunia pendidikan, inilah kesempatan untuk mendidik diri sendiri dan memfasilitasi pembelajaran bagi siapa pun yang mungkin tentang hakikat kehidupan yang sebenarnya; bahagia dengan membahagiakan orang lain. Bagi anak-anak bangsa yang belia, nilai-nilai dan praktik kepahlawanan harus mengkristal sehingga menjadi pelita dalam kehidupan mereka selanjutnya.

Bagi anak-anak remaja Indonesia, di tengah haus jiwa mereka akan teladan kebaikan, para guru adalah orang-orang yang bisa menjadi pahlawan mereka atau sebaliknya akan dilupakan.

Terakhir, Hari Pahlawan yang ke- 75 ini, setelah tiga perempat abad Indonesia merdeka, adalah titik penentuan, apakah bangsa ini akan bergerak maju atau mundur lagi ke belakang.

Jika yang kedua yang terjadi, terutama karena badai pandemi yang meluluhlantakkan ekonomi dan adaptabilitas sosial yang rendah karena persoalan kualitas keterdidikan, akan diperlukan seperempat, setengah, atau bahkan satu abad lagi supaya kesejahteraan dan keadilan sosial yang sebenar-benarnya bisa terwujud.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya