Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

POP, Embrio Membangun Sistem Pendidikan yang Berkelanjutan

Irfaan Sanoesi, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta dan Pegiat Pendidikan
16/8/2020 14:15
POP, Embrio Membangun Sistem Pendidikan yang Berkelanjutan
Irfaan Sanoesi(dok.pribadi)

AKHIR-akhir ini Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi buah bibir. Pasalnya, dua organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) mundur dari program tersebut. Tak lama berselang, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ikut mengundurkan diri dari program unggulan Mendikbud Nadiem Makarim.

Sontak mundurnya ketiga organisasi tersebut menjadi wake up call bagi Kemendikbud menjalankan POP. Mas menteri— demikian sapaan Mendikbud sekarang— bereaksi menyatakan maaf secara terbuka, kemudian mendatangi pimpinan organisasi masyarakat sekaligus menyiratkan bahwa Kemendikbud memiliki political will yang kuat untuk melanjutkan POP. 

Keikutsertaan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang telah melakukan upaya konkret bagi pendidikan Indonesia sebelum bangsa ini lahir, tak lepas mengingat relevansi dan signifikansi ketiganya di masyarakat sipil penggerak pendidikan.

Kendati POP terdapat lubang di sana-sini yang menjadi pekerjaan rumah Kemendikbud, inovasi kebijakan mas menteri tentulah punya niat baik yang ingin melibatkan partisipasi publik, menitikberatkan kolaborasi antar elemen anak bangsa. Harapannya, inisiatif ini akan menunjang peningkatan kualitas guru dan hasil belajar siswa. Melalui POP, Kemendikbud bisa mengadopsi sistem pembelajaran untuk dijadikan referensi memetakan kebijakan-kebijakan yang efektif dan strategis, bagi peningkatan kualitas pendidikan Indonesia ke depan.

Kontroversi

Mengamati berbagai respons publik, setidaknya terdapat tiga alasan kenapa POP ini kontroversial. Pertama, dua organisasi yang lolos seleksi POP dikenal luas sebagai organisasi Corporate Social Responsibility (CSR) dari dua perusahaan raksasa, yaitu Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto. Lolosnya dua organisasi CSR yang dilimpahi sumber daya finansial dan sangat kaya itu, melukai rasa keadilan di tengah masyarakat.

Kedua, lolosnya dua organisasi CSR di atas memunculkan kesan bahwa seleksi POP oleh Kemendikbud tidak jelas dan tidak transparan, sehingga memunculkan distrust terhadap POP. Lolosnya organisasi-organisasi yang dianggap tidak jelas rekam jejaknya menambah ketidakpercayaan ini. Terlepas Kemendikbud sejak awal sudah mengklaim bahwa seleksi POP dilakukan secara transparan, independen, dan akuntabel.

Ketiga, adanya sense of crisis akibat pandemi Covid-19 yang mengubah dunia pendidikan secara fundamental. Menurut PGRI, pandemi covid-19 telah meluluhlantakkan dunia pendidikan. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) membutuhkan infrastruktur listrik dan internet yang di lapangan sama sekali tidak menunjang, terutama di wilayah 3T. PJJ juga sangat menyulitkan siswa, guru, dan orangtua karena adanya ketimpangan akses terhadap sarana pendukung seperti telepon seluler, laptop, dan kuota internet.

Evaluasi lanjutan terhadap POP akan dilakukan secara intensif, melibatkan para pakar pendidikan, organisasi masyarakat, dan lembaga negara di luar Kemendikbud. Rencana ini patut diapresiasi sekaligus dikawal untuk memastikan outcome kebijakan yang tidak lagi kontroversial.

Mendikbud perlu mengkaji ulang format kolaborasi POP ke dalam multi-sektor antara Kemendikbud, organisasi masyarakat sipil, dan perusahaan (melalui CSR dan filantropi). Hal itu untuk memberi kejelasan posisi masing-masing organisasi dalam kolaborasi POP menurut karakternya yang khas, sehingga bisa mengurangi kegelisahan di tengah masyarakat.

Kerja sama antar sektor

Komunikasi Kemendikbud menjadi kunci kesuksesan antar sektor. Kemendikbud mewakili pemerintah,organisasi masyarakat sipil, dan perusahaan melalui CSR dan filantrofi memiliki karakter dan kekuatan masing-masing yang bisa dioptimalkan. 

Sebagai gambaran awal, dan ini sangat terbuka untuk analisis lebih lanjut, Kemendikbud dalam hal ini memiliki kekuatan relatif yang tidak dimiliki oleh masyarakat sipil, dan perusahaan (melalui CSR dan filantropi) yaitu, kewenangan, komando, koordinasi, regulasi, juga anggaran negara.

Tapi Kemendikbud juga punya kelemahan relatif, yaitu kurangnya kepercayaan publik terhadap POP yang disebabkan oleh gap komunikasi publik, juga oleh blunder-blunder kebijakan yang dianggap kurang sensitif terhadap kompleksitas realitas persoalan pendidikan di tengah masyarakat. Saya kira ini masalah utama yang memicu keluarnya Muhammadiyah, NU, dan PGRI dari POP.

Organisasi masyarakat sipil punya kekuatan relatif yaitu kredibilitas di tengah masyarakat, legitimasi, dan keahlian dalam sejarah panjang pendidikan nasional. Organisasi masyarakat sipil juga punya kelemahan relatif yang persis merupakan kekuatan relatif dari pemerintah dan perusahaan (melalui CSR dan filantropi), yaitu kecenderungan under funded atau kurangnya pendanaan untuk mendukung program pendidikan yang berkelanjutan.

Perusahaan (melalui CSR dan filantropi), dalam hal ini Yayasan Putera Sampoerna dan Yayasan Bhakti Tanoto, dan juga organisasi-organisasi CSR lain yang relevan untuk dirangkul oleh Kemendikbud, punya kekuatan relatif berupa kemampuan sumber daya finansial untuk mendukung program pendidikan nasional. Tetapi, sektor ini punya kelemahan relatif yaitu kurangnya insentif, legitimasi, dan keahlian.

Karena itu, POP merupakan kebijakan Kemendikbud yang inovatif dan partisipatif yang harus diberi kesempatan untuk dijalankan. Hal itu demi terwujudnya sistem pendidikan yang berkelanjutan. Jangan sampai adagium ganti menteri, ganti kurikulum yang lestari, mengingat generasi bangsa yang dipertaruhkan.
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya