Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PELAKSANAAN tahapan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah telah memasuki fase krusial. Tahapan tersebut merupakan kandidasi yang membuat area-area publik disesaki alat peraga sosialisasi, baik itu perseorangan maupun partai politik.
Merujuk PKPU 5 Tahun 2020, semuanya akan mengerucut pada 4-6 September 2020. Tidak ada yang berbeda dengan pilkada serentak sebelumnya, keterlibatan dari pasangan calon perseorangan di Pilkada 2020 juga masih minim. Hal ini menandakan bahwa partai tetap menjadi penyangga utama bagi kandidat yang ikut berlaga di perhelatan elektoral.
Penentuan kandidat di tengah merabaknya wabah covid-19 tentu tidak mudah bagi partai politik. Karena itu, tak ayal baru bisa memastikannya mendekati batas masa pendaftaran pasangan calon. Proses kandidasi ini menggambarkan bagaimana pengelolaan partai
dalam implementasi demokrasi internal. Potret dan dinamika tersebut setidaknya dapat dilihat dari ragam pemberitaan media massa.
Dalam tulisan Pippa Norris berjudul Recruitment (2016), kandidasi dimaknai sebagai proses bagaimana kandidat dipilih dari kandidat potensial yang mampu bersaing mendapatkan jabatan publik. Tentu, banyak orang berkehendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah (running for office) meski tak semua memiliki modal memadai.
Sejatinya, kandidasi ini menjadi sarana pelembagaan politik di tubuh partai sebagai bagian dari tahapan kaderisasi. Mekanisme kandidasi yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon harus benar-benar dijalankan partai politik.
Pelibatan kader, distribusi, dan alokasi kader ke sejumlah jabatan publik, termasuk melalui pintu pilkada untuk menjadi pemimpin di daerah, ialah sebuah keniscayaan. Kandidasi juga dapat menyumbang pada penguatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan munculnya calon kepala daerah yang mumpuni dan transformasional.
Kuatnya oligarki
Realitasnya, proses kandidasi yang sehat ini kerap kali dirusak partai. Persaingan perebutan tiket di Pilkada 2020 telah dapat kita saksikan bersama di beberapa daerah. Majunya anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dalam bursa pencalonan Wali Kota Solo menjadi perhatian semua pihak. Selain Gibran, ada juga menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang akan mencalonkan diri di pemilihan Wali Kota Medan.
Proses tersebut memperlihatkan adanya oligarki di tubuh partai politik yang menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seringkali kita saksikan partai-partai yang memiliki suara besar bahkan tidak mencalonkan kadernya untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Partai politik justru mengusung pejabat birokrasi dan pengusaha yang memiliki modal kuat.
Praktik sempurna oligarki politik seakan menutup akses kompetisi dari hulu ke hilir. Karena itu, menyebabkan pilkada hanya sebagai permainan segelintir elite politik saja. Secara bersamaan, dinasti politik juga terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat agar tetap dapat mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh partai di tingkat daerah. Karena itu, dapat dipastikan dinasti politik mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik.
Bahkan, hanya beberapa bulan saja memiliki kartu tanda anggota (KTA) partai seperti Gibran, sudah bisa mendapatkan tiket untuk mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Penulis sendiri sempat mempertanyakan ketika Gibran bukan anak sulung Presiden, apakah PDIP akan tetap mencalonkan dia sebagai bakal pasangan calon Wali Kota Solo? Atau jika Bobby Nasution bukan menantu Jokowi, apakah akan tetap masuk dalam bursa pencalonan Wali Kota Medan? Keikutsertaan anak dan menantu Presiden dalam pilkada benar-benar memperlihatkan hadirnya politik dinasti dalam demokrasi.
Hal itu juga dinilai mencederai keadilan masyarakat sebab bagaimanapun juga, posisi Jokowi akan sangat berdampak pada elektabilitas anak atau menantunya yang mencalonkan, setidaknya calon tidak perlu bersusah payah memperkenalkan diri kepada masyarakat. Loyalis Jokowi tentu saja akan memberikan dukungan secara penuh meski tidak ikut berkampanye. Penulis melihat ketika ada dinasti politik akan menyebabkan ketidakadilan (unfairness) dalam kontestasi.
Studi Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo dan Jason Snyder (2007) tentang dinasti politik di Kongres Amerika Serikat menunjukkan ada korelasi antara dinasti politik dan kompetensi politik. Semakin marak praktik politik dinasti akan berbanding lurus dengan kompetisi politik yang tidak sehat. Dinasti politik juga diyakini melahirkan oligarki kekuasaan.
Menurut Jeffrey Winters, salah seorang ilmuwan politik AS di Universitas Northwestern, oligarki muncul karena konsentrasi kekayaan yang ada sejak zaman kuno. Jika politik dinasti ini terus menguat, apalagi tidak diimbangi dengan kompetensi politik yang sehat, tidak menutup kemungkinan akan melanggengkan oligarki dan pembusukan demokrasi.
Seremoni
Proses kandidasi partai yang instan dan tidak sehat dalam tahapan kepemimpinan menjadi persoalan serius. Pada akhirnya, kandidasi ini seolah hanya seremoni belaka akibat kekuatan rujukan (reference power) yang begitu dominan. Selain itu, hal ini juga akan berdampak pada investor ekonomi dan politik yang memainkan peran secara signifi kan dalam kandidasi.
Pebisnis yang memiliki kepentingan bisa memberikan fasilitas seluas-luasnya pada calon kepala daerah. Utang biaya politik ini harus berbalas konsensi atas pencalonannya. Fakta tersebut juga dapat berpotensi pada tingginya calon tunggal di pilkada.
Oleh karena itu, perlu adanya pembenahan dan evaluasi terhadap mekanisme kandidasi partai. Pertama, merealisakan mekanisme internal yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Partai memiliki peluang menempatkan seluruh komponen mengikuti proses pencarian kandidat dengan mempersiapkan diri sejak dini. Pengelolaan keanggotaan partai juga harus menjadi garapan yang serius.
Kedua, pentingnya desentralisasi kewenangan kepada partai di tingkat lokal untuk mengambil kebijakan terkait proses kandidasi. Ini menjadi upaya membangun demokratisasi di internal partai dan memutus rantai oligarki.
Ketiga, membangun sistem pengkaderan dan rekrutmen yang memadai oleh partai politik di tingkat lokal guna meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kader, termasuk juga memperdalam visi kepemimpinan dalam membangun daerah. Dengan bekal yang cukup, ini juga bisa memudahkan partai untuk mengawal dan mengawasi kepemimpinannya apabila terpilih dan meyakinkan pemilih.
Abdul menjelaskan, penyidik belum menahan tersangka karena pemeriksaan akan dilanjutkan.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Yalimo, Papua sebagai penyelenggara pemilu dituding telah melakukan pelanggaran etik.
PAGUYUBAN Nusantara Yalimo Bangkit meminta MK untuk tidak mematikan suara rakyat Yalimo, dengan putusan yang semestinya
DEWAN Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan dua anggota KPU Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) dari jabatannya.
Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah tercatat sukses, meski dalam kondisi pandemi COVID-19. Pengalaman itu menjadi rujukan untuk penyelenggaraan berbasis manajemen risiko Pemilu 2024.
Ppartai politik juga harus ambil bagian dalam mendinginkan suasana dan mengajak pendukungnya untuk bisa menerima putusan MK.
Para mahasiswa pengunjuk rasa tersebut tidak mengalami kekerasan fisik yang berarti.
Survei Curator Nagara Institute dan Sosiolog, Sulfikar Amir, menerangkan ada 44,17% pemilih tak masalah jika kandidat Pemilu dan Pilkada berasal dari politik dinasti.
Ketua Para Syndicate Ari Nurcahyo mencatat terdapat beberapa episentrum Pilkada 2024 yang jadi peratrungan antara Prabowo Subianto, Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri.
Dari 1.553 kandidat yang berkompetisi pada pilkada 2024, ada 605 kandidat yang terlibat dalam dinasti politik dinasti
Pramono mengatakan bahwa pada kontestasi Pilkada Serentak 2024, nasibnya sama dengan sang anak, Hanindhito Himawan Pramana atau Dito
PKS memiliki target suara 15% namun tidak tercapai atau hanya 8,42%
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved