Calon Kepala Daerah Terafiliasi Dinasti Politik Meningkat Tajam di Pilkada 2024

Devi Harahap
20/11/2024 18:01
Calon Kepala Daerah Terafiliasi Dinasti Politik Meningkat Tajam di Pilkada 2024
Ilustrasi: Aksi tolak politik dinasti(ANTARA FOTO/Septianda Perdana)

PENGAMAT dinasti politik Yoes Kenawas mengatakan setelah Presiden ke-7 RI Joko Widodo mengendorse anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, praktik dinasti politik di Indonesia semakin menjamur. Hal ini tampak pada semakin meningkatnya kandidat dinasti dalam pilkada 2024

Yoes menjelaskan dari 1.553 kandidat yang berkompetisi pada pilkada 2024, ada 605 kandidat yang terlibat dalam dinasti politik dinasti. Dari data tersebut, 384 kandidat mencalonkan diri sebagai Gubernur, Walikota dan Bupati,

"Serta 221 kandidat lainnya mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah yaitu wakil gubernur, wakil walikota, dan wakil bupati,” ujarnya pada media briefing ‘Politik Dinasti dalam Pilkada 2024’ yang diselenggarakan PolGov Fisipol UGM, Election Corner Fisipol UGM, dan Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Rabu (20/11). 

Yoes menjelaskan bahwa politisi terafiliasi dinasti yang berkompetisi di Pilkada 2024 naik hampir dua kali lipat dibandingkan gelombang pemilu serentak sebelumnya. Dikatakan bahwa 19,5% kandidat yang berkompetisi di Pilkada 2024 berasal dari praktik dinasti politik. 

“Kandidat yang berasal dari politik dinasti semakin meningkat. Pada 2017 ada 37 kandidat, pada 2018 terdapat 19 kandidat. Kemudian, jumlah dinasti politik semakin meningkat tahun 2020 sebanyak 160 kandidat. Dan pada 2024 ini, semakin bertambah lagi hingga 605 kandidat. Jika kita hitung dari tahun 2017 ke 2024 dengan jumlah pemilihan yang sama, ada kenaikan signifikan hingga 306 kandidat dinasti politik,” terangnya.  

Dari temuan tersebut, Yoes memaparkan sebanyak 441 kandidat dinasti berjenis kelamin laki-laki dan 164 kandidat dinasti berjenis kelamin perempuan. Dan dari 441 kandidat dinasti laki-laki tersebut, sebanyak 286 kandidat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 155 mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah.

Sementara itu, dari 164 kandidat dari dinasti perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam pilkada 2024, sebanyak 98 kandidat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan 66 kandidat sebagai wakil kepala daerah. 

Melihat temuan tersebut, Yoes menekankan Indonesia saat ini sedang mengalami darurat dinasti politik. Hal itu menurut Yoes, akan berdampak buruk pada kualitas demokrasi di Indonesia.  

“Kenaikan ini seakan-akan tidak terbentuk lagi, jika tidak mendapat perhatian dan terus mengalami peningkatan, ke depan pada tahun 2028 hingga 2034, Indonesia akan mengikuti jejak Filipina, di mana sebagian besar Gubernur dan Walikota yang berkuasa di sana itu adalah politisi dinasti,” tuturnya. 

“Ada daerah yang dulunya tidak terdapat kandidat dinasti, namun muncul pada pilkada 2024. Misalnya seperti di daerah Serang, Belu, Kota Baru, Tabalong Kendal dan berbagai daerah lainnya. Saya khawatir semua akan dinasti pada waktunya, tentu ini tidak baik untuk iklim demokrasi Indonesia kedepan,” 

Dari seluruh wilayah di Indonesia terkait sebaran terendah dinasti pada pemilihan gubernur, hampir semua terdapat politisi dinasti yang berkompetisi kecuali  Aceh, Sulawesi Utara dan di Papua. 

“Namun jika kita zoom di level kabupaten dan kota, dinasti politik akan jauh banyak lagi ditemukan praktik dinasti politik,” ujar Yoes. 

Lebih lanjut, Yoes menjelaskan kandidat dinasti politik telah tersebar di 65,59% atau 352 daerah provinsi, kabupaten, kota yang menyelenggarakan Pilkada 2024. Dari data tersebut, sebanyak 28 merupakan wilayah pemilihan gubernur dan 324  pemilihan Bupati/Walikota.

“Jumlah kandidat yang mencalonkan diri pada tahun ini tidak sebanyak Pilkada-Pilkada sebelumnya karena beberapa faktor seperti syarat pencalonan minimal 20% dan isu koalisi KIM PLUS, tapi justru jumlah kandidat dinasti semakin meningkat,” 

Penyebab meningkatnya dinasti politik

Yoes menilai, meningkatkan fenomena kandidat dinasti politik pada Pilkada 2024 naik disebabkan karena beberapa hal, salah satunya yakni adanya pewajaran atau normalisasi dinasti politik yang terjadi di masyarakat mengenai. 

“Sekarang para kandidat dan elite partai politik tahu bahwa pemilih Indonesia itu cenderung toleran terhadap politik dinasti. Ini juga terjadi karena adanya pengaruh dari pelanggengan praktik tersebut selama berdekade,” jelasnya. 

Selain itu, Yoes menjelaskan praktik dinasti politik banyak terjadi pada daerah di mana kepala daerah sudah melaksanakan kepemimpinan dua periode, sehingga acap kali untuk meneruskan kekuasaan, mereka akan mengendorse kerabat terdekatnya. 

“Sudah banyak wilayah yang kepala daerah itu sudah limit menjabat 2 periode, maka langkah logis berikutnya untuk tetap berkuasa dan bertahan adalah mempromosikan anggota keluarganya untuk menggantikan dia,” ujar Yoes.

“Atau di kader terlebih dahulu atau dijadikan wakil bupati atau wakil walikota sebelum nantinya project tahun 2029 dan 20234 naik menjadi kepala daerah,” lanjutnya. 

Selain itu, tidak adanya transparansi partai politik dalam proses rekrutmen calon kandidat juga menjadi akar penyebab suburnya praktik politik pada Pilkada 2024. Hal ini akhirnya, akan membuat ruang politik Indonesia semakin menyempit dan hanya menguntungkan kandidat dengan latar belakang darah biru.

“Pencalonan di tingkat partai yang tidak transparan dan lebih banyak dilakukan dalam black box lalu tiba-tiba keluar rekomendasi dan dipromosikan, menjadi penyebab mengapa praktik ini tumbuh subur,” pungkasnya. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya