Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Sekali Lagi, Quo Vadis Pendidikan Indonesia

Gantyo Koespradono, Mantan jurnalis, Pemerhati sosial politik
15/7/2020 17:45
Sekali Lagi, Quo Vadis Pendidikan Indonesia
Gantyo Koespradono(Dok.pribadi)

JUDUL di atas amat sering kita temukan di banyak media. Banyak penulis, pakar dan lain-lain menulis dengan judul itu jika mereka mengupas soal pendidikan di Indonesia untuk menggambarkan dunia pendidikan di negeri ini belum beranjak ke mana-mana.

Quo vadis (bahasa Latin) berarti 'ke mana kamu pergi'? Persoalannya, benarkah dunia pendidikan di Indonesia belum pergi ke mana-mana? Masih begini-begini saja dan belum menghasilkan apa-apa? Benarkah kualitas guru diragukan, sehingga belum mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul? Jika pertanyaan itu dikembalikan kepada saya, rasanya saya juga tak mampu untuk menjawabnya dengan pasti dan tepat, apalagi akurat.

Menurut saya, ada tolok ukur yang paling tidak bisa dijadikan fenomena dunia pendidikan kita (baca: anak didik kita) apakah sudah bergerak atau bermetamorfosa? Begini. Mintalah anak-anak kita menggambar pemandangan. Jika mereka menggambar dua gunung di tengahnya ada matahari, lalu di depannya ada hamparan sawah dan dipotong sebuah jalan, izinkan saya menyimpulkan bahwa dunia pendidikan (proses belajar mengajar) kita belum pergi ke mana-mana.

Masa sih, sejak 'nenek moyangku seorang pelaut' hingga pandemi covid-19 yang memaksa kita setiap hari mengenakan masker, anak-anak kita hanya mampu mewujudkan pikiran dan kreativitasnya menggambar pemandangan hanya seperti itu? Lebih dari setengah abad lalu, saya sudah menggambar dua gunung di tengahnya ada matahari lho, di kelas?

Itu adalah out put proses belajar mengajar yang dampaknya menimpa anak-anak kita. Lalu bagaimana dengan sang guru? Sudahkah mereka menikuti perkembangan zaman? Terus terang saya penasaran. Saya tidak tahu, apakah masih ada para guru sekarang ini yang menyalahkan jawaban muridnya jika sang murid diminta untuk melengkapi kalimat berikut; "Ibu pergi ke pasar untuk ..... ikan."

Kalau sang guru menyalahkan murid yang menjawab 'menjual' pada titik-titik di atas, berarti ada yang salah dengan guru kita. Zaman saya bersekolah dulu, guru mengharuskan kami menjawab 'membeli ikan' atas pertanyaan tersebut. Guru saya tidak mau tahu ibu saya pedagang ikan atau bukan yang setiap ke pasar pasti menjual sesuatu. Yang penting kami para murid harus siap dicekoki guru bahwa ibu ke pasar pasti membeli ikan, bukan menjual ikan.

'Didikan' dan 'pengajaran' semacam itu tanpa disadari para guru telah mengajarkan kami untuk menjadi manusia konsumtif (membeli), bukan produktif (menjual). Itukah yang membuat bangsa ini bermental pemakai (pengonsumsi), bukan pembuat (produsen)? Ujung-ujungnya kita menjadi negara pengimpor, bukan pengekspor? Entahlah.

Suasana kebatinan seperti itulah yang saya rasakan saat saya mengikuti diskusi publik bertema 'Wajah Baru Sistem Pendidikan di Era Kenormalan Baru' yang diselenggarakan Fraksi Partai NasDem DPR-RI, Selasa (14/7).

Mendengar pemaparan yang disampaikan Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Dr Ainun Na'im, dunia pendidikan kita ke depan di masa pandemi covid-19 dan setelahnya (entah kapan pandemi berakhir) memang serba wah, hebat.

Ainun Na'im tak bisa memungkiri dunia pendidikan kita memang sedang menghadapi tantangan. Sebelum covid-19, katanya, kita sudah dihadapkan dengan tantangan lain, yaitu perubahan teknologi yang demikian cepat dan lingkungan global yang dampaknya terasa dalam peradaban manusia. Belum lagi kita masuk lebih jauh dan mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut, covid-19 pun datang.

Sudah satu semester ini anak-anak kita belajar di rumah lewat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Saya mendengar kabar banyak peserta didik yang sudah mulai bosan dengan PJJ karena gurunya tidak kreatif dan inovatif dalam mengajar.

Jika situasinya seperti ini, lagi-lagi pertanyaannya, mau ke mana pendidikan kita? Ya, quo vadis. Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf dalam diskusi yang digelar secara virtual malam itu mencatat saat ini ada 49 juta siswa dan 10 juta mahasiswa. Mereka inilah calon pemimpin bangsa pasca pandemi covid-19.

Dua tahun lalu dunia dan kita sudah mengalami disrupsi ekonomi, kini masuk pandemi. Kita dipaksa untuk segera berubah. Ironisnya, menurut Dede, 2 juta pengangguran bertambah dan angkatan kerja bertambah 29 juta orang. 

Celakanya pula, dari angkatan kerja itu sebagian besar (90%) hanya lulusan SD dan SMP. Jika pun dipaksa bekerja, kualifikasi mereka adalah tenaga kerja padat karya. Padahal ke depan dunia industri perlu SDM yang profesional dan berkualitas oke. Mereka harus bersaing pula dengan tenaga kerja asing.

Tidak bisa tidak, dunia pendidikan kita harus kita perbaiki. Tidak cukup hanya belajar lalu diakhiri dengan ujian. Dunia pendidikan kita harus mampu menciptakan SDM yang kompetitif, baik fisik, maupun mental.

Berkata atau berteori seperti itu memang mudah. Namun, praktik di lapangan tidak semudah apa yang kita ucapkan, termasuk istilah-istilah yang belakangan ini dipopulerkan Kemendikbud seperti 'merdeka belajar, pelajar Pancasila' dan lain-lain.

Ahmad Baidowi, praktisi pendidikan dan Ketua DPP Partai NasDem Bidang Pendidikan Politik dan Kaderisasi, bahkan mengatakan 'merdeka belajar' dan 'pelajar Pancasila' hanya akan jadi jargon belaka jika kita tidak serius menangani dunia pendidikan kita. Termasuk postur anggaran pendidikan dalam APBN 20%, yang praktiknya berbeda saat diterapkan di lapangan.

Ahmad Baidowi menjelaskan pihaknya saat ini sedang melakukan kajian terhadap dunia pendidikan, mengapa kok sepertinya berjalan di tempat, quo vadis. Menurut dia, sejak zaman Bung Karno sampai Jokowi, ada 26 undang-undang yang mengatur soal pendidikan. Tapi out put-nya terhadap dunia pendidikan kita tak ada yang signifikan.

Fakta di lapangan, seperti diakui Baidowi, sertifikasi para guru setiap saat memang meningkat, tapi tidak diimbangi dengan peningkatan profesionalitas para guru. Ke depan, dia memberikan solusi, ada baiknya Kemendikbud membuat program penempatan guru secara bergilir di daerah selama tiga bulan agar para guru dapat merasakan pengalaman mengajar di daerah berbeda. Jangan sampai guru yang baik hanya mengajar di sekolah yang memang sudah baik.

Singkat cerita, seperti pembangunan ekonomi dan hukum, dalam dunia pendidikan harus ada pemerataan dan keadilan. Maklumlah, seperti disampaikan Ketua Fraksi Partai NasDem, Ahmad Ali ketika memberikan kata pengantar diskusi, maju tidaknya dunia pendidikan menjadi tanggung jawab kita demi kemajuan bangsa dan negara.

Pandemi covid-19, kata Ali, memang mengguncang kita, tapi kita tidak bisa menyelesaikannya hanya dengan meratap. Proses belajar mengajar harus tetap berlanjut, syukur-syukur anak-anak didik kita tidak melulu menggambar dua gunung dan matahari di tengahnya saat diminta menggambar pemandangan. 

Pengemudi dan pembonceng ojek daring dengan masker dan face shield, kan juga pemandangan indah sekaligus bukti bahwa protokol kesehatan ditaati agar pandemi covid-19 segera berlalu.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya