KELUARGA Haji Nimun bernapas lega setelah berhasil mempertahankan lahannya di tepi Kali Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Sebelumnya, tanah warisan itu sempat dikuasai pihak lain. Setelah menempuh jalur hukum, keluarga Haji Nimun menang melalui gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Melalui putusan nomor 743/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel dan surat keterangan ikrah nomor W10.U3/2420/HK.02/2/2023, PN Jaksel menyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum atas sertifikat hak milik (SHM) nomor 11142/Bintaro/2019 atas nama Octa Raharjo dan Bunadi Tjatnika.
Pengadilan menyatakan tanah seluas 4.464 meter persegi yang berasal persil 101 dan girik 1340 adalah milik ahli waris Haji Nimun Bin Haji Midan yang tidak pernah diperjualbelikan..
“Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan SHM nomor 11142/Bintaro/2019 diperoleh dari data yuridis yang tidak benar melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang tidak melibatkan perangkat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW),” ujar kuasa hukum ahli waris Haji Nimun Bin Haji Midan, Odie Hudiyanto, di Jakarta, Selasa (21/3).
“Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat 3 Peraturan Menteri ATR/BPN nomor 6 tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap,” tambahnya.
Odie menjelaskan perampasan tanah milik Haji Nimun itu terungkap ketika Kelurahan Bintaro melakukan sosialisasi kepada warga yang terkena proyek normalisasi kali Pesanggrahan pada 2019. Ahli waris Haji Nimun kaget karena nama mereka tidak ada dalam daftar warga yang tanahnya kena pelebaran Kali Pesanggrahan.
Sebelum berpolemik, keluarga Haji Nimun sempat diundang oleh Kelurahan Bintaro yang menjelaskan jika pemilik tanah yang terkena pelebaran Kali Pesanggrahan adalah Octa Raharjo dan Bunadi Tjatnika yang memiliki alas hak berupa sertifikat hak milik (SHM) nomor 11142/Bintaro/2019.
Namun, ahli waris tidak pernah menjual tanah itu ke orang lain. Pihak keluarga merasa heran bagaimana tanah yang masih berupa girik itu bisa berpindah tangan ke orang lain dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM). Diduga ada keterlibatan pihak BPN hingga terbitnya SHM tersebut.
"Saat itu ahli waris kebingungan kepemilikan tanah yang akan terkena pelebaran berbeda tapi namanya tidak ada padahal tidak pernah jual tanah," ungkapnya.4 saat
Kejanggalan kemudian muncul saat sidang gugatan itu berproses di pengadilan. Pihak tergugat tidak pernah muncul setelah dilakukan pemanggilan oleh majelis hakim..
"Pada saat persidangan berlangsung tergugat Octa dan Bunadi tidak pernah hadir. Meski sudah dikeluarkan surat panggilan beberapa kali tidak pernah adil tiap persidangan," pungkasnya.
Odie kemudian mengapresiasi majelis hakim dalam menangani perkara Nomor 743/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Sel. Menurutnya, hakim telah membuat putusan secara benar berdasarkan fakta-fakta hukum selama persidangan dan memberikan kepastian hukum untuk pencari keadilan.
"Kita menuntut kepada Menteri ATR/BPN untuk memberantas mafia tanah yang bekerja sama dengan oknum BPN secara terang-terangan merampas tanah dari pemilik tanah yang asli berkedok program PTSL atau program pertanahan lainnya sehingga dapat merusak kepercayaan masyarakat," tutupnya. (N-3)
Baca Juga: DPR Minta Pemberantasan Mafia Tanah Perlu Tindak Lanjut